kembali Terjadi.

"Bang Darmadi.... Tolong, Bang, sakit...." ucap seseorang seseorang dari balik kaca jendela dengan suara lirih yang semakin menjauh.

Deeeeeg...

Jantung pemuda itu seakan ingin copot saat suara tersebut menyebut namanya.

"Kenapa suaranya mirip Naeswari anak Ki Roso, ya?" gumam Darmadi setengah bingung.

Ia beringsut dari ranjangnya dan mencoba menyingkap sedikit tirai jendela untuk melihat apakah itu benar Naeswari anak Ki Roso yang terkenal cantik dengan segala keanggunannya.

Siapa yang tak mengenal gadis itu, termasuk Darmadi. Mereka selalu berpapasan setiap pagi. Sebab gadis itu berangkat kesekolah dan ia pergi bekerja melewati satu jalan yang sama. Bahkan tak jarang Darmadi memberikannya tumpangan agar tidak terlambat tiba disekolah.

Jika pulang sekolah mereka tak pernah bertemu, sebab Darmadi pulang lebih sore.

Dan pagi itu ia terakhir kali memberikan tumpangan kepada sang gadis remaja yang selalu saja membuat hati para remaja menciut kepincut. Tetapi bagi Darmadi, Naeswari hanyalah sebatas adik saja, sebab ia menyayangi setiap sosok yang disebut wanita, dan termasuk ibunya--Laras.

"Bukannya Ki Roso mengatakan jika Puterinya sedang dikota, karena pindah sekolah? Tetapi mengapa aku mendengar suaranya?" pemuda itu meletakkan jemari telunjuknya didagu.

Ia penasaran dan ingin memeriksanya, lalu mencoba keluar rumah dan berjalan ke sisi kiri rumah tempat dimana ia mendengar suara Naeswari memanggilnya.

Seeeeerrrr....

Hembusan angin yang begitu sangat dingin menyentuh tengkuknya, lalu kembali aroma kembang kantil menyeruak diindera penciumannya. Seketika bulu kuduknya meremang.

Darmadi menyentuh tengkuk dan mengusapnya dengan rasa yang bergidik.

"Naes... Kamu kah itu?" ucap pemuda itu sembari melangkah menuju jendela.

Tak ada sesiapapun disana, sunyi dan sepi.

Perlahan ia menangkap bayangan sosok bergaun putih yang berada dibawah pohon matoa tak jauh darinya. Terlihat gaun yang dikenakannya penuh dengan noda darah dan posisi memunggunginya.

"Bang, tolongin Naes, Bang. Ini sakit sekali," rintihnya dengan lirih, terdengar penuh kepiluan.

Darmadi tersentak kaget, ia mencoba menelisik sosok tersebut, dan ia yakini jika itu bukan sosok manusia.

"S-siapa Kamu? Kamu bukan Naeswari!" tanya Darmadi dengan gemuruh didadanya yang semakin menderu.

Tak berselang lama. Tampak dua orang remaja yang tak lain adalah Agus dan Budi sedang berjalan menuju ke arahnya. Sepertinya mereka baru saja pulang takziah.

"Eh, Bang Darmadi. Ngapain disitu malam-malam,?" sapa Budi kepada pri tersebut yang terlihat celingukan.

"Eh, Budi, Agus. Ini, tadai abang dengar suara Naeswari minta tolong disamping kamar abang dan....

Darmadi menoleh ke arah pohon matoa tempat dimana ia melihat sosok tersebut.

"Haaah," pemuda itu terkejut, karena Naeswari tak lagi terlihat disana.

"M-maksud abang apa? Bukannya Naeswari...." ucap Agus terbata dan menggantung ucapannya, sebab Budi menyikut lengannya jangan sampai rekannya itu keceplosan.

"Iya. Naeswari--kan ke kota. Kata Ki Suro dia pindah sekolah ke rumah adiknya yang dikota," Darmadi menimpali ucapan Agus.

Kedua remaja itu memucat dengan wajah sepucat kapas.

"Iya, Bang, benar yang abang katakan, Naeswari pindah sekolah ke kota. Kita pulang dulu, ya bang," jawab Budi sembari menarik paksa lengan sahabatnya agar menjauh dari Darmadi sebab Agus sedikit mudah keceplosan.

Remaja itu berjalan sedikit cepat dengan terus menyeret sahabatnya.

"Bud, lepasin," omelnya saat ia terus diseret dengan langkah yang terlalu kencang.

Sementara itu, Darmadi memilih untuk masuk ke rumah karena tidak menemukan Naeswari.

"Kamu itu kebiasaan banget jadi orang," ucap Budi kesal sembari melepaskan cengkaramannya dilengan Agus.

"Iya, maaf," jawab remaja itu mengakui kesalahannya.

Keduanya kembali terdiam. Mereka sedang larut dalam fikirannya masing-masing.

Tiba dipersimpangan jalan. Kedua remaja itu berpisah karena rumah mereka yang berbeda arah.

Agus mengambil jalan sisi kiri, sedangkan Budi mengambil sisi kanan.

Budi berjalan menuju jalanan setapak yang sedikit sunyi. Kanan kirinya dipenuhi kebun singkong milik salah seorang warga, dan singkong itu siap panen.

Remaja itu memainkan phonsel pintarnya sembari berjalan menuju rumahnya yang tak jauh melewati kebun singkong tersebut.

Ia berseluncur didunia maya menggunakan akun media sosialnya.

Kreeeeesaaak...

Suara ge-sekkan daun dan batang singkong.

Budi mengarahkan pandangannya ke sumber suara yang terdengar mengusik indera pendengarannya.

Wuuuuuusssh...

Sekelebat bayangan melintas dari arah rimbunan pohon singkong yang ditanam berjejer bagaiakan barisan tentara yang berlatih.

Budi merasakan degub dijantungnya semakin kuat. Denyutannya berpacu lebih kencang seolah ia baru saja selesai berlari.

"Siapa?" tanyanya mencoba menyapa sosok yang berkelebat dibalik rimbunan pohon singkong.

Ia berharap jika itu adalah Kang Jarwo yang sedang berpatroli mengawasi kebun singkongnya yang siap panen. Sebab akhir-akhir ini marak pencurian hasil kebun yang sering dilakukan dimalam hari dan pelakunya tak lain adalah ia dan juga rekan-rekannya yang mana uang hasil pencurian itu digunakan untuk membeli minuman keras dan juga obat-obatan terlarang untuk mereka berpesta ala remaja kampung.

"Kang, Kang Jarwo," sapa Budi sekali lagi, mencoba memanggil sosok tersebut.

Remaja itu merasa penasaran. "Apakah itu Dani dan juga Joni yang sedang mencuri singkong?" fikirnya dengan dugaan sementara.

Ia mencoba mengendap-endap memasuki area kebun singkong dengan mengikuti sosok yang terus berkelebat memasuki kebun lebih jauh.

Budi menyibak batang singkong yang mencoba menghalangi jalannya, dan ia sudah masuk terlalu jauh ke dalam kebun.

Hingga ia menghentikan langkahnya karena melihat sosok itu berhenti memunggunginya.

"D-Dani," sapanya dengan suara yang sangat lirih. Mendadak bu-lu kuduknya meremang dan ia merasakan sesuatu yang tidak baik sedang terjadi.

Sosok itu memutar tubuh dan memperlihatkan wajahnya kepada Budi.

Sontak pemuda itu tersentak kaget. "Haaah!" pekiknya dengan wajah memucat. Ia terlonjak kaget saat melihat wajah didepannya.

Ia berusaha berlari sekencang-kencangnya untuk keluar dari kebun singkong.

Sosok itu membawa golok ditangannya dan berjalan dengan menyeret ujung golok ditanah mengikuti arah langkah remaja yang saat ini diliputi rasa takut yang mencekam.

Hingga akhirnya kakinya tersangkut rumput kacangan yang tumbuh menjalar, dan...

Buuuug...

Ia tersenugkur ditanah gulutan yang ditanami singkong dan beberapa batang pohon singkong patah karena tertubruk tubuhnya.

Remaja bertubuh ceking berusaha bangkit, tetapi sebuah tangan dengan kulit seputih kapas dan jemari yang melentik mencengkram kerah kemejanya, lalu ia menarik tibuh remaja itu dan melemparkannya diantara rinbunan batang singkong.

Buuugh...

Tubuh itu terlempar, dan..

"Aaaaaarrrggghh.." pekiknya dengan rasa sakit yang mana pinggangnya hampir saja patah, dan sialnya sosok itu menghampirinya dengan wajah pucat dan penuh dendam.

Budi menatapanya dengan penuh rasa takut. Ia beringsut dari tempatnya dan mencoba untuk menyelematkan dirinya.

"Ampun.. Ampuni aku," pintanya dengan memelas saat wajah mereka saling bertatapan, dan...

Craaaaaaass...

Sebuah tebasan memisahkan kepala dari tubuh sang remaja. Lalu suasana kembali sepi dengan genangan darah yang membasahi tanah dan rerumputan diarea tanaman singkong yang rusak dan berpatahan.

Lalu sosok itu melesat dengan membawa kepala korbannya.

Terpopuler

Comments

Andini Andana

Andini Andana

wew.. etan nya bisa menggal kepala orang? ini pelakunya etan apa manusia siii? 😳

2023-12-08

6

Fiya Kamila

Fiya Kamila

nulis yang benar thor woyy

2024-03-12

0

Fiya Kamila

Fiya Kamila

roso apa suro sih thor...jangan typo mulu bisa gak sih thor 😠😠😠😈

2024-03-12

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!