Gladis tertawa puas. Matanya melempar pandangan sebelah mata, meremehkan.
“Gue lapar, beliin gue sarapan. Gue mau salad,” perintah Gladis.
Ruby terdiam, dia tidak tahu harus mencari di mana restoran yang menyediakan sayur mentah itu pagi-pagi begini, apalagi dirinya belum mengenal daerah ini.
“Gue harus beli di mana?”
“Mana gue tahu, itu tugas lo sebagai babu,” balas Gladis dengan nada meninggi. Ruby mendengus lalu berbalik menuju pintu.
“Oh, iya. Waktu lo cuma tiga puluh menit dari sekarang. Lewat dari segitu gue udah gak berselera untuk sarapan.” Ruby pun panik, dan keluar dari ruangan itu.
Ruby yang masih tidak tahu harus berbuat apa, berdiri dengan gelisah di depan pintu.
“Gue harus cari di mana?” gumamnya, sambil menggigit-gigit jarinya.
Tiba-tiba dirinya terpikirkan sesuatu, lalu mengeluarkan ponselnya. “Kenapa gue gak ke pikiran dari tadi.”
Ia pun menjelajahi dunia internet untuk mencari keberadaan restoran yang menyediakan salad yang ada di sekitar.
Seorang perempuan yang membawa tas berisi peralatan make up, berhenti di hadapan Ruby.
“Lo bisa minggir, gak?”
“Ah, maaf, Kak.” Ruby langsung menyingkir dari depan pintu, tanpa melihat orang yang ada di depannya.
Melihat Ruby yang gelisah bercampur panik, membuat orang itu bertanya-tanya.
“Gladis nyuruh apa lagi kali ini?” pikirnya.
Dia tahu bahwa gadis berkacamata ini adalah asisten baru Gladis. Ia mendapat informasi dari Rinka, dan lagi gadis itu berdiri di ruangan Gladis.
“Lo lagi nyari apa?” tanyanya.
Ruby langsung memalingkan wajahnya dari ponsel dan melihat perempuan yang berdiri di depan pintu.
“Restoran salad, Kak. Gladis nyuruh saya beli salad untuk sarapan.”
“Dasar, cewek sinting.” Mata Ruby membulat mendengar makian yang dilontarkan perempuan itu.
“Dia itu nggak suka salad, mustahil dia makan itu untuk sarapan. Ujung-ujungnya bakal dilempar di depan mata lo ... tapi, lo memang harus beli, sih.” Ruby menggaruk kepalanya yang tidak gatal. Dia benar-benar bingung.
“Urusan dilempar atau enggaknya itu urusan nanti, yang penting sekarang gue harus dapat salad itu dulu.”
“Kakak tahu enggak, restoran salad di sekitar sini!” tanya Ruby.
“Gue juga kurang tahu soalnya–”
“Ah, gak jadi, Kak.” Ruby berjalan cepat, lalu berhenti mendadak dan berbalik melihat perempuan itu. “Terima kasih, Kak, atas bantuannya.” Lalu berlari menuju lift.
“Duh, bodoh banget padahal kan gue bisa lihat sendiri pakai mata ini. Gue lupa lagi nanya nama Kakak tadi." Ruby berdiri di depan lift, menunggu.
“Kosong!" serunya, mendapati lift yang kosong. Kesempatan itu ia manfaatkan untuk menggunakan kemampuannya. Dia kemudian melepas kacamatanya dan melihat sekeliling memfokuskan pikirannya untuk mencari restoran yang menyediakan salad.
“Ketemu, tapi ... itu belum buka,” keluhnya setelah melihat tulisan ‘close' di pintu restoran itu. Ruby pun memakai kembali kacamatanya.
Setelah sampai di lantai dasar Ruby pun kebingungan. Apakah dia harus pergi ke tempat itu atau tidak karena percuma kalau restoran itu masih tutup.
Ketika ingin keluar, tidak sengaja mata Ruby melihat sekotak salad yang berada di atas meja resepsionis.
“Salad! Tapi ini punya siapa?” Ruby melihat segala arah mencari pemiliknya. Tapi dia tidak melihat siapa pun yang dia curigai sebagai pemilik.
Ruby memutuskan untuk menunggu, agar bisa membeli salad itu dari si empunya. Tidak masalah jika orang itu membuat harga mahal daripada dia tidak mendapatkan salad itu sama sekali. Ini adalah pekerjaan pertamanya, setidaknya dia harus menyelesaikannya dengan baik.
Ruby sudah menunggu hampir lima belas menit, tapi pemiliknya belum juga datang. Akhirnya Ruby inisiatif meninggalkan catatan dengan menyertakan nomor telepon serta namanya dan memberikan keterangan.
“Sebelumnya saya minta maaf karena terpaksa mengambil salad ini. Silakan hubungi saya jika Anda meminta ganti rugi. Sekali lagi maaf dan Terima Kasih.”
Ruby pun membawa salat itu dan berlari menuju lift. Kedua lift itu dipenuhi oleh karyawan yang juga ingin menggunakannya, dan lagi lift itu masih berada di lantai tujuh. Karena tidak memiliki sisa waktu yang banyak, Ruby akhirnya memutuskan menaiki tangga.
Dengan tergesa-gesa Ruby menaiki tangga, baru sampai di lantai dua, Ruby sudah kelelahan. Itu adalah efek dia menggunakan kemampuannya tadi. Walau sebentar, tapi dia menggunakan banyak energi untuk fokus melihat sesuatu yang jaraknya jauh.
Setelah sampai di lantai tiga, Ruby mengatur nafasnya sebentar lalu berlari menuju ruangan Gladis. Setelah melewati pintu Ruby langsung meletakkan salad itu di meja rias yang ada di hadapan gadis itu. Ruby mengecek jamnya, untungnya masih tersisa lima menit lagi.
Gladis melirik sinis. “Cepat juga, lo. Lo nggak sembarangan beliin gue salad, kan? Gue maunya makanan yang terjamin nutrisinya,” gertak Gladis. Saat ini gadis itu sedang di rias oleh perempuan yang mengobrol dengan Ruby tadi.
“Mana gue tahu, gue juga dapatnya dari depan. Itu sayur mentah jelas bernutrisi, lah.” batin Ruby, kesal.
Gladys meraih kasar box salad itu, lalu membaca merek yang tertera di box. Dan benar salad itu dari restoran yang terkenal. Tanpa perasaan Gladys pun melemparkan salat itu ke hadapan Ruby.
“Lo makan aja sendiri, gue nggak berselera dan gue juga sebenarnya nggak suka salad.”
Karena sudah mendapat bocoran, Ruby tidak kaget lagi mendengar perkataan Gladis. Dia juga sudah terbiasa dengan perilaku Gladis yang seperti ini, itu tidak akan mengusik perasaannya.
Ruby pun memungut kotak salat itu. Untungnya salatnya tidak tercecer karena masih tertutup rapat, hanya saja Ruby menyayangkan perilaku Gladis yang melempar makanan, padahal salad ini adalah milik orang lain.
Tiba-tiba Rinka muncul dari balik pintu. Matanya melirik sebentar kotak makanan yang dipegang oleh Ruby lalu tatapannya berpindah melihat Gladis.
“Setengah jam lagi kita akan pergi menuju tempat pemotretan. Ruby, ini yang harus kamu siapkan sebelum pergi ke sana, dan sisa yang lainnya juga harus kamu persiapkan untuk aktivitas seharian ini.” Rinka memberikan catatan yang sudah bertuliskan barang-barang yang harus dipersiapkan.
“Buku itu juga harus kamu bawa setiap hari, karena untuk selanjutnya kamu yang akan mencatatnya sendiri. Saya hanya memberitahu apa saja yang harus kamu persiapkan.”
Hanya membaca beberapa perlengkapan yang harus disiapkan, kepala Ruby sudah mendadak sakit. Dia tidak tahu bahwa pekerjaan sebagai asisten aktris itu akan sebanyak ini.
“Gimana gue bisa mempersiapkan ini semua dalam waktu setengah jam?”
“I, ini semua saya harus ambil di mana, Bu Manager?” tanya Ruby.
“Panggil saya, Bu Rinka. Saya akan membawa kamu berkeliling dan menunjukkan tempat-tempat penyimpanan. Tapi untuk seterusnya kamu akan mengambil langsung ke butik dan tokonya. Ikut saya.”
Ruby pun mengikuti Rinka dari belakang, sedangkan Gladis mengabaikan keduanya sambil bermain ponsel.
“Dari mana kamu mendapat salad itu?" tanya Rinka tiba-tiba setelah keluar dari ruangan itu.
“Dari meja resepsionis,” jawab Ruby, takut-takut.
“Harusnya kamu tidak mengambil itu. Ini baru hari pertamamu bekerja, tapi kamu sudah berulah."
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments