Ruby sudah duduk di tempat duduknya sekitar tiga puluh menit, tapi kereta belum juga berangkat.
“Kenapa, ya? Kenapa kereta belum juga berangkat?” Setahu Ruby kereta tidak akan pernah menunda perjalanan.
“Permisi, Bu. Ibu tahu gak kenapa kereta belum berangkat?” tanya Ruby pada ibu-ibu yang duduk di sebelahnya.
“Saya juga kurang tau, Nak. Tapi saya lihat tadi banyak polisi di luar.” Jantung Ruby langsung berdegup kencang dan tubuhnya sedikit bergetar.
“Gak mungkin polisi secepat itu tahu, kalo gue di sini,” batinnya.
“Nak, kamu gak apa-apa?” tanya ibu itu.
Ruby kembali fokus lalu tersenyum. “Gak apa-apa, Buk. Cuma kurang enak badan aja.” Ruby berbalik arah, dan menutupi kepalanya dan hampir seluruh wajahnya dengan topi jaket yang dia pakai.
“Jangan sampai mereka ngeliat gue,” ucapnya pelan, penuh harap.
“Selamat sore, kami dari kepolisian meminta maaf karena menunda perjalanan saudara sekalian. Kami berada di sini sedang mencari seorang pencuri yang dicurigai mencoba melarikan diri dengan menaiki kereta ini. Jadi kami meminta kerja samanya untuk seluruh penumpang agar bersedia dilakukannya pemeriksaan ulang pada barang bawaannya. Polisi dan train attendant akan membantu supaya mempercepat pemeriksaan ini. Diharapkan juga para penumpang tetap berada di tempat duduknya. Sekali lagi kami meminta maaf dan terima kasih.”
Setelah mendengar informasi dari radio komunikasi kereta, Ruby langsung menegakkan tubuhnya dan membuka topinya.
“Ternyata mereka gak lagi nyariin gue.” Ruby akhirnya bernafas lega.
“Masa mereka mencurigai seluruh penumpang, sih,” keluh ibu yang ada di sebelah Ruby. “Mereka, kan bisa langsung cari orangnya saja.”
“Mungkin polisi gak tahu wajah pencurinya, Bu.” Ruby menanggapi.
“Zaman sekarang informasi mencari wajah seseorang tidak sulit. Apalagi sudah ada sosial media. Bagaimana jika pencuri itu menyembunyikannya di tempat yang gak terduga. Kayak di film-film ada yang sampai di telan, gitu,” jelas ibu itu. Ruby pun setuju dengan ucapannya. Pemeriksaan ini sungguh-sungguh tidak menjamin kalau pencurinya akan ditemukan.
Ruby mendengar banyak keluhan yang di lontarkan seluruh penumpang. Karena mereka harus merelakan perjalanan tertunda dan barang-barang yang sudah bersusah payah mereka susun harus di bongkar.
Tiba-tiba Ruby teringat sesuatu. “Kenapa gak gue cari sendiri aja!”
“Cari apa, Nak?”
“Aah, gak apa-apa, Bu.” Ruby tersenyum canggung karena tanpa sadar dia sedikit berteriak.
Ruby melupakan kemampuan matanya, harusnya sejak awal dia langsung ikut membantu. Walaupun seluruh penumpang dilarang untuk meninggalkan tempat duduknya Ruby tetap bisa melihat dari tempatnya. Tapi benda seperti apa yang sudah dicuri?
Ruby pun membuka kacamatanya. “Duh, ini terlalu luas.”
Ruby seolah terbang bersama seluruh orang yang ada di kereta karena matanya menembus seluruh badan kereta selain tubuh manusia. Tiba-tiba Ruby mendengar percakapan polisi yang ada di luar kereta.
“Batu permata itu gak terlalu besar, hanya seukuran kelereng, tapi yang aku dengar harganya mahal.”
“Karena itu salah satu barang dari museum, kan.”
“Nice info, pak. Berarti permata, ya.” Ruby melihat ke seluruh tempat sambil memfokuskan pikirannya dengan menyebutkan permata, mungkin cara itu berhasil. Dia pun berdiri untuk melihat ke belakangnya. Pemeriksaan dimulai dari paling belakang jadi. Ruby akan mendapat giliran yang lebih lama karena tempat duduknya berada di paling depan.
Tiga kursi ke belakang dari tempatnya. Ruby melihat sesuatu yang berkilauan tapi masih tidak melihat dengan jelas benda apa itu, dan di mana tepatnya keberadaan benda itu. Ruby memfokuskan lagi pikirannya.
“Gips, kaki. Pe, permatanya di sembunyiin di dalam gips. Tapi itu ... kaki anak-anak.” Ruby tercengang melihat tindakan pencuri yang gila ini. Untungnya dia melihat kaki anak itu baik-baik saja, tapi pencuri itu benar-benar memanfaatkan anak-anak dalam aksinya.
Sekarang Ruby bingung bagaimana cara memberitahukannya, apalagi itu anak-anak. Dan sepertinya pencurinya yang ada di sebelah anak itu. Soalnya pria itu terlihat gelisah, dan berkali-kali melap keringatnya padahal AC kereta cukup dingin.
Pemeriksaan kini sudah tepat di belakang mereka. Berarti anak dan si pencuri itu lolos. Ruby dengan berani berbicara dengan polisi yang ada di situ. “Pak, pemeriksaan seperti ini sia-sia gak, sih?”
“Maksud kamu apa, berbicara seperti itu?” Wajah polisi itu mengeras. Dia langsung merasa tersinggung dengan ucapan Ruby.
“Bukan apa-apa Pak, jangan marah dulu. Tapi namanya pencuri barang berharga gak mungkin di simpang di dalam tas atau koper yang bisa di bongkar siapa aja!” Keresahan Ruby membuat para penumpang setuju dan mereka mulai ribut.
“Benar, kan, Bu. Kayak yang Ibu bilang tadi. Bisa aja ditelan kalau barangnya kecil.” Ibu di sebelah Ruby menjadi panik.
“Nak, kapan Ibu ngomong gitu.” Ibu itu menghindar. Ingin rasanya dia menghantam gadis yang ada di hadapannya sekarang.
Polisi itu terdiam, dan mempertimbangkan ucapan Ruby. “Jadi ada yang kamu curigai?”
“Hah, bukan gitu, Pak. Tapi gak ada salahnya untuk mengecek lebih teliti lagi seperti ... gips,” lirih Ruby, yang semakin memelankan suaranya. Polisi itu terdiam sambil menimang-nimang ucapan Ruby.
Polisi itu berjalan kembali menuju tempat duduk anak itu. Sejak awal polisi itu juga curiga dengan orang di sebelahnya, yang mengaku ayah anak itu, karena orang itu berkeringat sangat banyak dan saat berbicara juga terbata-bata.
“Apakah hanya anak ini penumpang yang memakai gips di seluruh gerbong?” tanya polisi pada train attendant di gerbong mereka.
“Kami kurang tahu, Pak. Tapi di dalam gerbong ini sepertinya cuma anak ini.”
Anak yang berusia sekitar tujuh tahun itu tiba-tiba menangis dan gemetar ketakutan. Pria yang ada di sebelahnya berancang-ancang ingin kabur, tapi karena menyadari gelagat pencuri itu. Polisi langsung menahan orang itu.
“Lepasin gue!” Polisi langsung memborgol tangan pencuri itu ke belakang, dan membawanya keluar kereta dengan paksa karena terus berontak. Dan anak yang masih menangis itu digendong oleh salah satu polisi.
Setelah melihat pemandangan itu, Ruby langsung terduduk dan bernafas lega. Seluruh penumpang juga lega, karena akhirnya kereta mereka bisa berangkat. Beberapa dari mereka juga memuji kemampuan Ruby yang curiga pada kaki yang di gips.
“Saya mohon untuk Nona yang berbicara dengan saya tadi, ikut kami sebentar.”
Ruby terkejut lagi. Begitu banyak yang membuatnya terkejut hari ini. “Kalau tau bakal begini, mending gue diam aja.”
Ruby berdiri dan melihat polisi itu. “Untuk apa, ya, Pak? Saya harus ikut kereta ini ke Semarak, karena keluarga saya yang sakit sedang menunggu.” Ruby berbohong. Dia tidak boleh lebih lama lagi di stasiun ini, karena bisa saja polisi yang berjaga di rumah sakit sudah mencarinya.
“Jangan-jangan dia kenal sama ayah.”
“Tenang, kami hanya butuh keterangan sedikit dari anda sebagai saksi. Karena bagaimana pun, anda yang mengatakan kecurigaan pada gips.”
“Padahal gue cuma mau cepat-cepat pergi.” Ruby berjalan lunglai, keluar dari tempat duduknya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments