Kemampuan Yang Tidak Terduga

Ruby berjalan di ruangan serba putih yang sangat luas. Tidak ada apa-apa di tempat itu. Sejauh apa pun dia melangkah, dan ke mana pun dia pergi, dia masih tidak melihat apa pun, dan entah mengapa dia juga memakai baju serba putih dan tidak memakai kacamata. Rambutnya juga tergerai begitu saja.

“Apa sekarang gue udah di surga? Tapi kenapa surga nyerimin gini,” monolog Ruby, melihat sekelilingnya. “Apa jangan-jangan gue di neraka?”

“Ruby!” Tiba-tiba ada suara panggilan dari belakang gadis itu. Ruby spontan berbalik.

“A, Ayah!” Ruby mematung melihat orang yang ada di hadapannya memakai baju serba putih sama sepertinya, dan orang itu tersenyum padanya. Ruby ingin berlari ke sosok yang paling dirindukannya itu, tapi sisi satunya dia marah pada orang itu.

“Ruby benci Ayah! Ayah yang buat hidup Ruby hancur kayak sekarang!” Ruby meledak, dan mengutarakan kemarahannya. Sudah lama Ruby tidak pernah menyebut dirinya sendiri dengan nama, dia mengucapkannya hanya pada orang tuanya. Ruby terisak di tempatnya, dia tidak ingin mendekat sedikit pun, ayahnya pun begitu tetap berdiri di posisinya.

“Ruby sayang, kamu harus bangun, masih banyak yang harus kamu selesaikan.” Ayahnya berucap sendu. “Kamu harus tetap hidup dan harus bahagia, sayang.” Sosok ayah Ruby, semakin lama semakin hilang dan pandangan Ruby pun mengabur.

“Ayah.” Ruby pelan-pelan membuka matanya. Kini dia melihat langit-langit yang berwarna putih, dan menyadari adanya botol infus yang menggantung di sebelahnya. Hidungnya juga mencium bau obat-obatan dan antiseptik yang khas rumah sakit. Dia langsung melihat

tangannya dan benar sedang diinfus.

“Gue belum mati. Tadi apa? Mimpi?” Ruby mencoba untuk duduk. Ruby mengingat-ingat apa yang terjadi padanya, dan kenapa dia ada di rumah sakit. Dia baru ingat, perbuatan kejam Dean.

Ruby masih tidak percaya dengan tindakan cowok itu. Ternyata dia jauh lebih menyeramkan dari Gladis. Apa untungnya melakukan itu terhadapnya?

“Apa dia bilang? Menjadikan dirinya dan Theo sebagai pesuruh? Gue bahkan gak pernah minta pertolongan pada Theo apalagi padanya. Mereka yang selalu datang dan menawarkan bantuan buat gue.” Ruby berharap seumur hidup tidak akan bertemu dengan cowok brengsek itu.

Sesuatu terlintas di pikiran Ruby. “Apa mungkin Theo yang nyuruh? Tapi dia gak ikut biar tidak terlibat langsung.” Ruby memikirkan kemungkinan terburuk itu.

“Manusia memang menyeramkan. Tapi siapa yang nyelamatin gue?” Seingat Ruby sampai dia pingsan tidak ada yang datang. Ruby pun melihat sekelilingnya, penglihatannya sedikit buram dan kabur karena tidak memakai kacamata, tidak ada siapa-siapa juga di ruangannya.

Tiba-tiba Ruby melihat dinding yang ada di hadapannya semakin lama semakin memudar dan menjadi transparan. Ruby terkejut, jantungnya berdetak kencang, dan mematung tapi ia masih membelalakkan matanya. Kini bahkan tembok di sekelilingnya menjadi tembus pandang seluruhnya. Ruby pun langsung menutup matanya karena rasanya mengerikan.

“Apa yang terjadi sama mata gue? Kenapa bisa gini. Jangan-jangan gue masih mimpi.” Ruby yang masih menutup mata mencubit perutnya. “Auw, sakit.” Karena merasakan sakit Ruby pun pelan-pelan membuka matanya, dan tidak ada yang berubah.

“Kenapa bisa gini, sih?” Ruby menutup matanya lagi.

Dalam ketakutan sayup-sayup Ruby mendengar suara yang cukup ramai. Dia pikir ada yang masuk ke ruangannya, lalu dia membuka matanya. Ternyata masih tidak ada siapa-siapa. Suara gaduh itu pun semakin keras. Ternyata suara-suara itu berasal dari tempat-tempat yang dilihatnya. Walaupun bercampur Ruby bisa menyadari sumber masing-masing suara itu. Ruby pun memberanikan diri untuk melihat sekelilingnya. Ruangan di sebelah kanannya, ada sepasang orang tua yang sedang menangisi pasien yang ada di tempat tidur. Ruby langsung menyadari jika pasien itu sudah pasti meninggal, dan di sebelah kirinya pasien seorang anak kecil yang bermain dengan wanita yang Ruby tahu adalah ibu anak itu, karena mendengar celotehnya. Dan di depan kamarnya, Ruby baru menyadari jika ada polisi yang berjaga.

“Kenapa sampai ada polisi?” Ruby tersadar jika dirinya adalah korban yang perlu dijadikan saksi. Ruby bersyukur ada yang peduli padanya, tapi di satu sisi ini bisa menyulitkan dirinya.

“Kejadian itu pasti masuk berita di TV, dan identitas gue sebagai anak dari polisi yang bermasalah akan diketahui semua orang. Gak bisa, rencana kabur gue gak boleh gagal.” Ruby bingung. Tindakan apa yang harus dia lakukan. Selain itu, Ruby juga penasaran apakah dokter juga menyadari kemampuannya.

“Pokoknya harus gue tanya nanti.”

Ruby merasa pusing karena suara-suara yang bercampur semakin ramai masuk ke telinganya. Ruby mencoba menutup dirinya dengan selimut dan itu tidak berhasil sama sekali, matanya menembus selimut. Dia pun menutup matanya dan tidur tengkurap dan ketika dia membuka mata, pemandangannya di hadapannya terlihat lebih menyeramkan karena dia bisa melihat semuanya tembus sampai ke lantai dasar.

“Huaahh!” Ruby terduduk. Ruby menutup mulutnya, jangan sampai polisi tahu jika dirinya sudah sadar. Akhirnya Ruby mencoba tenang dan menikmati sedikit pemandangan di hadapannya meskipun masih merasa ngeri. Tapi melihat hal-hal seperti ini memang luar biasa. Ruby bertanya-tanya, apakah matanya sebatas ini atau bisa lebih? Ruby kembali terkejut setelah bisa melihat rokok, yang ada disaku polisi itu.

“Kalau sampai sejauh itu, gue harus hati-hati, jangan sampai hal yang gak penting jadi terlihat. Menyeramkan.” Ruby merinding. Tidak sengaja Ruby melihat kacamatanya yang ada di atas laci sebelahnya. Ruby ingat jika kacamatanya tercampak ketika dirinya di tendang Dean.

“Untung aja kacamata ini masih bagus,” ucapnya sendu. Itu adalah kacamata kesukaannya, pemberian dari ayahnya. banyak goresan di kacamata itu namun masih cukup bagus jika dia gunakan. Tapi apa gunanya lagi kacamata ini, matanya tidak minus lagi karena sekarang bisa menembus segalanya dan semua juga terlihat sangat jernih. Ruby mencoba memakai kacamata itu, secara ajaib matanya kembali normal seperti semula.

“Gila, kenapa bisa begini?” Ruby mencoba melepas kacamatanya, dan semuanya pun terlihat transparan lagi, dan dia memakai kacamatanya dan matanya kembali normal dan suara-suara pun menghilang.

“Wah, luar biasa.” Tiba-tiba seseorang memasuki ruangannya. Ruby pun berubah senormal mungkin melihat orang yang ada di hadapannya.

“Loh, kamu udah sadar? Padahal menurut pemeriksaan dokter kamu akan sadar tiga hari lagi,” ucap perawat itu, heran.

“Memangnya saya separah itu?”

“Iya, kamu bisa saja meninggal jika terlambat sedikit lagi.” Ruby hanya diam mendengar penjelasan perawat itu. Benarkah separah itu?

“Ners, tahu gak siapa yang bawa saya ke rumah sakit ini?”

“Polisi, mereka yang ngantar kamu. Karena kamu adalah korban, polisi juga yang berjaga di depan,” jelas perawat itu mengecek kantong infus Ruby.

“Sebagai pasien saya pasti punya wali, kan. Siapa wali saya?” Ruby jadi sangat penasaran dengan polisi yang kemungkinan juga menolongnya.

“Saya tidak ingat namanya, tapi dia juga salah satu polisi yang ngantar kamu ke sini.” Ruby hanya mendengus karena tidak mendapatkan informasi apa pun.

“Karena kamu sudah sadar, saya harus panggil dokter untuk pemeriksaan selanjutnya. Saya tinggal, ya. Permisi.”

“Terima kasih, Ners.” Perawat itu pun meninggalkan Ruby.

Setelah menutup pintu, Ruby cepat-cepat membuka kacamatanya. Para polisi sudah tidak berjaga di depan kamarnya.

“Apa gue kabur aja?”

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!