Keberangkatan Menuju Semarak

Ruby menolak jika dirinya harus memberi kesaksian di tempat lain. Dia memilih ditanyai di dekat kereta. Polisi juga sudah bekerja sama dengan pihak kereta untuk menunggu Ruby selesai memberikan saksi.

Polisi menanyai Ruby saat ini bukanlah polisi yang berbicara dengannya saat di kereta tadi. Seingat gadis itu, polisi ini juga tidak ada di gerbongnya. Dia juga terlihat jauh lebih muda, dan sedikit tampan. Ruby sempat terkesima beberapa detik karena melihat mata indah polisi ini. Tetapi dengan cepat dia mengembalikan fokusnya.

“Apa awalnya yang membuat kamu curiga pada kaki anak yang di gips itu?” tanya polisi itu. Polisi itu mengantongi alat perekam suara. Ada buku catatan kecil dan pulpen juga dia gunakan untuk mencatat kesaksian.

“Saya, kan udah bilang tadi, Pak. Kalau itu karena ibu-ibu yang sebelah saya curiga kalau pencurinya kemungkinan menyimpan di tempat yang tidak terduga,” jelas Ruby dengan nada sedikit meninggi.

“Maaf saya belum dapat informasi soal ucapan ibu-ibu itu. Saya hanya diberitahu jika kamu mencurigai seseorang yang di gips.” Ruby hanya diam, dan tiba-tiba merasa canggung.

“Oke, kembali ke awal. Tapi kenapa kamu langsung menyebutkan, gips? Saya yakin kamu tidak tahu, kan jika kaki anak itu di gips?”

“Ini Bapak mau nanyain saya sebagai saksi atau mau mojokin saya sebagai tersangka juga?” Ruby mulai kesal. Dahinya mengerut tanda tidak suka.

“Harusnya mereka langsung pergi aja membawa penjahat itu, kenapa bertanya-tanya buang waktu seperti ini.”

“Bukan begitu, kami hanya menduga jika kamu tahu sesuatu yang lebih detail, yang bisa dijadikan sebagai ciri-ciri dan membantu menangkap kawanan mereka yang lain.”

“Aduh, Pak. Gak ada yang begitu-begituan. Saya itu awalnya liat anak itu di stasiun tapi kakinya enggak di gips. Pas saya masuk kereta saya melihat kakinya sudah di gips. Jadi saya curiga.” Ruby berbohong.

Jika polisi mengetahui kalau dia berbohong, itu akan dia urus nanti. Lagian kalau dia bercerita yang sebenarnya, yakin jika polisi akan percaya?

“Hem, kamu sangat teliti, ya. Apa ada yang lain?”

“Tidak,” jawab Ruby cepat. Ruby sudah memasang wajah seratus kali tidak berminat pada polisi yang ada di hadapannya ini, berharap polisi itu berhenti menanyainya.

“Baik. Tolong tuliskan nomor teleponmu di sini.” Polisi itu menyerahkan buku kecil beserta pulpen miliknya. Ruby mendadak gelisah, dan menggaruk kepalanya yang tidak gatal.

“Kalau gue kasih nomor gue yang baru, sama aja, dong. Polisi yang di rumah sakit bakal tahu kalo gue ke Semarak. Kalau yang lama, gimana kalau tiba-tiba dia menelepon?”

“Kenapa? Sepertinya kamu sulit memberikan nomor teleponmu, ya? Tenang kami selalu merahasiakan informasi identitas saksi demi keamanan mereka.” Ruby membaca name tag polisi itu.

“Bagas Panduarta.”

Ruby langsung mengambil catatan kecil polisi itu dan menuliskan nomornya yang lama. “Itu, Pak Bagas. Ada lagi yang ingin Bapak inginkan?”

“Nama? Kamu belum menulis namamu.” Ruby merebut lagi catatan itu dan menulis namanya dan langsung menyerahkan catatan itu.

“Saya pergi sekarang, ya, Pak.” Ruby berjalan meninggalkan polisi itu.

“Semoga perjalanannya menyenangkan dan selamat sampai tujuan Nona Ruby Arinsakti.” Ruby mengabaikan seruan itu dan berlalu begitu saja memasuki kereta.

Ruby menuju tempat duduknya dengan wajah super dongkol. Satu gerbong langsung memperhatikan kehadirannya dan merasa lega karena akhirnya kereta akan berangkat.

“Nak, kamu gak diancam, kan sama mereka?” ujaran khawatir diucapkan ibu di sebelahnya.

“Untungnya enggak, Bu. Tapi saya kesal karena polisi tadi nanya-nanya seolah saya tersangka, Bu.”

“Iya, yah. Untung saya tidak dijadikan saksi juga kayak kamu. Kamu tadi kenapa bawa saya, sih.” Ruby hanya tertawa, tidak enak.

Akhirnya kereta mereka pun berjalan. Ruby benar-benar lega, dia berhasil meninggalkan kota Gempita. Ibu di sebelahnya langsung bersandar santai, lalu memejamkan mata ingin beristirahat.

“Beruntung banget gue, polisi tadi gak langsung ngehubungi nomor yang gue kasih.” Ruby tidak tahu ada di mana PH-nya sekarang, tapi yang saat ini dia yakin jika HP itu mungkin di simpan polisi sebagai barang bukti.

Ruby teringat jika dia belum makan sejak tadi, jadi mengambil satu roti yang sempat dia beli tadi. Meskipun dalam kondisi lapar, entah mengapa Ruby masih memiliki banyak tenaga, dan dia tidak terlalu lelah, padahal sebelumnya dia dalam perawatan di rumah sakit.

“Padahal gue baru ngalamin kejadian traumatis. Tapi kenapa rasanya gue sehat-sehat aja.” Ruby melahap rotinya sambil memandang ke luar jendela.

Jika mengingat kejadian itu Ruby masih sangat ketakutan bahkan sampai bulunya meremang, tapi sekarang dia merasa baik-baik saja. Asal dia tidak melihat wajah laki-laki kurang ajar itu.

“Gue masih gak percaya kalau Theo terlibat? Dean juga gak mengakui kalau Theo ikut. Lagian apa alasannya dia ngelakuin itu ke gue? Dia gak akan dapat keuntungan apa-apa. Apa tujuan Dean sebenarnya?” Lama berpikir, tiba-tiba jantung Ruby berdetak kencang dan tubuhnya bergetar.

“Gak mungkin, kan? Tapi gak ada alasan lain selain mereka memang mau memperkosa gue.” Ruby menggigit ujung telunjuknya dan meremas tangannya. Ruby panik memikirkan hal-hal yang lebih buruk.

Sebuah layar TV yang berada di ujung gerbong yang biasanya berisi informasi kini mengiklankan sebuah produk berupa vitamin yang bernama Immune Plus. Itu adalah multivitamin yang selalu di konsumsi oleh ayahnya. Ruby jadi teringat setelah kepergian ayahnya, ibu Ruby dalam keadaan marah membuang semua obat-obatan itu, seolah obat itulah yang membunuh ayahnya.

“Semua ini salah orang itu.” Ruby mengepal tangannya kuat. Tiba-tiba kepalanya sakit dan sekelilingnya berputar-putar membuat Ruby mual dan ingin muntah.

“Gue kenapa?” Tiba-tiba kesadaran Ruby hilang begitu saja.

...****************...

Setelah menemukan rumah Ruby yang sudah kosong membuat seluruh polisi panik, terlebih si pemimpin polisi.

“Pak Rengga, saya sudah bertanya pada tetangga sekitar. Beberapa dari mereka bersaksi jika Ruby pergi membawa koper dan ransel. Bisa di bilang dia memang kabur,” jelas salah satu anggota polisi itu pada pemimpin penyelidik itu.

“Bagaimana dia bisa kabur dengan membawa barang sebanyak itu? Dia juga tidak punya banyak waktu? Apalagi dia masih dalam perawatan.” Pemimpin bernama Rengga itu berpikir.

“Coba cek CCTV yang ada di sekitar rumah ini yang menunjukkan dia pergi dari rumah,” perintahnya.

“Baik, Pak.” Beberapa polisi masih menggeledah rumah itu untuk mencari jejak ke mana perginya Ruby.

Tiba-tiba HP, Rengga bergetar ada telepon masuk.

“Ada apa, Pak?” tanyanya setelah mengangkat telponnya.

“Kami berhasil menahan sementara tiga tersangka kasus percobaan pembunuhan dan pemerkosaan Ruby arinsakti, Pak. Tapi untuk tersangka utama Dean Bintangi, kami tidak bisa menahannya karena hilangnya Ruby yang sebagai saksi dan korban. Mereka membawa banyak pengacara dan menjadikan anak itu sebagai saksi.”

“Sialan.” Rengga mengepal tangannya dan wajahnya mengeras karena amarah.

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!