Hari ini Ruby memulai paginya berangkat lebih awal untuk membeli salad dari restoran yang sama dengan milik Damian kemarin sebagai bentuk pertanggungjawaban sebelum ia melanjutkan perjalanan ke agensi.
Sebagai asisten aktris, Ruby tidak terikat dengan jam kerja tetap, dia hanya mengikuti arahan dari Rinka menyesuaikan jadwal dengan kebutuhan Gladis.
Ruby sudah membeli dua porsi salad sebagai cadangan, mengantisipasi kemungkinan Gladis memintanya lagi. Meskipun harganya cukup mahal, gadis itu tidak keberatan karena baginya yang terpenting adalah bertanggung jawab. Diterima atau tidaknya itu urusan nanti, dia hanya berusaha. Jika ditolak pun, Ruby berpikir masih bisa menyantapnya sendiri, dan memberikan yang satunya pada Hanna.
Setibanya Ruby di agensi, dia melihat perusahaan tersebut tidak terlalu ramai, walaupun masih ada beberapa staf yang sedang bekerja. Kemungkinan, mereka sedang mengikuti jadwal aktris yang terkadang bekerja pada pagi atau bahkan dini hari. Suasana tenang namun produktif mewarnai atmosfer agensi. Ruby sedikit kagum melihatnya.
Sementara melirik jam tangannya yang menunjukkan setengah tujuh pagi, Ruby masih memiliki waktu tiga puluh menit sebelum memulai pekerjaannya. Dia pun memanfaatkan waktu itu untuk sarapan. Dengan langkah ringan, Ruby menuju kafetaria di belakang gedung agensi. Saat pagi hari agensi hanya menyediakan teh dan kopi gratis tanpa sarapan, tetapi tersedia banyak kantin penjual makanan. Karena harganya cukup mahal, Ruby memilih membeli dari luar.
Ruby membeli bubur ayam untuk ia santap pagi ini. Menurutnya pagi hari waktu yang pas menikmati makanan yang memberikan kenyamanan bagi pencernaan. Meski tubuhnya semalam terasa sangat lelah dan kakinya sampai membengkak, pagi hari tubuh Ruby sudah kembali sehat. Beruntungnya dia memiliki kekuatan ajaib yang mampu memperbaharui energinya setiap hari.
Sambil menikmati sarapan, tiba-tiba seorang pria paruh baya mendekat dan duduk di depan Ruby. "Apakah kamu karyawan baru?" tanya orang itu, menciptakan momen kejutan yang membuat Ruby mengangkat kepalanya.
Meskipun sedikit tersentak, Ruby tetap menjawab dengan baik. “Ya, Pak. Saya asisten baru dan ini hari kedua saya.” Suara tenangnya seolah sudah bersiap menghadapi percakapan tiba-tiba.
Pria itu berbicara lagi dengan sopan. "Maaf jika saya mengganggu waktu sarapanmu. Namun, saya tidak bisa menahan diri untuk tidak menyampaikan ketertarikan saya terhadap penampilan visual kamu."
Ruby mengangkat alis, bingung. "Maksud Bapak, apa?" tanyanya, berusaha memahami komentar tak terduga tersebut.
“Wajahmu memiliki keunikan yang sangat menawan. Saya tidak ada maksud buruk di sini.” Pria berparas kalem itu tersenyum. “Pernah terpikir untuk mencoba dunia akting? Mungkin kamu tidak berpengalaman, tapi dengan niat belajar, saya bisa membantu melatih mu. Visual mu punya daya tarik yang kuat.”
Ruby yang terkejut mendapat pujian tiba-tiba, membuatnya tersedak lalu terbatuk saat menelan buburnya.
"Kamu gak apa-apa?" tanya pria itu, panik.
"Gak apa-apa, Pak. Saya baik-baik saja," balasnya, setelah kembali bernafas normal.
Bapak itu tersenyum. "Saya tidak menyangka kamu akan terkejut seperti itu."
"Saya hanya tidak menduga, Bapak menilai saya seperti itu." Wajahnya Ruby memerah, malu.
Pria itu memberikan kartu namanya. "Tidak ada tekanan, jika kamu berminat di dunia akting, hubungi nomor ini. Sebentar lagi saya harus bekerja. Saya pamit dulu." Bapak itu pergi sambil melemparkan senyum pada Ruby.
Setelah kepergian orang itu, Ruby membaca kartu nama tersebut, "Chandra Wirawan, Talent Development Manager." Ruby terkesiap, merasa tidak percaya bahwa seseorang selevel itu memuji penampilannya. Meskipun demikian, Ruby sama sekali tidak tertarik dengan dunia hiburan. Apalagi dengan statusnya yang saat ini masih seorang anak polisi dengan kasus narkotika.
Ruby tiba-tiba teringat suruhan Rinka yang harus menyambut Gladis di depan gedung agensi setiap pagi. Saat seperti ini, Ruby memanfaatkan kemampuannya. Dia melepaskan kacamatanya lalu melihat sekitar, sambil seolah-olah tangannya membersihkan lensa kacamata.
Batas penggunaan kekuatan membuat Ruby harus bijak. Dia berusaha untuk tidak terlalu fokus agar tidak menguras energi. Tidak lucu jika tiba-tiba ia pingsan padahal kondisinya baik-baik saja.
Ketika mobil Gladis terlihat, Ruby dengan cepat membersihkan mejanya, kemudian memakai kembali kacamatanya dan bergegas keluar gedung. Saat dirinya tiba di luar, mobil Gladis sudah sampai, bersamaan. Gladis keluar dari mobil dengan penampilan yang memukau.
“Lo tepat waktu banget, bagus.” Ruby tidak tahu ucapan Gladis itu adalah pujian atau sindiran.
“Hari ini gue bawa Roka. Jadi, lo jagain dia juga,” perintah Gladis sebelum berlalu meninggalkan Ruby. Ruby yang bingung mengerutkan dahinya.
Setelahnya Rinka keluar dari mobil lalu mendekati Ruby. “Dia bawa anjing kesayangannya,” ucap Rinka, menjawab kebingungan Ruby.
Ruby langsung mendekati mobil dan benar ada box anjing di dalamnya. Ruby mendengus lesu, ia menyadari bahwa Gladis tampaknya mulai bertindak.
Dibantu oleh sopir, Ruby mengeluarkan box anjing itu beserta perlengkapan. Ruby merenung, memikirkan seberapa merepotkan hari ini, dan bagaimana dia akan membagi waktu sambil mengurus anjing?
“Anjing ini lucu banget. Hai, Roka, gue Ruby. Hari ini gue bakal jadi babu lo, jadi mohon kerja samanya, ya.” Ruby berbicara pada anjing jenis pomeranian itu dari lubang jaring box.
“Apa kamu sudah bertemu Damian?” tanya Rinka yang masih menunggu Ruby.
“Belum, Buk. Kayaknya dia belum sampai ... Roka saya bawa ke mana, ya?”
“Kamu bawa ke private studio Gladis saja, dia memang di tempatkan di sana.”
Mereka pun memasuki gedung dengan Ruby yang memegang keranjang Roka dan tangan yang satunya membawa perlengkapan Roka dalam sebuah keranjang besar.
Setibanya di ruangan Gladis, ketika membuka pintu mereka tidak mendapati gadis itu di dalamnya. Ruby langsung menyusun tempat makan, dan minum serta kasur kecilnya di sudut ruangan dan membuka pintu box kandangnya. Untungnya Ruby pernah memiliki anjing jadi tidak sulit baginya untuk mengurus anjing saat ini.
“Bagaimana persiapan untuk pemotretan pagi ini?” tanya Rinka, menghampiri Ruby.
“Semuanya sudah selesai, Buk. Saya sudah mempersiapkannya. Untuk pemotretan yang batal semalam, saya sudah mengatur ulang jadwalnya untuk dilakukan siang ini setelah pemotretan yang pagi ini selesai. Hanya itu jadwal kosong yang bisa saya gunakan,” terang Ruby lancar.
Rinka menatap serius. “Kamu memberikan alasan apa pada mereka? Biasanya mereka tidak akan menurut semudah itu.”
“Saya beralasan jika Gladis terkena diare, sejak pagi dia bolak-balik ke toilet. Jadi saya bilang kalau Gladis butuh perawatan malam ini, dia gak akan kuat jika harus melakukan pemotretan.”
“Masuk akal, tapi mereka biasanya tidak akan langsung percaya.” Rinka mengalihkan perhatiannya ponselnya yang bergetar.
“Mereka sudah datang sebaiknya kamu langsung menemui mereka di private studio Damian langsung. Saya sudah pernah menunjukkan tempatnya padamu, kan?”
Ruby mengangguk lalu meninggalkan ruangan itu sambil membawa sekotak salad. Rinka hanya memandangi kepergian Ruby.
“Aku gak tahu kegaduhan apa yang akan terjadi di antara mereka.”
Tidak sampai lima menit Ruby sudah berada di depan ruangan itu. Ruby menarik nafasnya dalam sebelum mengetuk pintu. Sekali mengetuk, pintu itu langsung dibuka oleh seseorang yang Ruby yakini adalah asisten Damian. Dua sosok yang sudah menunggunya sedang duduk di sofa sambil melihat ke arahnya.
“Ruby! Lo benaran Ruby Arinsakti yang dulunya sekolah SMA Eden?” Mendapat pertanyaan acak yang tidak terduga membuat Ruby hanya mengangguk.
Pacar Damian itu langsung beranjak dari duduknya menghampiri Ruby dan langsung memeluknya. Ruby yang mendapat perlakuan itu sangat terkejut. Dan bukan hanya dirinya, Damian dan kedua asistennya juga melongok.
“Lo gak ingat gue?” tanya gadis itu.
“Gue mana punya kenalan cewek cantik kayak gini.” Batinnya. Ruby langsung menggeleng kepalanya.
“Kok, lo jahat banget, ini gue Ratu,” ucapnya lagi dengan lirih.
“Ratu?” Ruby membulatkan matanya. “Ratu yang itu?”
“Iya Ratu yang penakut, pendek, bulat, jerawatan—”
“Bukan, bukan itu yang gue maksud.”
“Gue tahu ... Gimana gue sekarang?” Ratu berputar-putar di hadapan Ruby.
Ruby hanya tersenyum haru melihat tingkah Ratu. Dia tidak percaya jika Ratu menjadi gadis yang sangat cantik dan percaya diri seperti ini.
Awal pertemuan mereka adalah kenangan penuh trauma bagi Ratu. Saat itu Ruby yang baru pulang sekolah sedang berjalan kaki melewati gang sempit sebuah gedung kosong. Dia mendengar tangisan Ratu yang dipaksa menyewa hotel dan membeli minuman keras secara online dengan uangnya sendiri oleh beberapa siswa satu sekolahnya. Entah keberanian dari mana Ruby berteriak minta tolong untuk menyelamatkan Ratu, padahal tidak ada siapa-siapa di sekitarnya. Orang-orang itu pun berlari kabur, dan Ruby juga membawa Ratu untuk berlari menuju pos polisi terdekat, lalu melaporkan kejadian itu. Saat itu mereka hanya sempat berkenalan nama dan sekolah masing-masing karena Ruby harus pulang setelah mendapat telepon dari ibunya tentang kondisi ayahnya yang memburuk. Walaupun pertemuan mereka singkat, tapi memiliki kisah yang membekas.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments