Berminggu-minggu telah dilewati dan hari-hari bersekolah pun berakhir. Ruby berhasil lulus dengan nilai memuaskan. Bahan masakan yang disediakan ibunya sangat membantu kala itu. Biasanya Ruby makan ala kadarnya atau terkadang memesan makanan siap saji. Namun berkat food prep dari ibunya, dia mendapatkan nutrisi yang cukup saat hari-hari ujian berlangsung. Betapa bencinya pun Ruby pada ibunya, ia tidak boleh melampiaskannya pada makanan yang bahkan belum tentu bisa dinikmati semua orang dalam tiga kali sehari, bukan? Tidak ada gunanya membuang-buang makanan.
Sekarang gadis berparas cantik itu sedang merapikan dan memilah barang yang akan dia masukkan ke dalam koper. Ide kabur dari rumah yang pernah terbesit di kepalanya, benar-benar dia lakukan sekarang. Ruby ingin memulai hidup baru tanpa ada orang yang mengenalnya. Meskipun pasti ada saja yang menandainya karena reputasi buruk ayahnya. Ruby juga sudah menyiapkan uang yang cukup untuk dibawanya nanti. Dia tidak membawa seluruh uang yang diberikan ibunya. Dia ingin hidup mandiri dengan caranya sendiri. Dan untuk tempat tinggalnya di ibukota nanti, Ruby juga tidak perlu khawatir. Karena Nancy teman dekatnya saat SMP mau menerimanya untuk tinggal satu rumah, karena gadis itu juga sedang mencari pekerjaan di ibukota. Ruby masih tidak percaya jika dirinya akan meninggalkan kota Gempita.
Selesai merapikan barang-barangnya, Ruby menyembunyikan koper itu di bawah tempat tidur, karena khawatir jika ibunya tiba-iba pulang dan mengetahui rencananya. Karena bagaimana pun ibunya pasti tidak membiarkannya pergi.
Melihat jam sudah pukul lima sore, Ruby menjadi gelisah karena Theo tidak kunjung datang. Sebenarnya sejak jam tiga tadi ketika Ruby merapikan barang-barangnya, ia juga menunggu Theo menjemputnya. Cowok itu berjanji menjemputnya jam empat tadi, namun sudah satu jam berlalu Theo belum kunjung datang. Cowok itu juga tidak menghubunginya sama sekali.
Pertemuan mereka hari ini adalah rencana Ruby yang ingin memberitahukan kepergiannya. Awalnya Ruby ingin pergi diam-diam. Tetapi berpamitan pada satu-satunya orang yang peduli padanya itu tidak salah, kan. Bagaimana kalau Theo memusuhinya karena tidak berpamitan? Ruby tidak mau kehilangan satu-satunya sahabatnya. Kemarin mereka sudah berencana untuk bertemu di kafe Crystal tempat Theo dan juga teman-temannya berkumpul. Dia akan mengatakannya di sana nanti. Ruby tidak masalah jika Dean dan teman-temannya yang lainnya juga mendengar.
Sudah berkali-kali Ruby menghubungi cowok itu, tapi nomornya tidak aktif sama sekali. Karena belum juga mendapat kabar dan Ruby juga semakin gelisah karena khawatir jika terjadi hal yang buruk pada Theo. Ruby pun mengirim pesan pada Dean.
^^^[Ruby Arinsakti]^^^
^^^[Lo di mana? Theo lagi sama lo gak?]^^^
[Dean Bintangi]
[Gue lagi di kafe Crystal, ada Theo juga di sini.]
^^^[Ruby Arinsakti]^^^
^^^[Kok dia gak jemput gue? Padahal semalam dia bilang bakal jemput gue biar ke sana bareng. Nomornya juga gak aktif.]^^^
[Dean bintangi]
[Lupa kali. Mending lo langsung ke sini aja deh. HPnya mati, lupa nge-cash dia.]
^^^[Ruby Bintangi]^^^
^^^[Iya deh, gue langsung ke sana aja.]^^^
Tanpa pikir panjang Ruby langsung bersiap. Ruby sebenarnya kesal pada Theo. Bagaimana dia bisa lupa sama janji yang di buat cowok itu sendiri? Apalagi sudah lewat satu jam.
“Sampai sana pokonya kepalanya bakal gue timpuk,” ucapnya berapi-api.
Ruby sedang menunggu ojek online di depan rumahnya. Tidak berapa lama ojol yang di pesannya pun datang. Mereka berangkat menuju kafe Crystal. Ruby bukanlah tipe gadis feminin, walaupun dia tetap pencinta warna merah muda. Saat ini dia hanya menggunakan baju kaos yang di balut kemeja kotak-kotak berwarna merah dengan bawahan celana denim panjang, dan tas selempang warna hitam. Perjalanan Ruby ke kafe itu hanya memakan
waktu sekitar sepuluh menit.
Setibanya di sana Ruby mendapati Dean bersama tiga temannya yang juga dikenalnya duduk dalam satu meja di bagian luar kafe itu. Dia memandangi sekitar untuk mencari Theo, tapi cowok itu tidak terlihat di mana pun juga.
“Loh, Theo-nya mana?” tanya Ruby lalu duduk di kursi kosong yang mereka sediakan.
“Mampus! Gue lupa ngabarin lo. Pas gue bilang lo bakal ke sini sendiri, Theo langsung buru-buru jemput lo. Harusnya gue nge-chat lo biar nungguin dia.” Ruby heran reaksi Dean yang tiba-tiba panik, tapi wajahnya tetap tenang.
“Hp-nya, kan lowbat gimana ngabarinnya kalau gue udah sampe?”
“Bener juga. Kalian jemput Theo deh, sana,” perintah Dean.
Ruby heran kenapa semuanya terasa janggal, seperti mereka sedang bermain peran.
“Kalau gitu gue ikut.” Ruby bangkit dari tempat duduknya.
“Eh-eh, gak usah. Biar mereka aja. Masa lo baru nyampe udah pergi lagi. Mending lo minum dulu sambil nunggu Theo. Itu udah gue pesanin, disuruh Theo tadi.” Ruby pun menurut dan duduk kembali. Perasaan Ruby sangat tidak nyaman, tapi di satu sisi, apa yang dia khawatirkan?
Ruby pun mencoba untuk tenang, dan meminum jus yang ada di hadapannya. Dia dan Dean pun bercakap-cakap santai, sekedar bertanya kabar dan nilai kelulusan. Tapi entah mengapa Ruby tiba-tiba mengantuk berat, padahal dia cukup tidur semalam, dan sekarang juga baru jam enam. Ruby mencoba untuk terus sadar, tapi dia seolah dipaksa untuk tidur.
“Kenapa Theo belum sampai juga,” pikirnya, sebelum akhirnya dia tertidur.
...****************...
Ruby terbangun dengan rasa sakit yang teramat di kepalanya, dia pun menjadi mual. Karena kesadarannya belum sepenuhnya, dia hanya mendengar orang yang bercakap-cakap dan diselingi tawa. Ruby tidak bisa menggerakkan tangannya yang di satukan ke belakang, kakinya juga tidak bisa dia gerakkan, sepertinya kedua tangan dan kakinya diikat. Setelah Ruby akhirnya sadar sepenuhnya. Dia melihat kelilingnya seperti bangunan yang pembangunannya terbengkalai, dia juga tidak tahu di mana tepatnya keberadaannya sekarang. Pandangannya langsung teralih pada Dean yang berada tidak jauh darinya memegang sebuah botol kaca minuman, dan cowok itu tertawa bersama tiga temannya. Ruby tidak percaya dirinya berada pada keadaan mengerikan ini.
Ruby langsung berontak mencoba melepas ikatan tangannya. “Dean! Maksud lo apa ngikat gue!”
“Hahaha, menurut lo apa? Emangnya lo bakal diam aja kalo gak gue ikat?” Dean menantang.
“Sinting! Apa yang mau lo lakuin ke gue! Apa salah gue!”
“Tenang sayang, kita hanya akan bersenang-senang sebentar. lo nanti juga pasti suka.” Dean menyeringai. Ucapannya itu membuat yang lainnya tertawa.
Bulu Ruby meremang, dia tidak menyangka jika Dean adalah sosok yang menyeramkan seperti ini karena sejauh yang Ruby kenal dia hanya cowok kepo yang berpihak padanya.
“Bawa obat-obatannya kemari!” Seorang membawa plastik kecil yang berisi obat-obatan. Ruby tidak tahu obat apa yang ada di dalam sana. Mereka memasukkan obat-obatan itu ke dalam botol minum itu.
“Kita harus campur yang banyak biar bisa make dia sepuasnya. Kalau dosisnya kayak tadi, dia bakal cepat bangun. Gue gak tahu ini cewek sekuat apa. Padahal obat tidur yang tadi udah lumayan banyak tapi tidurnya gak lebih dari dua jam.” Dean langsung menghampiri Ruby setelah mereka selesai memasukkan obat-obatan itu.
“Jadi sekarang lo minum yang ini.” Ruby ketakutan, dia tidak boleh meminum minuman yang bisa saja membunuhnya itu.
“TOLONG! TOLONG, SIAPA PUN TOLONG GUE! LEPASIN GUE DEAN, APA SALAH GUE SAMA LO!” Ruby menatap murka orang yang berdiri di hadapannya ini.
“Berteriak-lah sekencang-kencangnya, gak bakal ada yang dengar lo.” Dean mendekatkan botol itu ke mulut Ruby, tapi gadis itu menutup bibirnya kuat-kuat.
“Bantuin gue. Lakuin apa pun agar dia buka mulut!” Tiga orang itu menghampiri Ruby. Seseorang menarik rambutnya ke belakang, ada yang menekan pipinya kuat-kuat memaksa rahangnya terbuka, seorang lagi menahan kepalanya agar tidak bergerak. Ruby merasa sakit di seluruh tubuhnya, tapi dia tetap harus berontak agar minuman itu tidak masuk ke mulutnya.
Karena Ruby tak kuncung membuka mulut, Dean menjadi naik pitam. “Lo main-main sama gue. Mundur lo bertiga.” Tanpa belas kasihan Dean Menendang perut Ruby sampai kursinya terjatuh. Karena perutnya yang tiba-tiba ditentang dan kepalanya terbentur ke lantai, Ruby mengerang kesakitan.
Dean langsung memanfaatkan situasi, karena Ruby sudah membuka mulutnya. “Tahan dia.”
Ruby yang sudah tidak bertenaga, pada akhirnya hanya bisa pasrah.
“Ini karena lo udah jadiin gue dan Theo sebagai pesuruh lo. Lo pikir ini di dunia pahlawan yang selalu pasang badan untuk orang rendahan seperti lo. Padahal lo emang pantas dapat semua perlakuan itu.” Dean memasukkan ujung botol minuman ke dalam mulut Ruby dengan paksa, agar gadis itu meminum seluruhnya. Setelahnya Ruby menarik nafasnya dalam-dalam dan dia terbatuk karena ada air yang sampai masuk ke hidungnya.
Mereka pun melepaskan ikatan Ruby yang masih terbatuk-batuk namun tetap membiarkannya tergeletak di ubin yang penuh pasir itu. Mereka tertawa layaknya iblis di hadapan Ruby yang sekarat. Ruby merasa mual dan kepalanya sangat sakit. Tiba-tiba banyak gelembung busa yang keluar dari mulutnya. Kesadaran Ruby mulai menghilang.
“Siapa pun yang ke dua, gue gak peduli pokonya gue yang pertama.” Dean tertawa puas. Ruby tidak paham arti pembicaraan mereka.
Pandangan Ruby mulai mengabur, kepalanya sangat sakit, dan dia mengantuk. Dia tidak tahu apa yang dilakukan Dean pada tubuhnya. Sekarang dia benar-benar pasrah, dan siap jika harus mati hari ini. Tiba-tiba kenangan masa lalu bersama orang tuanya muncul. Ruby tersenyum karena melihat dirinya yang sedang kejar-kejaran dengan ayahnya di taman. Ruby berhalusinasi. Sebelum akhirnya kesadarannya hilang seluruhnya.
“JANGAN BERGERAK!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments