The Girl On The Verge Of Death
Sesulit apa kehidupan di luar sana? Apakah semua orang bisa bertahan? Apa yang terjadi pada orang-orang yang memilih menyerah? Apa akan ada hal baik jika bisa bertahan
Pertanyaan-pertanyaan itu sering terlintas di kepala Ruby Arinsakti. Siswi SMA akhir berusia 18 tahun itu sangat ingin tahu dengan jawabannya. Kehidupannya terlalu sulit akhir-akhir ini, hingga dia pernah berpikir untuk mengakhiri hidupnya. Namun setelah direnungkan kembali, itu akan menjadi kemenangan untuk orang-orang yang tidak menyukainya. Tapi jika tetap bertahan, benarkah akan ada hari baik?
Setiap langkah kecilnya saat memasuki sekolah akan menarik perhatian setiap orang. Mereka menatap sinis bermaksud mengintimidasinya. Ruby tidak tahu apa alasan mereka membencinya. Dia hanya seorang anak yang tidak punya hak untuk mengendalikan kelakuan buruk orang tuanya. Apakah salahnya jika ayahnya adalah seorang polisi pecandu narkoba. Tidak, kan?
“Apa gue benar-benar bisa bertahan? Masa SMA aja sudah sangat menyulitkan.’’ Ruby mendengus dan masih berjalan menuju lokernya yang berada di koridor dekat kelasnya.
Kini Ruby sudah berdiri di depan loker miliknya. Gadis berambut panjang di kucir satu itu bersiap membuka lokernya. Ketika dibuka berbagai sampah sudah menumpuk di dalamnya, bahkan sebagian ada yang berjatuhan di lantai.
“Sampah lagi,” desahnya pelan. Sebenarnya ini bukan hal yang mengejutkan lagi buat Ruby. Hampir setiap hari sejak dua tahun yang lalu Ruby mendapatkan perlakuan seperti ini, dan dia pun akan melakukannya seperti biasa, membersihkannya dan tetap diam. Dia tidak punya bukti untuk menyalahkan seseorang. Melaporkannya pada guru pun adalah hal sia-sia, dirinyalah yang akan disalahkan.
“Lagi?” tanya seorang cowok yang sangat dikenal Ruby. Theo Prayaka, sahabat kecil Ruby, satu-satunya orang yang masih peduli pada Ruby. Cowok tinggi itu berdiri di sebelah Ruby yang sedang berjongkok. Theo baru saja tiba, dan langsung mendapat pemandangan tidak enak baginya. Ruby yang sedang memungut sampah.
“Seperti biasa.” Ruby menanggapi dengan santai sambil tersenyum kecil menunjukkan lesung pipinya sambil memperbaiki kacamatanya yang melorot. Theo pun ikut berjongkok untuk membantu Ruby.
“Gila, bau banget.” Sindir seorang siswa yang melewati mereka. Theo langsung memutar kepalanya dan menatap dingin cowok itu. Siswa itu langsung berjalan cepat untuk kabur.
“Lo bakal sampai kapan pasrah begini?” tanya Theo yang kini sudah beralih mengambil sampah yang ada di loker.
“Emangnya tindakan apa lagi yang bisa gue lakuin?” Jawaban Sederhana Ruby membuat Theo terdiam. Benar, tidak ada yang bisa mereka lakukan, karena segala tindakan akan merugikan Ruby sendiri.
Dahulu Theo pernah menawarkan Ruby untuk pindah sekolah dengan segala biaya akan tanggung olehnya, namun Ruby menolak karena bisa saja sekolah yang ditujunya juga melakukan hal yang sama. Dia juga pernah menawarkan bantuan agar ayahnya memperingati orang-orang yang merundung Ruby, tapi gadis itu juga menolak dengan alasan, itu bisa merusak nama keluarga Theo. Apalagi ayahnya adalah seorang wali kota. Kini yang bisa dia lakukan hanya menjaga gadis itu semampunya.
Ruby akhirnya selesai membersihkan dan merapikan kembali lokernya, walaupun hanya bertahan hari ini saja. Besok pagi juga akan kembali berisi sampah.
“Ini buku tugas, lo.” Theo menyerahkan buku tugas milik Ruby yang dia bawa. Karena buku catatan Ruby yang selalu dicuri, jadi dia menitipkannya pada Theo.
“Terima kasih, ya,” Ruby meraih buku yang diserahkan Theo.
“Gue ke kelas, ya. Kalau mereka masih gangguin lo, laporin ke gue.” Ruby hanya mengangguk.
Theo pun meninggalkan Ruby sambil melambaikan tangan, Ruby hanya tersenyum membalas lambaian itu.
Sebelum memasuki kelas Ruby berjalan menuju toilet, untuk mencuci tangannya. Di dalam toilet ternyata ada Niken, Tiara, dan Rara yang sedang memperbaiki riasannya di depan cermin. Ruby pelan-pelan masuk di antara mereka.
“Kok tiba-tiba ada aroma yang tidak sedap?” sindir Rara yang sedang memakai lipstik.
“Iya, bau banget. Padahal sebelumnya gak begini,” tambah Niken, sambil menyemprotkan parfum banyak-banyak ke arah Ruby. Namun Ruby tetap diam dan masih menggosok tangannya dengan sabun.
Tiara melangkah menuju wastafel sebelah Ruby, dan mencuci tangannya. Gadis itu sengaja mencipratkan air agar mengenai Ruby, alhasil lengan baju Ruby basah. Setelahnya dia juga memercikkan sisa air di tangannya ke arah Ruby dan mengenai kacamata gadis itu.
“Duh, lo kena? Sorry, gak sengaja.” Ketiganya pun melenggang pergi sambil tertawa.
Dengan wajah datarnya, Ruby berjalan tenang menuju kelas. Gadis itu sekarang layaknya robot karena tidak pernah menunjukkan ekspresi atau emosi sedikit pun. Dia selalu berwajah datar pada semua orang selain Theo, dan dia juga mengabaikan perbuatan orang-orang padanya.
Ruby menuju mejanya yang berada di pojok kanan kelas. Dia menatap mejanya yang penuh dengan coretan serta kata-kata yang begitu menyakitkan.
‘SAYA RUBY ARINSAKTI ADALAH ANAK POLISI PECANDU NARKOBA.'
‘Bukanya melindungi masyarakat, malah pakai narkoba.’
‘Buah jatuh gak jauh dari pohonnya, jangan-jangan ....’
Itulah beberapa kata-kata menghiasi mejanya yang mengutuknya setiap hari. Rasanya Ruby ingin menangis agar sesak di dadanya bisa berkurang, tapi entah mengapa sekarang dia sangat sulit mengeluarkan air mata.
“Gue harus bertahan demi beasiswa, sebentar lagi gue bakal selesai dari sekolah ini. Sekolah ini, kan sekolah favorit gue juga.” Ruby menguatkan kembali hatinya, dan menghembuskan nafasnya kuat-kuat.
SMA Eden Internasional adalah sekolah yang diidam-idamkan Ruby sejak SMP, karena SMA ini terkenal menghasilkan siswa-siswi berbakat dan cerdas. Namun selama Ruby bersekolah di SMA ini hingga sekarang berada di kelas 12 akhir, ternyata tidak ada yang istimewa malahan sangat buruk. Sekolah mana yang mendukung siswanya untuk mengucilkan bahkan merundung satu siswa? Sekolah ini tidak pantas disebut tempat mengajar melainkan tempah menghajar.
“Hanya nama gue aja yang Ruby, ternyata gue gak seberharga Ruby.” Ruby berucap pelan sambil menatap keluar jendela dari tempat duduknya. Dia pikir dia akan diperlakukan layaknya permata merah yang mahal itu, ternyata dia hanya dianggap sampah. Lamunan Ruby buyar setelah, bel berbunyi.
Guru yang mengajar pun masuk dan mempersilahkan mereka mengumpulkan tugas. Ruby berjalan tenang menuju meja guru. Tiba-tiba Gladis menjulurkan kakinya ketika Ruby ingin melewati mejanya. Ruby pun terjatuh tersandung kaki Gladis. Lututnya terbentur keras dengan lantai. Untung saja tangannya spontan menahan tubuh atasnya, sehingga tidak menambah luka lain. Ruby hanya meringis karena lututnya yang sakit. Gladis dan yang lainnya menahan untuk tidak tertawa. Ruby bangkit sambil dan mengelus lututnya yang perih dan mengambil bukunya yang terjatuh.
“Sorry, gue gak sengaja,” ujar Gladis, dengan wajah sedih yang dibuat-buat. Ruby hanya diam bahkan tidak melirik sedikit pun gadis berambut merah tersebut yang kini sudah tertawa tertahan bersama Niken, Rara dan Tiara.
“Kenapa kamu bisa jatuh?” tanya guru dengan tatapan sinis.
“Saya yang gak liat-liat jalan, Bu.” Guru itu hanya menatap remeh.
Ruby pun kembali ke tempat duduknya, menundukkan kepalanya dalam-dalam dan menghembuskan nafasnya kuat-kuat.
...****************...
“Hari ini mereka ngelakuin apalagi?” tanya Theo yang sekarang berada di kantin bersama Ruby.
“Gak ada, mereka cukup tenang hari ini.” Ruby berbohong. Untungnya meja menutupi lututnya yang memerah.
Theo hanya mengangguk walaupun dia tahu jika Ruby berbohong. Cowok itu mencoba untuk mengerti. Mungkin Ruby lelah jika ditanya hal yang sama setiap hari.
Mereka kembali diam dengan pikiran masing-masing. Akhir-akhir ini tidak banyak percakapan di antara mereka. Karena Ruby seolah enggan untuk membahas apa pun. Setelah kematian ayahnya Ruby jauh berubah. Dirinya yang dulu begitu periang dan ramah kini berubah menjadi gadis dingin yang sulit tersenyum. Tiba-tiba ponsel pintar milik Theo bergetar dan membuyarkan lamunannya, ada notifikasi pesan masuk dari Dean.
[Dean Bintangi]
[Lo harus liat video ini, satu sekolah gempar karena video ini. Gue jadi kasihan banget sama Ruby.]
Theo pun membuka video yang dikirimkan Dean. Theo cukup terkejut, karena video itu adalah video ibunya Ruby bersama pria asing. Video itu memutar keduanya yang sedang makan malam bersama dengan canda gurau, setelahnya keduanya bergandengan menuju mobil yang sudah menunggu mereka di depan restoran. Lalu hanya beberapa foto yang menunjukkan jika mereka memasuki hotel bersama. Anehnya wajah pria itu tidak terlihat sama sekali tapi wajah ibu Ruby terlihat begitu jelas.
Theo ingin mencegah Ruby untuk tidak menonton video itu. Dia terlambat, Ruby sudah menonton video itu dari ponsel pintarnya sendiri. Theo pun hanya diam tak berkata apa pun, karena segala kata penyemangat yang dia katakan sejak dulu rasanya sudah tidak ada artinya. Dia hanya mengelus pundak Ruby dan berjanji pada dirinya jika dia akan selalu berada di samping gadis itu.
“Video ini ulah siapa lagi?” batin Theo.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments