“Gimana sekarang, Kakak udah percaya?” tanya bocah itu sambil tersenyum puas.
“Tindakan lo tadi terlalu nekat. Hal-hal yang rahasia kayak gitu, gak boleh ditunjukkan disembarang tempat,” tegur Ruby sambil melihat sekeliling, khawatir ada yang sempat melihat kekuatan anak itu.
“Tapi cuma itu satu-satunya cara biar Kakak percaya sama gue,” balas anak itu, santai.
“Kenapa maksa gue harus percaya sama lo. Biarin aja gue—“
“Karena gue tahu kalau Kakak juga punya,” potong bocah itu, langsung.
Ruby hanya mendengus mendengar alasan bocah itu. Ruby melihat serius penampilan anak laki-laki yang tingginya hanya sepundaknya itu. Tubuh ramping, wajah bulat khas anak-anak, dengan rambut keriting yang mengembang. Ruby masih tidak percaya jika anak berwajah lembut ini bisa mengeluarkan api dari tangannya.
“Oke, sekarang gue percaya sama lo, tapi ... jangan keluarin itu lagi pada sembarang orang. Apalagi yang gak lo kenal,” omel Ruby, khawatir.
Bocah itu hanya tersenyum, walaupun sedang mengomel menurutnya Kakak yang ada di hadapannya ini sedang mengkhawatirkannya, padahal mereka tidak saling mengenal. Dia senang karena keputusannya mengajak bertemu sudah benar.
“Sekarang ceritakan semua yang lo ketahui,” ucap Ruby, kemudian kembali ke tempat duduknya. Anak itu juga ikut duduk.
“Oh, iya, nama lo siapa?” Ruby meletakkan satu minuman kaleng di hadapan anak itu. “Minum dulu.”
“Nama gue, Asta Damesta. Kakak cukup panggil, Asta,” balasnya santai lalu meminum minuman kaleng itu.
“Nama gue, Ruby,” ucap Ruby, memperkenalkan diri.
Entah mengapa, setelah mengetahui Asta juga memiliki kekuatan, membuat Ruby ingin melindungi anak ini.
“Kakak gak perlu khawatir, gue bukan orang jahat, kok.”
“Emangnya siapa yang berpikir kalo lo orang jahat?”
“Gue cuma gak mau kalau Kakak ragu sama gue lagi. Gue beneran tahu kalau Kakak punya kemampuan. Gue gak tahu pasti itu apa, hanya terlihat di mata dan di telinga, Kakak.” Ruby membulatkan matanya karena ucapan Asta.
“Lo bisa lihat? Selain kekuatan lo yang tadi, lo juga bisa mendeteksi orang yang memiliki kekuatan seperti kita?” Asta mengangguk.
“Apa lo pernah ketemu orang lain yang seperti kita?”
“Pernah, tapi mereka bukan orang yang ramah, jadi gue gak peduli.”
“Emangnya gue terlihat ramah. Lo gak takut kalo ternyata gue punya tujuan buruk?”
“Kakak punya aura biru, berarti aman, makanya gue berani nyamperin ke sini.”
“Hah, ada aura-aura juga?”
“Biasanya kalau orang berniat buruk auranya hitam, Kalau biru biasanya tidak ada niat buruk.” Ruby hanya mengangguk paham.
Mungkin jika ada yang mendengar obrolan mereka pasti akan keheranan karena membahas hal-hal yang tidak masuk akal. Ruby yang juga merasa aneh dengan apa yang dialami, tentu tidak terkejut berlebihan lagi.
“Jadi yang lo tulis di blog itu sungguhan? Persis?” Ruby mulai bertanya serius.
“Gak seratus persen pas, tapi intinya begitu. Mereka melakukan penelitian untuk menghasilkan manusia super dengan manusia sebagai uji coba langsung. ”
“Apa itu kisah dari orang yang lo kenal?”
“Tentu, itu ayah gue. Dia meninggal empat tahun lalu saat gue kelas lima SD. Dia jadi uji coba karena terpaksa. Ayah butuh uang untuk melunasi utang kakek.” Asta bercerita tenang, tanpa ada raut kesedihan di wajahnya. Ruby yang sebenarnya prihatin mencoba tetap santai, karena Asta juga terlihat kuat.
“Perusahaan itu Immune Plus, kan?” Ruby memelankan suaranya.
Asta mengangguk. “Ayah Kakak juga mengonsumsi itu, kan? Sudah sejauh mana efek sampingnya? Apa kemampuan Kakak sudah diketahui orang tua, Kakak? Sebelum terlambat, lebih baik Kakak buang obat-obatan itu, dan larang ayah Kakak minum obat itu lagi.”
“Udah terlambat ... cerita kita ada kemiripan, walau hanya sedikit. Gue gak pernah tahu apa sebenarnya yang terjadi pada ayah. Dia selalu terlihat baik-baik aja,” jawab Ruby tenang, namun wajahnya menunjukkan kesedihan.
“Ternyata banyak yang disembunyikan ayah. Sebenarnya apa alasan dia menjadi alat uji coba?”
Ruby sangat yakin jika ayahnya benar-benar menjadi alat uji coba karena beberapa alasan, yaitu fakta bahwa ayahnya mengonsumsi Immune Plus sejak muda, meski dirinya tidak tahu apa isi obat itu sebenarnya, lalu kondisi ayahnya yang semakin hari semakin memburuk, sering berhalusinasi, bahkan kematiannya yang seperti overdosis obat-obatan, dan setelah kematian ayahnya, Ibunya juga membuang semua sisa obat itu sambil mengamuk. Beberapa alasan itu mirip seperti yang dialami ayah Asta.
“Ah, bagaimana kabar ibu? Apa dia sudah tahu kalau gue kabur dari rumah?”
“Kak, kok bengong?” tegur Asta.
“Ah, enggak. Gue masih kaget aja sama semua ini.”
“Mana bisa gue masih menyalahkan ayah setelah semua kebenaran ini. Jadi siapa yang harus bertanggung jawab atas bully-an yang gue dapat saat SMA.” Mata Ruby seketika berkaca-kaca, dan setelah mengetahui kebenarannya pun, dia tidak bisa melakukan apa-apa.
“Jangan terlalu sedih, Kak. Gue memang gak tau apa yang Kakak alami, tapi nyawa kita bisa terancam jika perusahaan itu tahu. Apa gak lebih baik kita fokus pada keamanan diri sendiri sekarang ini.” Ruby mengangguk, setuju. Dia menahan perasaannya sejak tadi agar dia tidak benar-benar menangis di hadapan Asta yang begitu dewasa sekarang, berbeda sekali dengan wajah anak-anaknya.
“Hem, berdasarkan cerita lo berarti ayah kita masing-masing mengonsumsi itu sejak mereka muda, dan akhirnya menurunkannya pada kita. Tapi itu muncul bukan dari gue lahir,”jelas Ruby.
“Gue juga. Gue gak tau kenapa kekuatan itu tiba-tiba muncul. Segala informasi yang gue tahu berasal dari surat yang ditinggalkan ayah dan fakta yang diceritakan ibu.”
“Gue masih gak percaya kalau penelitian menghasilkan manusia super itu benar-benar ada sekarang, gue pikir cuma ada di film-film. Mereka udah mengorbankan berapa orang untuk alat uji coba, sudah bertahun-tahun lagi.” Ruby menggeleng dengan ekspresi ngeri.
“Manusia kok jahat-jahat banget sekarang, ya,” ucap Asta serius. Ruby tersenyum dengan perkataan bocah itu yang seperti orang dewasa.
“Untuk sekarang setidaknya kita harus tahu kenapa kekuatan ini bisa muncul, dan apa efek sampingnya." Ruby menatap serius. "Kapan kekuatan lo muncul?” tanyanya pada Asta.
“Kalau aura, gue melihat warna aura sejak kecil. Gue pikir semua orang begitu, tapi setelah menceritakannya pada ibu, gue disuruh merahasiakannya termasuk dari ayah.”
“Yang lainnya?”
“Setelah gue hampir mati karena kecelakaan tertabrak mobil, dua tahun lalu. Gue punya bekas luka dan jahitan di kepala karena benturan keras saat tertabrak. Kata ibu nyawa gue hampir tidak tertolong, namun akhirnya gue selamat walaupun penyembuhannya lama. Setelah sadar, gue hampir membakar rumah sakit.”
Ruby mengerti kepanikan yang dialami Asta, karena dia juga mengalami itu saat terbangun di rumah sakit.
“Bagaimana lo mengendalikannya saat itu?”
“Ibu langsung mencelupkan tangan gue ke air saat melihat seprai rumah sakit terbakar.”
“Kalau sekarang gimana?”
“Sebenarnya gak begitu sulit. Itu bisa ditiup atau gue hanya mengepalkan tangan, tapi beda cerita kalau gue lagi marah, apinya gak terkendali.”
“Apa ada efek samping?”
“Ibu melarang gue melakukannya sering-sering, dia pikir gue bakal dapat efek samping seperti ayah. Jadi gue belum tahu.” Ruby hanya mengangguk.
“Kakak gimana?” tanya Asta.
“Kekuatan gue belum sempurna, jadi gue belum bisa menceritakannya sekarang.”
“Curang,” keluh Asta.
“Apa lo pernah sakit?” tanya Ruby, lagi.
“Bukan pernah lagi, tapi gue sering sakit. Apalagi setelah kekuatan ini muncul.”
“Berarti setiap tubuh mendapat efek dan kekuatan yang berbeda-beda. Tubuhnya lemah, sedangkan gue gak pernah sakit sama sekali.”
“Berdasarkan kesamaan munculnya kekuatan kita, kayaknya gue tahu penyebabnya.”
“Apa?” tanya Asta, penasaran.
“Setelah kita berada di masa kritis dan hampir mati.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments