“Ini ulah lo, kan!” teriak Ruby, setelah melemparkan foto-foto itu.
“Sialan. Lo punya bukti apa nuduh gue!” Gladis yang tidak terima menghampiri dan berdiri tepat di hadapan Ruby. Mereka saling melemparkan tatapan tajam satu sama lain.
“Satu sekolah juga tahu kalau ini perbuatan lo. Gue gak tau ada dendam apa lo sama gue. Gue gak pernah gangguin lo. Gue terima segala perlakuan jahat lo ke gue, tapi kali ini gue gak bisa terima. Lo kelewatan.” Ruby langsung menarik rambut merah bergelombang Gladis yang sudah susah payah dia atur tadi pagi.
“Aaakkkhh! Rambut gue! Sialan, lepasin!” Gladis mencoba melepaskan tangan Ruby yang menarik rambutnya. Ruby tidak peduli dengan teriakan serta tindakan Gladis, ia tetap menarik kencang rambut gadis itu.
Kelas itu langsung ramai di kelilingi semua siswa yang melihat dari luar kelas sambil berteriak menyerukan nama mereka. Teman-teman Gladis berusaha membantu. Niken mencoba melepaskan tangan Ruby yang menarik Rambut Gladis, Rara memukul-mukul Ruby, dan Tiara menarik rambut Ruby. Namun yang mereka lakukan itu semuanya sia-sia, mereka semua tidak dapat melawan Ruby. Entah bagaimana gadis itu bisa sangat kuat. Karena itu banyak yang tidak berani merisaknya secara terang-terangan, dan kali ini Gladis memang sudah kelewatan. Semua orang tahu, selain aib orang tuanya, Ruby tidak memiliki kelemahan apa pun. Apalagi sampai menggoda pria paruh baya, itu jelas tidak mungkin. Karena Ruby selalu bekerja di warung makan yang tidak jauh dari sekolah.
Tiba-tiba pak Eko sudah ada di kelas dan mencoba memisahkan mereka. Guru itu mencoba melepaskan tangan Ruby namun tanpa sengaja Ruby menampar keras wajah guru BK itu. Seketika kelas yang ribut itu langsung hening dan berhamburan kembali ke kelas masing-masing karena bel juga sudah berbunyi. Ruby yang menyadari perbuatannya pun langsung melepaskan tangannya dari rambut Gladis.
“Kalian berlima ke ruangan saya, sekarang!” Dengan cepat Gladis dan teman-temanya berjalan menuju ruang BK. Gladis hampir menangis melihat rambutnya yang acak-acakan dan menggumpal, selain itu rambutnya juga banyak yang rontok. Ruby pun mengikuti mereka dari belakang dengan jarak yang sedikit jauh. Dia tidak memperbaiki penampilannya yang juga acak-acakan.
“Ada apa?” tanya Theo pada Dean yang melihat keramaian yang berangsur bubar.
“Ruby dan Gladis ribut, mereka jambak-jambakan rambut. Tapi tenang walaupun satu lawan banyak. Ruby tetap menang, bahkan dia nampar pak Eko juga.” Dean tertawa. Theo dengan perasaan khawatir meninggalkan kelas itu dan kembali ke kelasnya.
Setelah sampai di ruang BK, pak Eko pun meletakkan foto-foto yang sempat dikutipnya. “Siapa yang bisa menjelaskan pada saya,” tanya pak Eko sambil mengelus pipinya yang perih dan memerah. Ruby yang melihatnya menjadi merasa bersalah.
“Ruby, Pak, tiba-tiba dia menyerang saya. Padahal saya tidak melakukan apa-apa,” rengek Gladis. Ucapannya mendapat anggukan dari teman-temannya.
“Gladis menempelkan foto-foto ini di mading Pak, dan semua foto ini tidak benar. Kemarin seharian saya bekerja, Pak,” jelas Ruby, membela dirinya.
“Tidak Pak, itu bukan saya yang menempel. Lo ada bukti kalo itu ulah gue?” Gladis menaikkan suaranya.
“Jika Bapak tidak percaya, Bapak bisa cek CCTV yang mengarah ke mading, atau bertanya pada yang lain. Mereka pasti ada yang melihatnya.” Seketika Gladis dan teman-temannya panik, karena jika CCTV diperiksa mereka akan ketahuan.
“Oke, saya akan memeriksanya nanti. Kalian berempat keluar dari ruangan ini dan langsung masuk ke kelas. Ruby tetap tinggal di sini.” Gladis dan yang lainnya merasa menang, dan keluar dengan santai. Ruby pun kebingungan.
“Loh, kenapa mereka yang keluar Pak. Mereka, kan yang bersalah, mereka juga mengeroyok saya, Pak.” Pak Eko hanya diam.
“Ya memang, tapi kamu yang memulai menyerang Gladis, kondisi Gladis juga lebih parah dari pada kamu yang dikeroyok.” Ruby terdiam, ucapan pak Eko ada benarnya.
“Kamu duduk dulu yang tenang.” Ruby pun menurut dan duduk bangku depan meja guru itu. Ruby pun akhirnya merapikan kuncir rambutnya yang sejak tadi dia biarkan.
“Ini ada surat dari yayasan, silakan langsung dibuka.” Takut-takut Ruby menerima amplop coklat itu dan membukanya. Dengan serius Ruby membaca surat itu.
“Kenapa beasiswa saya dicabut Pak? Saya, kan tidak melakukan pelanggaran apa-apa, selain .... hari ini. Tapi nilai saya tetap stabil, Pak.” Ruby merasa tidak terima dengan ke putusan sekolah yang tiba-tiba.
“Saya juga kurang tahu soal itu. Saya sudah menanyakan ini pada Kepala Sekolah. Dia bilang para donatur pemberi beasiswa yang sepakat untuk mencabutnya.” Ruby hanya terdiam dan masih tidak percaya.
“Sebaiknya kamu kembali ke kelas. Untuk hukuman nanti saya sampaikan ke kelas secara langsung.” Ruby hanya mengangguk lemah dan berjalan meninggalkan ruangan itu.
...****************...
Seperti biasa setelah pulang sekolah Ruby akan langsung menuju warung makan milik tetangganya, sepasang suami istri muda, Siska dan Dani. Dia sudah izin akan telat karena harus membersihkan toilet sekolah. Itu hukuman yang diberikan pak Eko pada mereka berlima. Ada enam toilet perempuan di sekolah. Gladis dan teman-temanya hanya membersihkan dua sedangkan sisanya dibiarkan, agar Ruby yang membersihkannya sendiri.
“Wah, Dek Ruby kelihatan capek sekali hari ini,” ucap Dani yang menghampiri Ruby sedang mencuci piring di wastafel dapur. Pekerjaan Ruby warung ini cukup sederhana, mencuci piring, membersihkan meja, melayani pembeli, walaupun gajinya tidak banyak, setidaknya bisa memenuhi kebutuhannya.
“Iya Bang, karena ada yang perlu dikerjakan tadi di sekolah,” jawab Ruby sopan. Tiba-tiba tangan pria itu sudah ada di kedua pundaknya. Tubuh Ruby menegang dan bulunya meremang. Ruby ketakutan.
“Aku pijat, ya, biar kamu lebih rileks.” Dani pun mengerakkan jari-jarinya dengan senyuman nakal.
“Gak perlu, Bang. Saya tidak apa-apa.” Ruby menjauh dan membuat tangan pria itu terlepas dari pundaknya.
“Saya permisi dulu, mau ke toilet.” Ruby cepat-cepat menuju toilet lalu berjongkok untuk mengatur nafasnya yang tidak teratur dan membuatnya hampir tercekik. Dia tidak menyangka pria gila itu sudah berani menyentuhnya. Padahal Ruby mencoba untuk tetap bertahan walaupun mendapat tindakan yang melecehkannya karena sekarang dia harus membayar biaya sekolahnya.
Ruby mengintip, dan melihat Dani sudah tidak ada di sana. Ruby menghembuskan nafasnya lega. Dia pun keluar dan melanjutkan kembali pekerjaannya dan berharap suami Siska itu tidak akan ke dapur lagi.
“Ruby!” Terdengar suara panggilan dari depan, itu suara Siska.
“Iya, Kak!” Cepat-cepat Ruby membasuh tangannya dan menghampiri Siska yang ada di kasir.
“Kamu udah siap belum cuci piringnya?” tanya Siska.
“Sedikit lagi. Kenapa, Kak?”
“Aku mau keluar sebentar, kamu jaga di depan sini, ya.”
“Baik, Kak.”
“Aku pergi, ya.” Ruby hanya tersenyum melihat kepergian Siska, namun senyumnya sirna setelah melihat wanita itu pergi sendiri tanpa ada suaminya yang mengikuti. Tiba-tiba Dani muncul dan masuk ke dalam warung. Ruby mencoba untuk tetap tenang, walaupun sebenarnya dia sangat ketakutan.
Para pelanggan sudah selesai makan, dan membayar pada Ruby. Setelahnya dia langsung membersihkan meja-meja itu. Kini warungnya sudah sepi.
“Dek Ruby ke belakang aja, lanjutkan cuci piringnya. Biar Abang yang menjaga di sini.” Walaupun enggan Ruby tetap menurut karena tidak mungkin ia menolak.
Ruby pun berjalan ke belakang dan melanjutkan cuci piringnya. Tidak berapa lama Dani pun ikut ke belakang. Perasaan Ruby sudah tidak tenang dan berharap Siska akan segera pulang.
Dani kini sudah berdiri tepat di belakangnya. “Ada apa ya, Bang?” tanya Ruby.
“Tidak ada apa-apa,” jawab pria itu dengan senyuman yang cukup menyeramkan.
Secara tiba-tiba tangan Dani meremas bokong Ruby, karena refleks Ruby langsung memukul kepala pria mata keranjang itu dengan piring kaca yang dipegangnya. Pukulan itu cukup kuat dan membuat Dani terjatuh dan sedikit pusing.
“Kamu gila ya, pukul Abang pake itu!” Dani menunjuk piring yang masih dipegang Ruby, sedangkan tangan satunya mengelus kepalanya.
“Lo yang gila, berani-beraninya nyentuh gue!” teriak Ruby.
“Berani kamu sekarang!” Bersusah payah Dani bangkit dari duduknya dan menarik rambut Ruby lalu mendekapnya dari belakang, namun dengan cepat Ruby langsung menusuk perut Dani dengan sikunya membuat pria itu melepaskan tangannya dari rambut Ruby, karena sakit di perutnya.
“Ada apa ini?” tanya Siska yang baru saja datang.
“Dia tadi mau mencuri uang dari kasir. Tapi karena ketahuan dia jadi mengamuk dan memukul, Abang.” Ruby tidak kaget lagi dengan ucapan Dani.
Siska menghampiri Ruby dengan nafasnya memburu karena amarahnya yang tertahan, bukanya menanyakan kebenaran, Siska langsung saja menampar kuat Ruby.
“Aku memperkerjakan kamu karena kasihan melihat hidupmu yang sulit dan ditinggal pergi oleh ibumu yang tidak bertanggung jawab. Tapi bisa-bisa kamu malah mencuri dan melukai suamiku. Pergi dari sini, sekarang!”
Ruby berjalan tenang meninggalkan tempat itu. Walaupun sekarang dia kehilangan pekerjaannya, setidaknya dia tidak akan bertemu pria gila itu.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments