Setelah tidak bekerja di warung makan itu lagi, Ruby tidak memiliki kegiatan lain sepulang sekolah. Dirinya hanya menghabiskan dua bulan terakhirnya di perpustakaan kota untuk belajar sebelum hari ujian tiba. Kehidupannya di sekolah tetap sama seperti biasa. Tetapi Gladis sedikit berubah. Dia tidak melakukan hal-hal yang kelewat batas lagi, meskipun tatapan permusuhan masih terlihat jelas di wajahnya. Untuk biaya sekolah dan kebutuhannya, Ruby akhirnya menggunakan uang dari ibunya. Ia terpaksa, tidak ada pilihan lain. Dia berjanji pada dirinya sendiri jika uang itu ia gunakan hanya sampai lulus SMA. Untuk ke depannya, dia akan memikirkannya nanti. Terbesit sedikit di kepalanya untuk kabur dari rumah.
Baru satu jam berlalu, Ruby yang mulai bosan meletakkan kepalanya di atas meja menghadap ke kanan. Matanya berpusat menatap buku-buku yang ada di lemari raksasa itu. Tubuhnya sekarang memang berada di perpustakaan, tapi pikirannya sudah melayang entah ke mana.
“Setelah ini, gue harus apa?” monolognya. Tak pernah sedikit pun Ruby memikirkan kehidupannya setelah SMA. Bahkan sampai hari ini semua yang dia alami masih terasa seperti mimpi.
“Jika boleh berandai-andai, gue pengen kehidupan gue yang dulu.” Ruby mendengus kencang. Saat-saat memikirkan kehidupan yang sulit, kebanyakan orang akan menangis. Berbeda dengan Ruby, sekuat apa pun dia mencoba air matanya tidak akan kunjung turun. Padahal dia ingin mengurangi sesak di dadanya.
“Ngeliatin apa, lo?” Ruby yang mendengar suara dari sebelahnya langsung mengangkat kepalanya untuk melihat si pemilik suara.
“Lo, kok di sini?” tanya Ruby, sedikit kaget melihat Theo. Cowok itu tersenyum ke arahnya sambil mengayunkan dua botol minuman yang ada di tangannya. Karena sekarang mereka berada di perpustakaan, mereka berbicara dengan suara pelan.
“Emangnya ada larangan, gue gak boleh ke perpustakaan umum?” Theo balik bertanya dengan nada sedih. Dia juga meletakkan satu minuman itu di hadapan Ruby.
"Gak gitu, maksud gue bukannya hari ini lo ada les privat matematika?”
“Kelasnya libur. Hari ini gue mau nemenin lo seharian. Udah lama juga kita gak main bareng.” Mendengar jawaban Theo, Ruby hanya tersenyum mengejek.
“Lo gak percaya?” Menantang Ruby.
“Bukannya gak percaya, cuma sebentar lagi tante Tia pasti nelpon,” batin Ruby.
Mama Theo itu sangat protektif. Dia tidak bisa melihat putranya yang satu ini bergaul dengan orang-orang yang bukan pilihannya.
Dulu tante Tia juga sangat menyukai Ruby, tapi semenjak ayahnya meninggal, wanita itu seolah langsung memutuskan hubungan. Bagi mama Theo, Ruby sekarang ini adalah orang yang bisa saja memanfaatkan Theo. Begitulah pendapat Ruby. Wajah tampan, fisik sempurna, bahkan masa depan cerah akan sia-sia jika berteman dengan Ruby. Mereka sekarang berbeda dunia. Karena itu, Ruby menghilangkan perasaan sukanya pada Theo setelah berubahnya sifat orang-orang di sekitarnya.
“Iya, gue percaya.” Akhirnya Ruby tersenyum tulus.
“Minum dulu, itu palm sugar coffee kesukaan, lo.” Ruby menurut dan meminum kopi kesukaannya. Perasaannya berubah sedikit lebih baik.
Ruby menatap sekeliling perpustakaan, ternyata tidak terlalu banyak orang hari ini, mungkin karena hujan orang-orang jadi malas ke luar rumah. Sedangkan Ruby sudah di perpustakaan sebelum hujan turun.
“Ruby ... kayaknya lo bener, deh. Gue gak bisa nemenin lo hari ini. Soalnya papa pulang, jadi gue juga harus pulang. Maaf, yak.” Theo baru saja mendapat pesan dari mamanya yang menyuruhnya pulang karena papanya ada di rumah. Theo merasa bersalah karena tidak jadi menghabiskan hari dengan Ruby. Tetapi tidak mungkin juga jika dirinya tidak pulang.
Selama ini papanya ada di ibukota karena menjadi wali kota Semarak, sedangkan mereka berada di daerah Gempita. Mamanya tinggal berjauhan dengan papanya, dan memilih pulang-balik jika ada pekerjaan bersama. Mamanya mengambil keputusan ini karena mengutamakan pendidikan Theo.
“Gak apa-apa, gue ngerti, kok. Pulang sana buruan, entar tante Tia mengamuk,” canda Ruby, sambil tertawa dan memunculkan lesung pipinya.
“Maaf, ya ... gue pergi dulu.” Theo pun akhirnya pergi meninggalkan Ruby dengan wajah menyesal. Sambil berjalan ke depan sesekali dia menoleh ke arah Ruby. Ruby hanya bisa memandangi kepergian Theo yang akhirnya menghilang di balik pintu.
“Apa di luar masih hujan? gimana gue bisa pulang?” Ruby kembali melamun seperti semula.
...****************...
Ruby yang sudah lelah semakin lemas karena mendapati toilet yang sangat kotor. Setelah ia selesai membersihkan tiga toilet lainya, dia menuju toilet terakhir ini. Sebenarnya ini bukan toilet yang biasa dia bersihkan. Gladis dan yang lainnya pasti sengaja menghindari toilet yang bau ini.
Sebelum kemari, dia menuju toilet paling ujung yang biasa dia bersihkan, ternyata ada Gladis dan teman-temannya yang sedang merokok. Ruby sedikit shock melihat pemandangan itu. Melihat momen penting, Ruby pun merekam mereka diam-diam dengan kamera CCTV berbentuk pulpen yang selalu dia bawa. Dia tahu itu ilegal, tapi itu bisa berguna suatu saat nanti jika Gladis masih berulah.
Setelahnya, barulah Ruby mendatangi toilet ini. Jika yang sebelum-sebelumnya dia mengerjakan dengan senang hati, berbeda dengan ini. Dia benar-benar mengerjakan sambil menggerutu.
“Gak capek lo, ngomel terus?” Ruby terkejut melihat Theo sudah berdiri membelakangi cermin, menghadap kearahnya.
“Ngapain lo di sini?” tanya Ruby, heran. Dua hari ini Ruby selalu dikagetkan dengan keberadaan Theo yang tiba-tiba dan di tempat yang tidak terduga.
“Gue mau tepati janji gue yang kemarin,” jawab Theo santai.
“Lo yakin bisa nemenin gue seharian ini?” Theo mengangguk percaya diri.
“tapi gue harus bersihin toilet ini dulu.”
“tidak masalah, sini biar gue bantu.” Theo mendekati Ruby dan mencoba mengambil kain pel yang dipegang Ruby.
“Gak-gak, lo nunggu di luar aja sana. Gak sopan lo, ini toilet cewek.” Theo pun terkekeh dan keluar dari toilet itu.
“Gue bisa mampus kalau tante Tia tahu anak kesayangannya di suruh bersihin toilet. Toilet cewek lagi. Untung aja dia nurut nunggu di luar.” Ruby bergumam pelan. Ia pun mempercepat bersih-bersihnya.
Tidak seberapa lama, akhirnya pekerjaan Ruby selesai. Dia pun keluar dari toilet mendapati Theo yang duduk bersandar di tembok seberang toilet sambil bermain game di HP-nya.
“Lo kok duduk di sini, kan kotor.” Ruby mengulurkan tangannya membantu Theo berdiri.
“Berani kotor itu, kan baik,” jawab Theo santai, meraih tangan Ruby untuk bangun, kemudian membersihkan celana abu-abunya. “Jadi kita mau ke mana dulu?” Theo langsung merangkul Ruby.
“Makan dulu gak, sih. Gue laper.”
“Benar sekali, kita harus makan, karena gue juga laper.” Keduanya pun tertawa keluar dari sekolah.
Dengan mengendarai motor milik Theo, mereka menuju restoran siap saji favorit mereka. Sesampainya mereka pun langsung memesan kemudian menunggu di meja kosong dekat jendela.
“Hari ini alasan apa lagi?” Ruby tahu bahwa hari ini Theo juga ada kursus piano, bagaimana bisa dia kabur?
“Gue minta libur sama mama. Karena besok udah mulai ujian, jadi gue pengen main hari ini.”
“Semudah itu?” Theo mengangguk. Ruby tidak menyangka tante Tia akan memberikan kelonggaran pada Theo, apalagi bersama dirinya.
“Sebenarnya semalam papa gak beneran pulang.”
“Serius! Jadi tante bohong?”
“Iya, dia mau gue nemenin dia ke rumah temennya. Seperti biasa.” Ruby tersenyum geli, membayangkan posisi Theo saat itu.
Sejak dulu, mama Teo itu selalu membawa Theo ke rumah teman atau kenalannya untuk diperkenalkan. Terlebih jika mereka memiliki anak perempuan yang bisa dikenalkan pada Theo, itu adalah hal paling dia sukai.
“Jadi kemarin lo dapat kenalan baru, dong?”
“Namanya, Cantika.”
“Cantik dong.”
“Ya jelas, gak mungkin ganteng.”
“Lo masih gak percaya kalo sekarang lo emang lagi di cariin jodoh sama tante Tia?”
“Untuk sekarang gue cuma menurut aja sama mama, kalau memang tujuannya itu, gue bakal nolak.” Theo membuang pandangannya keluar kaca.
“Kenapa? Lo juga gak punya pacar kan sampai sekarang. Jangan-jangan lo lagi punya gebetan, ya?” Wajah Theo memerah. Ruby tertawa dengan reaksi Theo yang tiba-tiba malu.
Meskipun tertawa Ruby merasa sedikit nyeri di dadanya. Apa yang salah?
“Siapa? Lo gak mau cerita ke gue?” Ruby berbicara dengan ceria.
“Kalo lo sendiri gimana?” Bukannya menjawab pertanyaan, Theo malah balik bertanya.
Ruby terdiam sebentar. “Gimana bisa gue sempat-sempatnya suka sama cowok saat begini.”
“Memangnya itu salah?”
“Enggak sih, tapi siapa yang mau sama gue?” Obrolan mereka terpotong oleh pramusaji yang mengantarkan pesanan mereka. Kini mereka menikmati makanan dalam diam, seolah keduanya enggan membahas lagi.
Selesai makan, mereka kembali ceria melupakan obrolan mereka sebelumnya. Mereka pun akhirnya menuju mal untuk menonton bioskop, bermain arcade dan terakhir mereka ke bazar makanan. Setelah jam tujuh malam, mereka memutuskan untuk pulang, karena besok sudah mulai ujian mereka tidak mau terlalu lelah hari ini.
Setelah sampai di depan rumahnya, Ruby turun dari motor Theo dan menyerahkan helm yang dia gunakan. Walaupun hanya beberapa jam Ruby sangat senang bisa menghabiskan waktu lagi bersama Theo. Mungkin ini adalah terakhir kalinya mereka bisa bermain bersama.
“Jangan lupa bangun lo. Semangat untuk ujian besok!” Theo mengepalkan tangannya memberikan semangat pada Ruby.
“Gue pergi. Bye!” Theo menutup kaca helmnya dan menjalankan motornya. Ruby bersama senyumannya melihat kepergian Theo sampai cowok itu menghilang.
Ruby pun memasuki rumah dengan perasaan hampa. Entah mengapa tiba-tiba rasanya begitu kosong. Ketika melihat sekitar, Ruby baru sadar jika rumahnya lebih bersih dan rapi. Dia pun langsung mengecek kulkas. Ternyata ada beberapa food prep yang sudah disiapkan.
“Ternyata dia masih ingat alamat rumah ini.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 29 Episodes
Comments