Pagi harinya di apartemen Nadia terlihat masih tidur dengan nyenyak, sedangkan Rasya baru saja kembali setelah sebelumnya membeli makan untuk sarapan pagi itu.
Seperti biasa dia menata dengan rapi semua makanan di meja makan. Dia membeli dua jenis makanan, yang satu untuknya dan yang satu lagi khusus untuk Nadia karena dia tahu jika kekasihnya masih merasa mual, usia kandungannya kini memasuki dua bulan.
“Apa dia belum bangun? Aku akan melihatnya dulu,” monolog Rasya sambil membuka sedikit pintu kamar tersebut.
Benar saja dia masih tertidur lelap, Rasya pun tidak ingin mengganggunya dan menutup pintu itu kembali karena tidak ingin mengganggunya.
Rasya duduk kembali di meja makan dia melihat ponselnya yang tergelatak di sofa lalu dia mengambilnya, dilihat ponselnya yang ternyata dalam keadaan mati dan segera menghidupkannya kembali.
Banyak sekali pesan dan panggilan dari orang tuanya serta Yuli sekretarisnya. Dia langsung membaca isi pesan tersebut dan terkejut karena semalam orang tua Nadia kerumahnya mencari mereka, Darman menyuruhnya pulang dan bicarakan dengan baik-baik.
Bukannya membalas pesan orang tuanya Rasya malah mengabaikannya. Kali ini dia benar-benar takut jika keluarganya menemukan keberadaan mereka.
“Aku tidak akan pulang sebelum menikah dengan Nadia. Maafkan aku jika egois karena itu juga gara-gara kalian yang selalu mengatur hidupku,” marah Rasya kepada orang tuanya khusunya pada mamahnya.
Tanpa Rasya sadari di meja makan sudah berada Nadia yang sedang menatapnya. Nadia sengaja tidak memanggilnya karena dia tahu saat ini kekasihnya terlihat kesal. Dia langsung meminum susu yang tersedia di meja tersebut.
Masih dengan tatapannya ke arah Rasya, dia pun mengambil susu tersebut lalu meminumnya, seketika dia tersedak karena ternyata masih panas dia terkejut tidak merasakannya karena fokus menatap Rasya,
“Ya ampun ternyata masih panas lidahku terasa terbakar,” ucapnya sambil meniup susunya.
Mendengar suara Rasya langsung menoleh ke arah meja makan. Dia melihat Nadia yang sedang kepanasan segera menghampirinya.
“Kenapa tidak hati-hati pikiranmu kemana? Masa susu yang masih panas langsung diminum? Apa saat mengambil gelasnya tidak terasa panas di tanganmu,” ujarnya memarahi Nadia.
“Jangan memarahiku ,” ketus Nadia.
“Kamu ini malah balik marah aku ini hanya khawatir, Nadia!” ujarnya.
“Berlebihan,” ucapnya.
Tidak ingin melanjutkan perdebatannya Rasya memilih untuk diam dan menyuruh Nadia untuk sarapan, mereka pun sarapan bersama.
“Bersiaplah kita akan berangkat 2 jam lagi tidak perlu membawa apa-apa, aku sudah persiapan semuanya di sana, dari pakaian, tempat tinggal dan,-“ ucapnya terhenti saat Nadia memegangi tangannya.
“Apa kamu yakin, Rasya? Apa setelah menikah nanti di sana kita akan bahagia tanpa restu orang tua kita!” tegas Nadia
Rasya tertegun ketika Nadia berkata seperti itu.
“Lalu apa yang harus aku lakukan? Aku sudah berusaha bicara baik-baik, dengan orang tuamu kalau aku ingin menikahi mu , lalu bicara dengan orang tuaku. Tapi hasilnya tetap tidak mendapat restu sedangkan kandunganmu makin lama makin besar. Apa kamu ingin sampai bayi itu lahir kita tidak juga menikah!” sungut Rasya.
Tidak ada jawaban dari Nadia dia langsung saja makan sarapannya, tidak ingin berdebat panjang dengan kekasihnya itu karena dirasa percuma saja.
Setelah selesai sarapan dan membereskan semuanya, Nadia berlalu pergi ke kamarnya untuk bersiap. Dia masih terdiam membuat Rasya merasa bersalah karena sudah meninggikan suaranya dihadapan Nadia.
Padahal dia sadar jika kekasihnya itu sedang hamil. Biasanya wanita yang sedang hamil itu perasaannya sangat sensitive dan cenderung ingin selalu diperhatikan, bukannya dibentak seperti yang dilakukan Rasya saat di meja makan tadi.
***
Satu jam kemudian Nadia dan Rasya berangkat ke bandara. Setelah sampai Nadia merasa mual lalu Rasya menyuruhnya untuk duduk sebentar menunggu rasa mualnya mereda.
“Di mana obatnya biar aku ambilkan,” ujar Rasya.
“Aku sudah minum tadi setelah sarapan biasanya tidak mual sampai seperti ini. Kenapa sekarang perutku terasa sakit Rasya, apa aku bisa naik pesawat dalam kondisi ku seperti ini?” tanya Nadia.
“Tunggu di sini aku akan membeli minuman hangat, agar perutmu terasa hangat,” ucap Rasya sambil mengelus punggung Nadia.
“Jangan pergi tunggu saja sebentar lagi mungkin nanti rasa mualnya akan hilang,” ucapnya seraya menatap Rasya dengan tubuhnya yang terasa lemas.
Penerbangan setengah jam lagi namun mual yang dirasakan Nadia tak kunjung hilang, mereka saat ini masih duduk berdua dengan posisi Nadia yang bersandar di bahu Rasya.
Sambil mengusap bahunya berharap semua sakit yang dirasakan Nadia berkurang, Nadia menatap Rasya dengan senyuman manis membuat kekasihnya itu merasa malu.
“Jangan melihatku seperti itu apa dengan menatapku begitu rasa mual mu bisa hilang,” tanya Rasya.
“Iya dan sekarang aku ingin minuman yang rasanya asam. Bisa tolong belikan?” ucapnya memohon.
“Baiklah kamu jangan kemana-kemana sampai akau kembali,” jelas Rasya.
Setelah Rasya pergi Nadia termenung, dia sudah berusaha meyakinkan Rasya untuk kembali ke rumah namun gagal. Di satu sisi Nadia bahagia bisa pergi ke negara impiannya, tetapi dia juga tidak ingin pergi tanpa pamit kepada kedua orang tuanya begini.
Dengan bersandar di kursi dia mengingat ketika waktu SMA dulu dia bermimpi ingin kuliah ke Jepang, karena pada saat itu teman masa kecilnya yang merupakan tetangganya bercerita tentang negara tersebut.
Temannya berhasil mendapatkan beasiswa ke negara tersebut. Sekarang dia sudah bekerja di Jepang dan memutuskan untuk menetap di sana.
Walaupun Nadia termasuk murid berprestasi di kelas dan sangat pintar. Tapi kesempatan mendapatkan beasiswa ke sana hanyalah sebuah mimpi. Karena pada kenyataannya Nadia tidak bisa meninggalkan orang tuanya yang sudah menua.
“Bangun, Nadia! apa kamu masih mual, pusing, atau perutnya masih sakit,” tanya Rasya yang mendapati Nadia tertidur.
Dia merasa khawatir namun saat Nadia terbangun langsung mengambil minuman yang dipegang Rasya dan langsung meminumnya.
“Kamu cerewet banget sih,” Sambil mengelap bibirnya dengan baju Rasya yang sedang dipakai.
“ish jorok banget sih, bajuku kan jadi kotor! Pakai ini !” Rasya mengambil tissue di dalam tasnya lalu mengelap bibir Nadia dengan lembut.
Karena sedikit kesal dia mengelap tissue tersebut ke semua wajah Nadia sambil tertawa puas, karena sudah balik mengerjai kekasihnya.
“Kamu ini usil juga ya akan aku balas nanti,” ucapnya sambil mencubit dengan cubitan kecil yang teramat sakit ke seluruh tubuh Rasya secara bergantian.
Mereka seperti anak kecil yang sedang meledek satu sama lain, Hingga orang-orang di sekitarnya pun memperhatikan mereka berdua.
“Ampun hentikan sakit! Ya aku minta maaf sudah berhenti ini sangat sakit, Nadia!” ujarnya masih sambil tertawa.
“Tidak akan aku maafkan” ketusnya sambil melipat tangannya seraya menatap tajam ke arah Rasya.
Lima belas menit lagi pesawat akan berangkat, Rasya mengajak Nadia untuk segera pergi. Saat perjalanan menuju pemeriksaan keamanan, ponsel Rasya berdering ada telepon masuk.
Sebenarnya dia tidak ingin menerima telepon tersebut, karena Nadia melihat yang menelpon itu papahnya Rasya, dia meyakinkan Rasya untuk menerimanya.
“Angkat saja siapa tahu penting takut terjadi apa-apa dengan mereka,” ucap Nadia.
Akhirnya Rasya menurutinya lalu segera dia terima telepon tersebut. Setelah mendengar apa yang di katakan papahnya Rasya terkulai lemas dan menatap Nadia dengan berlinang air mata.
“Ada apa Rasya? Apa yang di katakan papah mu,” tanyanya penasaran.
“Ma-mamahku dia,-“ Rasya tidak bisa meneruskan ucapnya karena terus menangis.
“Lebih baik kita pulang sekarang aku tidak ingin terjadi apa-apa dengan orang tuamu. Aku mohon kali ini jangan keras kepala. Pikirkan mereka jangan melawannya!” ujar Nadia.
Kali ini Nadia berhasil membujuk Rasya untuk kembali, walaupun akhirnya mereka tetap tidak mendapatkan restu. Nadia sudah pasrah dengan apa yang terjadi nanti.
*
*
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments