Nadia tidak percaya bahwa pertemuannya dengan Rasya malam kemarin adalah pertemuan terakhir sebelum temannya itu berangkat kuliah di Amerika.
Di mana lagi menemukan teman baik dan tulus seperti dia. Mungkin di dunia ini hanya seribu satu teman seperti itu. Tapi sudahlah, sekarang dia harus fokus menata masa depannya, serta membahagiakan orang tuanya.
Khususnya sang ayah yang sangat berharap suatu hari nanti putri satu - satunya ini akan sukses. Sama seperti Rasya, Nadia pun merupakan anak tunggal di keluarganya.
Tiba di perusahaan Nadia langsung menemui Darman papahnya Rasya, sekaligus pemilik perusahaan tersebut.
Setelah salah satu karyawan mengantarkan dia ke ruangan. Melangkahkan kakinya masuk setelah dia menyapa dan dipersilahkan duduk.
Interview pun dimulai dan berlangsung selama 15 menit. Gugup itu sudah pasti, apalagi yang interview itu pemiliknya langsung bukan melalui HRD, seperti pekerja pada umumnya. Nadia pun langsung diterima bekerja.
Dengan perasaan senang Nadia langsung menemui orang tuanya, dia ingin segera memberitahu berita bahagia ini sesampainya di rumah nanti.
“Ibu, bu. Ibu di mana?” pekik nadia sambil berlari kecil. Dia mencari keseluruh ruangan rumahnya, tetapi tidak menemukan ibunya itu.
Tidak biasanya sang ibu tidak terlihat saat anak gadisnya pulang. Biasanya dia sudah berdiri di depan pintu menunggunya. Apalagi jika Nadia pulang terlambat, belum juga masuk dia sudah diintrogasi seperti maling yang baru saja ketahuan mencuri.
Nadia duduk di sofa ruang tamu, sambil memainkan ponsel berharap ada pesan darinya. Karena sejak saat dia berangkat sampai sekarang, mereka sama sekali tidak pernah komunikasi lagi. Tidak ada kabar dari Rasya apalagi sekedar menelfonnya.
Nadia menghela nafas kasar, bersandar melempar ponselnya ke sembarang tempat sedikit kesal.
“Apa dia sangat sibuk? Kenapa dia tidak pernah menghubungi ku walaupun hanya sekali saja,” gerutunya mengambil kembali ponselnya, beranjak dari tempat duduk menuju kamar.
***
Tak terasa sudah tiga tahun berlalu Nadia bekerja di perusahaan milik ayah temannya itu. Dia sangat senang dengan pekerjaannya, apalagi dengan semua karyawan di sana yang selalu baik, mau berteman dengannya tanpa membeda bedakan dia karena statusnya yang hanya lulusan SMA.
Sedangkan mereka yang bekerja di perusahaan itu, rata – rata lulusan universitas ternama.
Jam istirahat tiba, seperti biasa dari masih bersekolah sampai hari ini saat Nadia sudah kerja pun selalu membawa bekal makanan.
Saat dia sedang makan, teringat seseorang dulu yang selalu menghampirinya dan menganggu makan siangnya. Sambil menyuap makanannya, tak terasa dia tersenyum mengingat setiap moment bersama Rasya saat bersekolah dulu.
“Pantas saja kamu gak pernah jajan di kantin, ternyata masakan ibumu lebih enak,” ucap Rasya sambil mengunyah makanan yang masih penuh di dalam mulutnya.
Nadia senang dia suka dengan masakan ibunya itu. Karena memang Rasya sendiri jarang makan masakan mamahnya di rumah, jangankan untuk sarapan pagi, saat dia sudah di rumah pun jarang bertemu dengan kedua orang tuanya yang masing – masing sibuk dengan pekerjaannya.
Nadia pernah sengaja membawa dua bekal makanan dan diberikan satu untuk Rasya. Setidaknya hanya itu yang bisa dia kasih, sebagai ucapan terimakasih dan balas budi atas semua bantuan yang Rasya kasih untuknya selama ini.
Jam menunjukkan pukul 4 sore, semua karyawan bersiap untuk pulang. Saat di depan pintu lift dia mendengar seseorang sedang bergosip dengan karyawan lainnya.
“Eh sebentar lagi kan ulang tahun perusahaan ya? tadi kamu denger gak waktu kita meeting, Pak Darman bilang kalau acaranya bakal di adakan di hotel ternama di Jakarta, pasti bakal meriah banget,” ujar salah seorang karyawan yang berada tepat di samping Nadia.
Pintu lift pun terbuka semua masuk, obrolan berlanjut sampai pintu lift terbuka kembali berhenti di lobby utama kantor.
“Pasti meriah lah, kamu tau gak? Gosipnya, putra tunggal Pak Darman bakal datang di acara itu juga. Dia selama ini kuliah di Amerika,” ucap nya sambil berlalu keluar kantor.
Nadia yang sedari tadi mendengar percakapan mereka hanya bisa diam, sambil berjalan pelan dia memikirkan bagaimana jika benar Rasya akan pulang saat ulang tahun perusahaan.
Sebenarnya dia juga berharap Rasya kembali, tetapi mengingat sudah tiga tahun lamanya dia putus komunikasi dengan Rasya membuatnya takut.
Takut jika Rasya tidak mengenal dia lagi.
Takut jika Rasya berubah sikapnya.
“Ahh … udah lah biarin ajah! Mudah – mudahan yang aku takutkan tidak terjadi,” gerutunya yang masih khawatir akan hal yang belum terjadi.
Sepulang kantor Nadia tidak langsung pulang ke rumah. Dia ingin mampir sebentar ke supermarket untuk membeli keperluan pribadinya.
Sebelumnya dia sudah mengirim pesan pada sang ibu, jika akan pulang terlambat. Setelah berbelanja Nadia memutuskan untuk duduk sebentar di kursi depan supermarket sambil menyeruput segelas kopi yang tadi dibelinya.
Hari ini sungguh melelahkan baginya. Bukan hanya soal kerjaan di kantor, dia juga lelah dengan hati dan pikirannya, yang selalu memikirkan temannya itu. Terlebih lagi dia baru saja mendengar, jika temannya itu akan kembali ke Indonesia dalam waktu dekat ini.
Karena sudah hampir malam Nadia memutuskan untuk naik taxi dibanding naik bis. Karena jarak rumah dari kantornya sangat jauh.
Saat menunggu taxi tiba – tiba ada pria bertopi dan berjaket hitam yang menabraknya. Karena Nadia takut dia tidak berani menegur seseorang itu. Dia hanya memandangi dengan intens seperti mengenalnya.
Sesampainya di gang rumahnya, Nadia melangkah turun dari taxi sambil membawa belanjaannya. Dia harus berjalan melewati gang, yang lumayan jauh untuk sampai ke rumah.
Di tengah perjalanan dia merasa ada yang mengikutinya, tetapi pada saat dia menoleh ke belakang tidak menemukan siapa – siapa selain dirinya. Memang gang tersebut terbilang sepi jarang orang lewati.
Apalagi sudah hampir larut malam begini. Suasana di gang tersebut semakin mencekam.
“Seperti nya aku memang merasa lelah hari ini. Aku harus benar – benar istirahat,” ujar Nadia yang sebenarnya takut, karena dia yakin ada seseorang yang mengikutinya.
Dengan cepat dia berusaha sekuat tenaga, berlari kencang karena saking takutnya. Dirasa sudah tidak ada yang mengikutinya Nadia berhenti sejenak dengan nafas yang tidak beraturan.
Dadanya masih terasa sesak akibat lari terlalu kencang secara tiba – tiba, ditambah lagi kakinya terasa sakit karena dia berlari memakai sepatu pantofel membuat tumit kakinya sedikit lecet.
Sambil melepas sepatu pantofelnya, dia merogoh kantong celana mengambil ponsel lalu menghubungi sang ayah untuk menjemputnya, karena dia merasa sudah tidak ada tenaga lagi untuk melanjutkan perjalanan pulang.
Saat telfon tersambung, tepat di belakangnya terdengar suara samar – samar . seseorang memanggilnya sambil menepuk pelan bahunya.
“Nadia?”
*
*
Bersambung
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 102 Episodes
Comments
Shōyō
hiiiiiy, sapa tu
2023-12-07
1