Let's go

🎇Ice Cream, Flower, and Sword🎇

Ini cerita bakal ada manis-manisnya gitu.

Happy reading dear....

****

"Sudah selesai meditasinya?" tanya Chan di ambang pintu ruang latihan.

Aza terkejut kecil, ia menghampiri Chan yang menunggunya di depan pintu. Di sana, Aza bersama Felix yang baru selesai meditasi. "Felix, aku rasa kau juga harus mengajak Minho meditasi, itu bagus untuk melatih pengendalian kekuatannya," ucap Chan. Felix mengacungkan ibu jarinya pada Chan.

Chan menoleh pada Aza. "Ayo, ganti pakaianmu, 30 menit lagi ku tunggu di depan."

"Hm?"

Chan menggusap tengkuknya yang tak gatal. "Kita jalan-jalan sebentar, ada toko es krim yang baru buka di dekat sini. Aku rasa kau belum pernah benar-benar menikmati kehidupan di bumi karena mencari para pangeran dan terlibat dengan Aliansi," jawab Chan.

Aza membuka mulutnya. "Aaa.. Iya, kau benar. Baiklah, aku ganti pakaian dulu," ucapnya. Chan tersenyum tipis, Aza keluar menuju kamarnya, Chan mengamati punggunya hingga tak terlihat.

"It's date, right?" suara Felix membuat Chan tersentak, ia sempat tak menyadari keberadaan saudara satu Klan nya itu.

"A-anu... Aku hanya mengajaknya refreshing. Setidaknya sebelum ia kembali ke sana, ia juga bisa merasakan bagaimana hidup di bumi." Chan beralasan.

Felix menaikan sebelah alisnya, membuang napas. "Ya, semoga kalian bersenang-senang." pemuda itu melangkah meninggalkan Chan yang masih diam di posisinya. "Oiya Chan." Felix berbalik, "Azalea itu calon ratu Anscoup, kan? Berarti kau–"

"Aku tahu," Chan menghela napas. "Aku harus menjadi raja," lanjutnya sedih.

"Kau tak ingin menjadi pendamping Aza?"

"Bukan begitu. Aku hanya ingin bebas Felix, banyak galaksi juga bintang-bintang di luar sana yang ingin aku datangi. Seolah-olah aku hidup bersama galaksi-galaksi itu."

Felix tak merespon, ia menatap sendu kakaknya, "apa kau menyukai gadis itu? Jangan melakukan sesuatu yang tak kau sukai meskipun itu demi banyak orang," saran Felix.

Chan terdiam untuk berpikir sejenak.

Ia menghampiri Felix dan merangkulnya. "Ahahaha kau benar, aku terlihat tidak yakin dengan perasaanku, ya? Akan ku pastikan secepatnya."

Felix tersenyum. Ia menyikut Chan, meminta pemuda itu melepaskan rangkulannya.

"Maaf aku lama," cicit Aza, ia menghampiri Chan yang sudah duduk di motornya. Chan memakai kemeja putih sepertiga lengan dengan jaket kulit hitam yang biasa ia kenakan.

Aza sedikit tersentak, Chan yang duduk di motornya seperti itu terlihat keren menurutnya.

"Pakai ini." Chan menyerahkan Helm padanya, Aza menatap Helm itu bingung membuat Chan gemas dengan ekspresi bengong gadis itu. "Biar aku pakaikan." Chan mengambil helm di tangan Aza dan memakaikannya pada Aza. Aza sedikit mengerjap, ia meneguk ludah melihat ekspresi pemuda di depannya yang sedang menahan senyum itu, membuat lesung di pipinya mencuat. "Imut" guman Aza dalam hati.

"Ayo naik, kita harus pulang sebelum malam."

Aza menaiki kuda besi itu, Chan melajukan motornya. Aza sedikit terkejut, ia refleks memegang jaket pemuda itu. Chan tersentak, menyembunyikan senyumnya, ia mengambil tangannya Aza dan melingkarkannya di pinggangnya. Aza memekik kaget.

"Pegangan, nanti jatuh. Aku akan sedikit ngebut," ucap Chan. Aza mengangguk dengan pipinya yang sudah merah padam.

"Tadinya, aku ingin pergi dengan portal teleportasi seperti waktu itu dengan Changbin. Tapi sepertinya mengendara seperti ini juga menyenangkan. Kau bisa merasakan angin yang menyapu wajahmu dan mengibaskan rambutmu, rasanya menyenangkan." Chan memulai percakapan.

"Apa ini tidak berbahaya? Di Anscoup kalau ingin naik kereta terbang saja harus ditemani pengawal," tanya Aza. Matanya menyapu pemandangan di sekelilingnya. Bangunan-bangunan besar dan mewah berjejer, papan iklan besar juga restoran dan kedai-kedai yang tak pernah terlihat sepi.

"Iya, selama kau bersamaku ini aman," jawab Chan.

"Chan?"

"Hm?"

"Apa kau menikmati hidup di bumi?" Chan tertegun, lidahnya terasa kaku untuk menjawab.

Chan memegang tangan Aza lembut. "Pegangan," ucapnya lalu menambah laju motornya.

Aza mengerti Chan sedang mengalihkan pembicaraan itu. Ia mengangguk, kemudian menyeder pada punggung pemuda itu. "Anscoup juga punya banyak hal yang sangat menakjubkan," ucapnya.

****

"Bagaimana dengan ini?" Oliver mengangkat pedangnya dan mengayunkannya pada Han. Han menghindar kemudian menahanya dengan pedangnya. Mereka sedang berlatih pedang. Han sangat ahli dalam bela diri menggunakan pedang. Ia di ajarkan oleh Mingju dan sering berlatih dengan Changbin. Han yang sangat cepat mempelajari sesuatu itu bisa mengalahkan Changbin hanya dengan tiga bulan berlatih. Oliver juga bisa menggunakan pedang, hanya saja tak semahir Han dan Changbin, ia hanya sedikit belajar untuk melindungi diri.

"Peganganmu kurang kuat, Oliver," komentar Han. Mereka sedang beristirahat. Tentu saja Han berhasil menyudutkan Oliver dan menang.

Oliver menyeka keringatnya, ia duduk di sebelah Han. "Sudah lama aku tidak berlatih. Lagi pula, aku ini teknisi, aku berkutat dengan segala macam mesin dan sampel-sampel penelitian. Bukan dengan pedang atau pukulan," bela gadis itu.

"Ahahahaha... Kemampuan otak dan otot itu harus seimbang. Kau lihat Changbin, ia terlalu sering melatih ototnya hingga otaknya kurang diasah." Han terkekeh, Oliver memutar bola matanya malas. Ia menyikut perut pemuda itu. Han mengaduh sakit.

"Terserah," ucap Oliver. Ia berdiri dan mengambil pedangnya yang tergeletak.

"Pegang pedangnya seperti ini." Oliver tersentak saat Han sudah berada di belakangnya melingkarkan lengannya pada pedang yang dipegang Oliver.

"Fokus!" titahnya. Oliver sempat hilang fokus karena suara pemuda itu. Han menuntunnya mengayunkan pedangnya ke udara. Dengan gerakan yang lembut namun tegas.

"Kau bisa membelah udara dengan pedang itu Oliver," gumamnya. Oliver masih diam, bagaimana tidak, pemuda itu bicara di belakang dengan jarak dekat seperti ini.

Mereka berhenti sejenak. "Sudah lama yah, Oliver? Apa kabarmu?" tanya Han, ia menaruh dagunya di bahu gadis itu, menghela napas pelan.

Oliver ingin teriak saat itu juga.

"H-han..." panggil Oliver. Ia berdehem menyembunyikan gugupnya.

"Biarkan seperti ini." lengannya berganti menjadi memeluk gadis itu. "Aku merindukanmu."

****

"Waahh... Manis," gumam Aza, ia menyendok es krim itu ke mulutnya, matanya berbinar setiap memakan es krim itu. Chan tertawa pelan, ia mengacak-acak rambut panjang Aza. Aza sedikit tersentak dibuatnya.

"Ini rasa Choco-Mint, ada rasa dingin dan manis yang terasa segar di mulut." Chan menyuapi es krim miliknya pada Aza.

"Eww... Terlalu dingin di tenggorokan," komentar Aza.

"Ahahahahaa iya memang rasanya seperti itu."

"Tidak buruk juga," balas Aza.

"Bagaimana? Makanan apa yang kau suka di sini?" tanya Chan, tangannya bertumpu pada dagu memandang wajah manis gadis yang sedang mengagumi es krim itu.

"Sejauh ini, aku lebih suka gelato daripada es krim. Kalau makanan aku suka Ramyeon. Saat itu Minho sangat hebat dalam memasaknya" jawab Aza.

Chan mengusap wajahnya, terkekeh pelan, Ahh manis sekali.

"Kau harus makan makanan yang sehat, contohnya seperti yang di masak Oliver."

Aza memainkan sendok es krim nya. "Ya, makanan buatan Oliver sangat enak. Ngomong-ngomong soal Oliver, aku merasa ada sesuatu antara Changbin, Han dan Oliver," gumam Aza. Chan membelalakan matanya.

"Ahh iya, tamu kita pasti sudah sampai." Chan berdiri meletakan uangnya di meja. "Ayo kita pulang," ajaknya. Lagi-lagi ia mengalihkan topik.

Aza menurut, ia berdiri menyusul Chan. "Ehh tunggu," Chan berhenti didepannya, menyampirkan jaket kulitnya ke bahu Aza.

"Kau saja yang pakai," ucapnya. Aza terbengong menatap Chan. Matanya mengerjap berkali-kali.

"Aish kau ini, kenapa diam saja? Ayo naik," panggil Chan. Aza tersadar dan langsung menghampiri Chan di motornya. "Es krim ku belum habis," protesnya.

"Ya sudah habiskan dulu. Aku akan menanyakan tamu kita pada Changbin."

"Sudah."

"Eh cepat sekali?"

"Sebenarnya ini tinggal sekali gigit," Aza meringis tersenyum pada Chan.

"Aish kau ini," Chan mengambil sapu tangan di sakunya, mengelap bekas es krim di wajah Aza. Mereka sama-sama tersentak dengan Aza yang sudah merona.

Deg... Deg... Deg...

Chan menarik tangannya, memasukan kembali sapu tangannya dan berganti memakai Helm. Ia memegang dadanya sebentar dan menarik napas.

****

"Maaf menggangu latihan kalian, kita kedatangan tamu." Oliver tersentak refleks ia melepaskan tangan Han dan sedikit menjauh. Han menghela napas menatap Changbin di depan pintu.

"Liona?" tebak Han, ia sudah diberitahu Chan saat bersama Minho tadi. Changbin mengangguk.

"Jika kau sudah  selesai latihannya, temui kami di ruang tengah," ucap Changbin ekspresinya masih tetap datar. Ia berbalik meninggalkan Oliver dan Han di sana. Changbin menarik napas dan menghembuskannya keras.

"Aku pergi dulu," pamit Han.

"Han." panggil Oliver.

"Hm?"

"Aku tak ingin Changbin salah paham tentang kita. Tapi kenapa kau tetap_"

"Dia tidak akan salah paham." potong Han.

"Maaf soal tadi." Han berjalan meninggalkan Oliver di ruangan itu.

"Changbin tunggu!" panggil Han lorong itu. Han berhasil menyusul Changbin.

"Dimana Liona sekarang?" tanya Han sedikit terengah-engah karena berlari menyusul pemuda itu.

"Aku di sini." Liona menghampiri Han dan Changbin.

"Wah kau J.One ya? Buronan StarTrip, apa kabarmu?" sapa Liona ramah.

"Seperti yang kau lihat, aku sehat tanpa cacat," jawab Han bangga. Changbin mendecih.

"Yah sepertinya benar, ku akui kau cukup hebat bisa melarikan diri dari sana untuk kedua kalinya."

"Aku bisa lari dari sana karena bantuan saudara-saudaraku."

"Ya, jadi, ada berapa orang yang berasal dari sana, Changbin?" tanya Liona. Hyunjin datang bersama Minho membawakan minuman dengan Dori mengikutinya.

"9 orang dan 1 Anima yang bisa bicara. Aku memberi tahu ini agar kau tak kaget nantinya," jawab Changbin.

"Dimana Chan?" tanya Changbin pada Minho.

"Dia sedang pergi bersama Azalea," jawab Felix yang baru tiba di ruangan itu.

"Dan 8 orang itu adalah pangeran Anscoup yang lari dari planetnya? Seperti yang kau jelaskan Itu, benar?"

"Ya."

"Well, kalian adalah Alien dengan pahatan yang sangat sempurna yang pertama aku temui."

"Intinya kau mau bilang kita ini tampan-tampan, kan?" tanya Han mengeluarkan Smirk-nya. Liona memutar bola matanya.

"Changbin sudah menjelaskan semuanya padaku. Jujur aku tidak menyangka kalau StarTrip terjebak paradoks dengan kalian. Jadi, StarTrip yang berangkat nanti adalah penjajah planet kalian saat ini? Hebat." lanjut Liona. Changbin mengangguk.

"Kenapa kalian tidak menghalangi StarTrip di sini. Daripada kalian pulang untuk menghancurkan mereka di sana?"

"Aku sudah pernah mencobanya. Saat bersama Aza," jawab Han. "Tetapi malah semakin parah, mereka tahu bahwa ada portal dimensi yang terbuka disekitaran tata surya."

"Ini tidak semudah itu nona Liona, kita bermain-main dalam garis ruang dan waktu. Apapun yang kita lakukan saat ini tidak akan mengubah masa depan, walaupun kita berasal dari masa depan. Para time Traveller juga tahu akan hal itu," jelas Seungmin.

"Untuk lebih jelasnya kita tunggu Chan saja," ucap Minho.

Liona tertawa, para pangeran bingung dengan reaksi wanita itu. "Yah kalian cukup mengagumkan, sejujurnya aku sudah paham aku hanya mengetes kalian saja, aku rasa kita bisa bekerja sama." jawab Liona.

"Kau datang lebih cepat dari perkiraanku Changbin," ucap Chan, ia masuk bersama Aza di belakangnya. Aza merasa sedikit canggung saat melihat mereka semua sudah berkempul.

"Hai, bagaimana kencan kalian?" sapa Han menggoda. Hyunjin membelalakan matanya terkejut.

"Apa!? Kalian kencan?" pekik pemuda itu. "Waah itu tidak adil, kau bermain di belakangku Chan. Aza nanti kau juga harus kencan denganku."

"Kencan itu apa?" tanya Aza polos. Felix, Seungmin dan Changbin tertawa mendengarnya. Liona mengangkat alis melihat gadis itu.

"Dia calon ratu planet kami," jawab Minho pada Liona. Liona menoleh pada Minho. "Aaa... Seperti itu, aku rasa dia terlalu polos," ucapnya. membuka mulutnya mengangguk paham.

"Ahh tidak-tidak, kami hanya membeli es krim." Aza menjawab panik.

Seungmin menatap Chan datar. "Kau sangat amatir Chan," komentar pemuda itu. Chan tersenyum mendengar kalimat sarkas saudaranya itu.

"Aku setuju," sahut Han.

"Aza, aku akan mengajakmu jalan-jalan juga nanti. Kita makan di restoran dekat pantai dan melihat matahari tenggelam bersama," ucap Hyunjin. Chan menatap datar Hyunjin.

"Ah iya, terima kasih," jawab Aza bingung.

"Hei hentikan kita sedang ada tamu, kalian ini," intrupsi Jeongin yang lelah dengan kerusuhan kakak-kakaknya.

"Aku tidak akan banyak komentar soal ini," bisik Liona pada Changbin sambil terkekeh. Oliver yang baru bergabung sedikit tersentak melihat itu.

"Hai Liona," sapa gadis itu.

"Oh my god, Oli!!" Liona menghampiri gadis itu riang dan memeluknya. "How are you, dear?"

"Fine," jawab gadis itu tersenyum.

"Jadi Chan," Changbin membuka obrolan. "Ini Liona, dan Liona, ini Chan."

"Liona."

"Bang Chan."

"Changbin sudah menceritakan semuanya dengan jelas. Langsung pada intinya, bagaimana kau bisa membantuku menyempurnakan pesawatku untuk pergi keluar dari tata surya?" tanya Liona.

"Kami punya kelebihan, yang tak bisa kau ukur dengan ilmu sains." jawan Chan. Chan menunjukan Khy-nya dan mengalirkan ke tangannya.

"Teknis nya seperti ini. Sebagian dari kami, akan pergi dengan portal dimensi yang dibuka Anima milik Minho, Dori. Disana mereka menyiapkan pasukan untuk melancarkan penyerangan. Sisanya akan ikut dengan mu melewati portal dimensi di antariksa itu. Han akan membantu menyempurnakan pesawatmu dan Anima milik Jeongin–Pheonix– akan membantu kita meningkatkan kecepatannya di luar angkasa. Pesawat itu tidak akan terbakar karena aku akan mengalirkan Khy untuk meredam aura panas dari Pheonix. Cukup menguntungkan bukan?"

"Kau ingin menghentikan mereka dan membuka kedoknya pada dunia, kan?" tanya Chan.

"Aku terkesan." Liona bertepuk tangan. "Ada banyak yang harus dibicarakan dengan staf-ku, bukan?"

"Besok datanglah bersama orang-orangmu untuk melihat pesawatnya, dan satu lagi." Liona mengambil remot TV itu dan menyalakan TV nya.

"StarTrip berangkat sekarang, dan menyiarkannya ke seluruh dunia."

****

"Kau di sini?" Aza menghampiri pemuda itu di rooftop. Pemuda itu hanya diam sambil memandang bulan.

"Jangan bicara serius dengan ku jika ada orang lain," jawab pemuda itu datar.

"Aku sudah memastikan tidak ada siapa-siapa. Hanya ada kita berdua di sini." Aza menghela napas menghampiri pemuda itu.

"Kenapa kau melakukan itu?" tanya pemuda itu dingin.

"Aku tidak punya pilihan," jawab Aza.

"Dan dampak yang terjadi? Kau menghancurkan hidup kita berdua, aku tahu ini bukan keinginanmu dan aku juga tak menginginkannya." pemuda itu berdiri menghadap Aza.

"Maka anggap saja ini tidak pernah terjadi, aku membebaskanmu. Kita sudah pernah bicarakan ini kan, Aza. Aku tahu akan jadi siapa kau nantinya. Maka dari itu, aku tak akan membebanimu." sorot mata merah itu menatap tepat gadis itu. "Ck. Balas budi karena aku melindungi nyawamu?" Han mendecih.

"Lupakan kalau aku pernah mengikatmu menjadi mate-ku. Dengan begitu tak ada apapun yang terjadi, jangan sampai pangeran yang lain tahu soal ini."

Han berjalan meninggalkan Aza yang sudah kehilangan kata-kata.

Aza bangkit. "Saat aku mengaktifkan kekuatanmu..."

"Yang ku pikirkan adalah keselamatanmu." Han tertegun.

"Alasan aku mau mengaktifkan kekuatanmu adalah kerena Chan dan Changbin sangat terpukul saat itu." matanya sudah basah dengan air mata.

"Aku tak tahu jika seorang pangeran dari tanah para arwah yang sekarat hanya bisa di sembuhkan oleh seseorang yang menjadi mate-nya. Aku tidak tahu itu!" bentak Aza.

"Cukup! Hentikan pembicaraan ini!" sentak Han.

"Selama kau merahasiakannya semua akan baik-baik saja. Dan selama kita tak terluka kita akan baik-baik saja. Kau memiliki 30% kekuatanku. Jadi kumohon, saat di Anscoup, pastikan dirimu baik-baik saja sebelum aku dan Chan datang." Han berujar lirih, ia menghela napasnya, menghampiri Aza yang terisak. Mengusap rambut gadis itu lembut.

"Maafkan aku." ucapnya kemudian pergi meninggalkan gadis itu. Maafkan aku juga, Olie...

"Begitu ya..."

Tanpa mereka berdua sadari, seseorang tak sengaja mendengar percakapan itu.

****

Keesokan harinya....

"Wow ini markas Antrax? Mengesankan."

Han, Changbin, Chan, Hyunjin dan Jeongin saat ini mengunjungi markas rahasia Antrax. Bangunan itu terletak di bawah tanah gedung Graffith Observatory. Liona telah mengabari mereka untuk datang dan menemuinya di ruangannya.

"Kalian sampai lebih lama dari perkiraanku," ucap Liona.

"Jika Han dan Hyunjin tidak berdebat soal kendaraan mungkin kami akan lebih cepat," jawab Jeongin datar menatap kedua kakaknya.

"Ahahahaha... Aku kira kalian selalu akur."

"Mereka berdua tidak akan bisa akur apalagi jika Changbin, Seungmin dan Minho ikut berdebat. Ahh tidak, mereka semua tukang rusuh kecuali aku." Chan menjawab dan langsung mendapat delikan dari yang lain.

Liona tersenyum hangat. "Mari, biar aku tunjukan bagaimana Antrax beroperasi."

****

To be Continue...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!