Delapan minggu kemudian, dua hari sebelum jadwal keberangkatan.
Di dalam kamar, Ethan duduk bersila sambil fokus pada proses meditasi. Bocah itu memejamkan matanya, dan terus fokus menyerap energi sihir di sekitarnya. Setelah beberapa waktu, barulah itu membuka mata lalu mengembuskan napas panjang.
‘AIDA, periksa statistik dan perkembangan kemampuan.’
[ DING! ]
[ Ethan Waldstein. STR: 1,5 AGI: 1,5 VIT: 1,5 MP: 4,4 Kondisi: Sehat. ]
[ Silver Raven Swordsmanship: proficient. Fire ball: proficient. Shadow hand: competent. Umbra hand: competent. ]
[ Peningkatan sihir api – fire ball: 544 jam ]
Melihat data yang cukup ‘mewah’ di depannya, Ethan mengangguk puas. Setelah bekerja begitu keras selama hampir dua bulan, hasilnya sama sekali tidak mengecewakan. Tentu saja, ada juga harga yang harus dia bayar.
Kurang istirahat, pikiran penuh tekanan, dan tidak memiliki teman.
Sementara yang lain mengambil libur dan jalan-jalan di kota atau sekadar berkumpul bersama, Ethan masih sibuk mengejar targetnya. Bahkan perilaku ‘kejam’ pada dirinya sendiri tersebut membuat Lady Catherine sedikit khawatir.
Baru setelah mengetahui alasan kenapa Ethan latihan dengan intensitas yang bisa dibilang gila, wanita itu mengangguk puas. Bahkan berjanji memberinya hadiah lebih setelah kembali dari misi.
Dalam waktu ini, selain meningkatkan kekuatan, ada beberapa hal menarik terjadi.
Seperti dugaan sebelumnya, tampaknya batas fisik manusia biasa terhenti di nilai 1,5 dan tidak bisa maju lagi. Perlu waktu 5 minggu agar Ethan mencapai batasnya. Tentu saja, dengan bantuan ramuan khusus, latihan fisik dan latihan pedang yang ditingkatkan.
Meski sudah tidak berlatih bersama, hubungannya dengan Ray semakin baik. Walau tidak bisa disebut sahabat, setidaknya sekarang sudah meningkat dari kenalan menjadi teman. Hubungannya dengan Liz juga semakin membaik.
Yang Ethan tidak duga, sekarang dia sesekali bertemu dan berbicara dengan Valen. Walau tidak akrab, hubungan mereka juga cukup baik.
Selain itu, ada juga hal penting. Kecuali untuk untuk penggunaan di perpustakaan, Ethan mengumpulkan sisa poinnya. Lima minggu pertama ketika masih membeli salep, dia hanya menyisakan 375 poin. Tiga minggu terakhir, dia juga menyisakan 375 poin. Itu berarti, sekarang dia memiliki 700 yang bisa digunakan.
Melihat poin tersebut, Ethan hampir ngiler. Dia ingin membeli potion lain agar bisa menembus apprentice-menengah, tetapi segera mengurungkan niatnya.
Misi kali ini sama sekali bukan latihan atau tugas harian biasa. Sekarang dia sama sekali tidak memiliki perlengkapan, jadi tahu apa yang perlu diprioritaskan. Pelindung tubuh, pedang, dan potion adalah suatu kewajiban.
Ethan tidak berencana untuk menghemat uang karena merasa dunia luar itu sangat berbahaya. Dalam pikirannya, selama dia berhasil kembali dengan selamat, poin yang didapatkannya pasti lumayan. Jelas mampu menebus kerugian, belum lagi apa yang dijanjikan oleh Lady Catherine.
Duduk di lantai, Ethan memikirkan apa yang harus dia beli.
“Pedang adalah yang paling penting, kualitasnya juga harus sangat baik. Ramuan penyembuhan (rendah), dan ramuan penawar racun (rendah) juga harus dibeli. Selain itu, leather armor, sepatu boot kulit, dan sarung tangan juga perlu dibeli,” gumamnya.
Sebuah pedang yang baik berharga sekitar 200 poin, setiap potion level rendah berharga 100 poin. Itu saja sudah berjumlah sekitar 400 poin. Memang ada senjata murah seharga puluhan poin, tetapi kualitasnya tidak meyakinkan. Dia tidak ingin menggantungkan nasibnya pada senjata asal-asalan, jadi tidak akan membeli yang murah.
Menghemat uang tetapi membuang nyawa? Ethan merasa keputusan bodoh semacam itu harus dihindari.
“Ok. Ternyata aku masih begitu miskin,” ucap bocah itu dengan ekspresi tanpa daya.
Tok! Tok! Tok!
Pada saat itu, pintu kamar Ethan tiba-tiba diketuk. Bocah itu bangkit dengan ekspresi agak bingung, lalu berjalan untuk membuka pintu.
Pada saat pintu terbuka, dia melihat Liz yang berdiri di depan pintu sambil memelototinya.
“Kenapa kamu ada di sini, Senior?” tanya Ethan dengan ekspresi bingung.
“Beraninya kamu menanyakan pertanyaan itu. Master memintaku untuk menjemputmu. Beliau telah menghubungimu, tetapi tidak ada tanggapan. Junior bau, kamu benar-benar berani mengabaikan panggilan Master,” jawab Liz dengan senyum muram.
Melihat senyum sinis di wajah Liz, ekspresi Ethan langsung tenggelam. Dia jelas sibuk bermeditasi sehingga tidak tahu apa yang sedang terjadi. Jika sampai membuat sang Master marah, bocah itu tiba-tiba bergidik ketika memikirkan konsekuensinya.
“Tolong tunggu sebentar.” Setelah mengatakan itu, Ethan langsung mengambil sepatu dan jubah lalu memakainya. “Ayo berangkat.”
Liz tertegun sejenak. Melihat bocah dengan rambut acak-acakan yang berjalan terburu-buru, gadis itu merasa ingin mengutuk keras. Namun dia tetap mengikuti bocah itu dan pergi ke ruang kelas.
Ketika berjalan bersama, Liz sesekali melirik ke arah Ethan. Walau bocah itu lebih muda dibandingkan dirinya, tampaknya sekarang telah tumbuh sedikit lebih tinggi. Selain itu, dibandingkan sosok kurus yang bisa terbang tertiup angin sebelumnya, tubuh Ethan dipenuhi dengan otot-otot ramping. Tampak kuat, tetapi tidak terlihat berlebihan.
Melihat sepasang mata tenang dan tampak tak acuh yang hampir tertutup poni acak-acakan, Liz tiba-tiba berpikir.
‘Kenapa aku baru sadar kalau Junior sembrono ini ternyata cukup tampan? Mungkinkah ada yang salah denganku?’
Liz menggelengkan kepalanya dengan sedikit rona merah di pipinya, tetapi mulutnya masih mengeluh.
“Lain kali rawatlah rambutmu dengan baik, dan jaga penampilanmu. Mondar-mandir dengan penampilan seperti ini, pantas saja orang-orang menganggapmu tidak waras!”
Mendengar ucapan Liz, Ethan tampak bingung. Jelas dia mencoba tidak membuat masalah, tetapi masih terkena semprotan (omelan). Bocah itu sampai bingung harus merespon bagaimana, dan akhirnya hanya mengangguk ringan sebagai tanggapannya.
Setelah beberapa saat, mereka pun sampai ke kelas. Sesampainya di sana, mereka berdua langsung disambut oleh senyum ramah Lady Catherine.
“Tampaknya kamu benar-benar sibuk sampai mengabaikan panggilanku, Ethan?”
Melihat senyum di wajah Lady Catherine, punggung Ethan terasa dingin. Dia menggertakkan gigi, mencoba tetap menatap ke arah wanita itu lalu berkata, “Maaf, Master!”
“Tidak masalah. Namun aku harap kamu tidak mengulanginya lagi. Mengerti?” ucap Lady Catherine.
“Ya, Master!” jawab Ethan.
“Alasan kenapa ini bukan masalah besar karena jika kamu tidak datang, itu sama sekali tidak mengganggu. Sekarang aku hanya memenuhi tanggung jawab sebagai Master, karena kalian akan bertugas di luar, aku akan memberi kalian masing-masing dua potion penyembuh dan satu potion penawar racun,” kata Lady Catherine tak acuh.
Mendengar itu, Ethan hampir tersedak air liurnya. Dia sama sekali tidak menyangka kalau ada bonus seperti ini. Tampaknya bukan sesuatu yang spesial karena sebagian murid langsung yang akan berangkat juga diberi bekal oleh master mereka.
(Ethan saja yang tidak tahu karena dia sibuk mengumpulkan informasi untuk memperkuat diri, hampir melupakan hal-hal umum.)
“Berhenti memasang ekspresi menyebalkan seperti itu! Memangnya kamu pikir Master itu siapa? Hal-hal seperti ramuan ini hanya gerimis (uang receh) bagi Master!” sela Liz yang melihat penampilan Ethan yang terpesona dengan kekayaan gurunya.
Ethan buru-buru merubah ekspresinya. Dia mencoba bersikap serius, dan berusaha tidak tampil ceroboh. Namun hampir tidak berhasil ketika membayangkan seberapa banyak kekayaan yang dimiliki masternya.
Dalam satu jam kemudian, Lady Catherine memberi beberapa penjelasan kepada Ethan dan Liz. Sebelum meminta mereka pergi, wanita itu pun berkata.
“Kalian harus ingan. Di alam liar, jangan memercayai siapapun, bahkan jika itu adalah teman kalian sendiri!”
“Dimengerti, Master!” jawab keduanya serempak.
Ethan dan Liz kemudian meninggalkan ruang kelas. Ketika mereka berteleportasi ke lantai pertama, gadis itu hendak berbicara pada juniornya, tetapi merasa agak ragu. Pada saat itu, seorang remaja muncul di depan mereka.
Orang itu adalah Valen.
“Bisa bicara sebentar, Ethan?” tanya remaja berambut merah itu.
Pada saat itu, Ethan merasakan tatapan yang diarahkan kepadanya. Ketika melirik ke sumbernya, dia melihat Liz menatapnya seolah mengatakan ‘berhati-hatilah’. Bocah itu mengangguk ringan, lalu menatap Valen sambil tersenyum.
“Tentu saja, Senior Valen.”
>> Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Nekoo~
*ingat
2024-02-16
0
Luthfi Afifzaidan
lanjutkan
2023-12-18
1
viola deam
Proficient
2023-12-17
0