Pupil Ethan menyusut, tubuhnya sedikit gemetar tetapi segera kembali tenang.
Liz memperhatikan perubahan ekspresi Ethan. Meski hanya sebentar, tetapi masih terlihat cukup jelas baginya.
“Tingkat toleransimu cukup tinggi. Itu bagus karena kamu harus lebih terbiasa dengan hal semacam itu,” ucap Liz ramah.
“Membiasakan diri?” Ethan mengerutkan kening.
“Ya. Kamu harus bisa berpikir lebih positif agar tidak memengaruhi kesehatan mentalmu. Jika dipikirkan baik-baik, apa yang kita lakukan lebih mulia daripada para bangsawan hina yang suka memperbudak rakyat, menyiksa, dan memainkan mereka.”
Liz tersenyum cerah. Dengan ekspresi penuh percaya diri, dia kembali melanjutkan.
“Mungkin kita melakukan hal yang cukup keji. Namun hal semacam itu bisa dimaklumi karena dengan bantuan mereka, kita bisa mendapatkan data yang dibutuhkan. Mengorbankan nyawa untuk ilmu pengetahuan pasti membuat mereka bangga. Ya! Ini demi kebaikan bersama!”
‘Kamu, tidak, kalian semua benar-benar sakit!’
Ethan langsung mengeluh dalam hati. Awalnya dia pikir kalau gadis yang muncul di depan kamarnya adalah bunga putih yang tidak tercemar hal kotor. Namun sekali lagi dia salah. Gadis kecil itu, Liz juga memiliki masalah dengan otaknya.
‘Tampaknya semua orang di sini memiliki gangguan jiwa.’
Ethan memijat pelipisnya, merasa agak bingung. Jelas dia berada di sekitar orang-orang berpikiran kurang waras, tetapi entah kenapa bocah itu merasa cukup nyaman. Namun dia buru-buru menyingkirkan pikiran itu karena masih cukup yakin kalau dirinya tidak segila itu.
“Omong-omong, apa yang dimaksud dengan White-Arcanist?” tanya Ethan penasaran.
“Ah! Itu ada hubungannya dengan tingkatan Arcanist itu sendiri. Bisa dibilang, seperti penyihir di mulut orang-orang biasa, ada level tersendiri. Tentu saja kita tidak suka disebut penyihir karena kita mengejar ilmu dan-“
“Uhuk! Bisakah kamu menjelaskan tentang level, Senior?” sela Ethan dengan ekspresi tidak nyaman.
Kata-kata dari mulut Liz yang mencoba mencuci otak dengan berbagai pemikiran ekstrem seperti demi ilmu pengetahuan, kebaikan yang lebih besar, dan semacamnya benar-benar membuat Ethan merasa tidak tahan.
Liz sendiri tidak marah. Dia malah tampak senang. Daripada fokus pada sikap menyela Ethan, gadis itu justru fokus pada bocah yang memanggilnya ‘Senior’. Dia tampak cukup bangga, lalu menjelaskan dengan semangat.
“Menurut pengetahuan yang kupelajari, Arcanist memiliki level berbeda. Pertama ada Black-Arcanist, kemudian White-Arcanist, dan yang paling kuat adalah Red-Arcanist. Setiap level terdiri dari 1 star sampai 9 star. Dari 1-3 star disebut tingkat bawah, 4-6 tingkat menengah, dan 7-9 tingkat tinggi.”
“Sebelum menjadi Arcanist sejati, ada tahap apprentice. Apprentice itu sendiri dibagi menjadi 3 tahap yaitu rendah, menengah, dan tinggi.”
“Jadi, daripada memikirkan terlalu banyak hal. Lebih baik kamu fokus pada tahap awal karena sebagian besar apprentice (murid) bahkan gagal menjadi Arcanist sejati.”
(Level diatur seperti ini. Author terinspirasi dari magnum opus alkimia yaitu nigredo/menghitam, albedo/memutih, dan rubedo/memerah yang dianggap sempurna. Sebenarnya ada citrinitas/menguning di antara albedo dan rubedo, tetapi tidak dipakai karena setting pengolahan energi author bagi menjadi 3 tahap. Itu akan dijelaskan seiring berjalannya waktu.)
Ethan mengangguk dengan ekspresi serius di wajahnya. Dari sikap Liz, dia tahu kalau menjadi Arcanist tidak semudah kelihatannya.
“Ah! Aku telah membuang terlalu banyak waktu di sini. Aku harus segera pergi,” ucap Liz agak cemas.
Ethan segera mengantar Liz sampai pintu. Tak lupa, dia berkata pada gadis itu sebelum pergi.
“Terima kasih atas bimbingannya, Senior.”
Liz terkejut. Dia menoleh ke arah Ethan lalu tersenyum sambil melambaikan tangan. Barulah kemudian pergi menghilang di persimpangan lorong.
...***...
Pagi di hari berikutnya.
“Siapa yang memikirkan ide buruk semacam ini?”
Rambut hitam legam seperti bulu gagak bergoyang lembut. Tubuh kecil berbalut jubah penyihir hitam berjalan menaiki anak tangga sambil mengeluh pelan. Dia adalah Ethan.
Dibandingkan sehari sebelumnya, penampilan Ethan jauh berubah. Bisa dibilang, pakaian benar-benar memengaruhi penampilan.
Alasan kenapa Ethan mengeluh mungkin bisa dibenarkan. Ruang kelas berada di lantai 5. Untuk sampai di sana, dia harus berteleportasi ke lantai 1 lalu menaiki tangga menuju ke lantai 5. Benar-benar perjalanan yang melelahkan.
Dalam perjalanan, dia juga melihat banyak apprentice lain. Namun anehnya mereka sama sekali tidak pergi menuju kelas. Sebaliknya, mereka sibuk melakukan urusan mereka sendiri.
Setelah naik ke lantai 5, Ethan menghela napas lega. Setelah sampai di sini, apa yang perlu dia lakukan adalah mencari kelas sesuai dengan petunjuk. Hanya saja, ada suatu kejadian yang tidak dia perkirakan.
“Apakah kamu Ethan?”
Mendengar itu, Ethan menoleh ke sumber suara lalu melihat Veronica yang juga memakai seragam penyihir.
“Kalau tidak salah Veronica, kan?” Ethan bertanya balik.
“Ya.” Veronica mengangguk. “Jika boleh tahu, kenapa kamu tampak begitu kelelahan?”
Ethan menatap ke arah Veronica tanpa menjawab. Dibandingkan dengan sebelumnya, gadis itu tampak lebih percaya diri. Bahkan, tampak lebih bangga dibandingkan sebelumnya. Namun, ada hal yanga agak mengganggunya.
“Sungguh hebat kamu tidak kelelahan setelah menaiki tangga dari lantai pertama sampai ke sini,” ucap Ethan sedikit heran.
“Naik tangga?” Veronica tampak bingung. “Bukankah kamu murid langsung? Kenapa tidak menggunakan susunan teleportasi di sana.”
Ethan tertegun di tempatnya. Dia kemudian menoleh ke arah Veronica menunjuk. Benar saja, di sana tampak susunan teleportasi. Saat itu juga, bocah tersebut langsung mengingat senyum misterius di wajah Lady Catherine, lalu mengingat senyum polos di wajah Liz.
‘Satu suka menggoda, satu tidak bisa diandalkan. Ini benar-benar agak buruk,’ pikir Ethan sembari tersenyum masam.
“Bagaimana kalau pergi bersama? Jangan sampai terlambat. Lagipula, kelas gratis pertama ini sangat penting,” ucap Veronica.
‘Kelas gratis? Mungkinkah ada juga kelas berbayar?’
Ethan cukup bingung. Namun dia hanya diam, tidak bertanya. Bocah itu berjalan bersama Veronica. Setelah beberapa saat, sampai di depan ruang kelas sebelum waktunya.
Ethan melihat ke pintu kelas yang lebar dan tinggi. Bocah itu menghela napas panjang, lalu segera kembali fokus. Di satu sisi, dia merasa gugup. Di sisi lain, dia merasa bersemangat karena akan mempelajari hal-hal yang menumbangkan logika sebelumnya.
Mendorong pintu hingga terbuka, Ethan pun menginjakkan langkah pertama ke dunia sihir yang penuh dengan misteri!
>> Bersambung.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 197 Episodes
Comments
Yorfinn
p
2024-04-30
0
Spencer
McClaren lu warna apa bos
2024-04-24
0
Safrin Mas'ud odhe
hahahaha
Master yang menarik.
2024-01-05
1