Bab 19

Setelah hujan reda, kami melanjutkan perjalanan. Sampai di titik ini aku masih tidak tahu kemana mas Dika akan membawaku.

"Dingin?" tanyanya di saat kami menerobos angin dingin efek setelah hujan.

"Sedikit." jawabku.

Kembali diraihnya tanganku yang melingkar di pinggangnya. Dimasukkannya tangan kananku ke saku jaketnya, begitu juga dengan tangan kiriku.

"Sudah lebih hangat?" tanyanya coba memastikan. Aku hanya mengangguk, memberinya jawaban yang ingin dia dengarkan.

Beberapa kali tetesan air masih jatuh membasahi jaket kami berdua. Langit tampak masih gelap hingga membuat kami sulit membedakan apakah ini pukul 2 siang atau 5 sore.

Mataku dimanjakan dengan tiap sudut kota Malang yang kami lewati. Setiap kota memang memiliki keunikan sendiri, tetapi Malang memang terasa istimewa karena di kota ini kami menghabiskan masa-masa SMA hingga perguruan tinggi kami.

Suasana segar bercampur dengan kumpulan rindu dan cerita manis yang tersimpan rapi di setiap sudut kota pasti akan menghipnotis siapapun yang merajut kisah di kota ini.

"Kita mau kemana sih mas?" tanyaku penasaran.

"Ke tempat orang pacaran"

"Dimana?"

"Nah itu. Aku juga gak tau" jawabnya dengan ekspresi tidak berdosa. Aku hanya menggelengkan kepala, lelaki di hadapanku ini terkadang memang tidak bisa aku mengerti.

"Mau ke toko buku?" tanyanya tiba-tiba. Aku hanya tersenyum, tetapi aku yakin dia melihat senyumku dari pantulan kaca spion karena tidak lama kemudian dia mengubah haluan motornya menuju ke salah satu toko buku langganan kami saat masih SMA.

"Hari ini temanya nostalgia ya mas?"

Dika menggeleng, "hari ini temanya membahagiakan kamu" jawabnya dengan sedikit menaikkan volume suaranya.

Aku terkekeh pelan mendengar jawabannya. Entahlah, mas Dika hari ini benar-benar berhasil membuatku tidak bisa membantah satupun kalimatnya.

Tidak berselang lama, kami sampai di sebuah toko buku. Toko buku dengan nuansa cafe dimana kami bisa duduk, memesan minuman dan membaca buku.

"Aku ke tempat piringan hitam ya?" pamitnya. Aku mengangguk karena tempat piringan hitam juga masih satu lokasi dengan toko buku ini.

"Gista?"

Aku menoleh ke arah suara yang menyebut namaku. Aku terdiam sesaat sebelum akhirnya menarik dua ujung bibirku dengan tipis.

"Mba Anya" jawabku dengan senyuman tipis.

Wanita itu mengulurkan tangannya ke arahku, "apa kabar?" tanyanya.

"Baik mba" jawabku. Aku meraih tangan itu dan menjabatnya sepersekian detik.

"Sama siapa?"

"Sama calon suami mba" jawabku memberanikan diri. Untuk pertama kalinya, aku menyebut Dika sebagai calon suami di hadapan orang lain.

"Mba Anya sama siapa? Sama mas Wira?" tanyaku. Wanita itu menggeleng. Aku yakin siapapun yang melihat senyum manis di wajahnya pasti akan terpesona karena memang dia secantik itu.

"Ada yang ingin aku bicarakan. Boleh berbicara sebentar?"

Kali ini aku ragu untuk menerima ajakannya, tetapi karena rasa penasaran akhirnya aku mengiyakan ajakannya.

Kami duduk di salah satu kursi yang ada di ujung lorong rak-rak buku untuk sedikit menghindari keramaian.

"Mau bicara apa mba?" tanyaku tanpa basa basi.

"Maaf ya untuk kejadian 3 tahun yang lalu" ucapnya memulai obrolan kami.

Aku hanya tersenyum. Ya, bagiku semua sudah terjadi, kalau aku tidak memaafkan mereka sekalipun yang rugi tetap saja aku sendiri.

"Karena ini sudah lebih dari 3 tahun, aku akan mengatakannya. Aku dan mas Wira hanya berpura-pura berselingkuh."

Tunggu, untuk pernyataan ini aku benar-benar merasa terkejut. Otakku membeku, begitu juga dengan syaraf-syaraf di tubuhku.

"Maksudnya mba?" tanyaku coba meminta penjelasan.

"Kami teman baik. Dia memintaku untuk berpura-pura menjadi selingkuhannya supaya kamu bisa menceraikannya Gis. Mas Wira tidak mau kamu terus-terusan di usik oleh orang tua mas Wira terutama untuk masalah momongan. Dia cuma pengen kamu bahagia Gis, dia beneran sayang sama kamu"

Lagi aku hanya bisa terdiam. Aku sandarkan punggungku di sandaran kursi. Pikiranku berkecamuk sendirian mencerna semua yang dikatakan Anya, wanita yang pernah aku tuduh menjadi selingkuhan mas Wira.

"Lalu maksud mba memberitahuku ini sekarang apa?"

"Aku cuma gak mau kamu terus-terusan salah paham ke mas Wira, Gis"

Author POV

Gista menghela nafasnya, di edarkannya pandangan ke semua sudut ruangan sembari mencoba mencari kalimat yang pantas untuk dia katakan kepada Anya.

"Mba.." panggilnya pelan.

"Terimakasih karena sudah mau memberitahu kebenarannya, tetapi aku benar-benar sudah selesai dengan mas Wira..." Gista menjeda kalimatnya.

Gista kembali menarik nafas dalam lalu menghelanya, "Saat ini, aku sudah punya seseorang yang ada di sisiku mba, jadi aku harap mba ngerti" jelasnya dengan senyum lembut.

"Tapi dia masih sayang sama kamu Gis, dia bahkan belum menikah lagi, dia..."

"Sayang."

Gista segera mengalihkan pandangannya ke arah suara, sedangkan Anya yang belum selesai menjelaskan semuanya seketika langsung terdiam.

Gista berdiri dari duduknya seolah menyambut Dika yang mendekat ke arahnya.

"Teman kamu Yang?" tanyanya.

"Mba Anya kenalkan, ini mas Dika.." jelasnya,

"Mas, ini mba Anya"

Dika mengulurkan tangannya yang langsung dijabat oleh Anya,

"Saya Anya, temannya Gista." jelasnya.

"Saya Dika, calon suaminya Gista"

Tampak jelas raut wajah yang sedikit kecewa dari Anya saat mendengar Dika mengatakan "calon suami". Ada sisi dalam hatinya yang masih berharap bahwa Wira dan Gista bisa kembali bersama, tetapi sepertinya dia benar-benar harus memendam itu semua.

"Kenal dimana?" tanya Anya coba mengakrabkan diri.

"Kami teman satu SMA dan kebetulan sekarang satu tempat kerja" jelas Dika.

Entah sudah sejak kapan tangannya menggenggam tangan Gista, tetapi yang jelas lelaki itu tampak nyaman saat menggenggam tangan kekasihnya.

"Tenaga kesehatan juga?"

"Kebetulan iya. Saya dokter, dokter spesialis anak" jelasnya sembari memberikan kartu nama miliknya kepada Anya.

"Saya teman mantan suaminya Gista"

"Ow, temannya Wira?"

Anya tampak sedikit terkejut saat Dika menyebut dengan gamblang nama Wira. Ada sisi dalam dirinya yang sepertinya tidak menduga bahwa Gista juga menceritakan tentang Wira kepada calon suaminya.

"Kalau begitu kami permisi dulu ya mba, kebetulan yang kami cari sudah dapat"

Anya hanya tersenyum saat Gista memilih mengakhiri obrolan mereka sore itu.

Setelah berpamitan, Gista dan Dika terlihat meninggalkan toko buku tersebut. Mereka berdua kembali beradu dengan angin dingin yang menyelimuti kota sore itu.

"Kita mau kemana sekarang?" tanya Dika yang tetap memacu motornya.

"Pulang aja ya mas" jawab Gista. Dika terdiam sebentar sebelum akhirnya mengiyakan permintaan kekasihnya.

"Beli bebek di pak Adi dulu ya?"

"Tapi makan di rumah saja ya? Tadi aku masak nasi"

Dika hanya mengangguk, lelaki itu mengiyakan semua yang diucapkan oleh Gista.

Sepanjang perjalanan, Gista yang semula sangat ceria seketika berubah menjadi pendiam. Dia hanya akan bersuara saat Dika bertanya atau mengajaknya berbicara.

Dika menyerahkan segelas teh hangat kepada Gista sembari menunggu pesanan bebek bumbu hitam,

"Yang kamu kenapa? Gak enak badan?" tanyanya.

Gista menggeleng, "Nggak papa mas, cuma agak capek aja. Mungkin karena udah jarang main yang sampai seharian kaya ini tadi" jelasnya.

Dika hanya menatap ragu sebelum akhirnya membiarkan Gista kembali berkutat dengan pikirannya. Dia tahu benar ada yang tidak beres dengan kekasihnya sejak bertemu dengan Anya tadi, tetapi lelaki itu memilih diam karena dia masih harus memastikan lagi semuanya.

Terpopuler

Comments

Lia

Lia

makkk jreeengggg......

2024-02-11

0

Alina

Alina

nggak perlu galau gis, udah punya mas dika, idola semua pembaca disini 🤭🤭

2024-01-22

4

Trin Zhafran

Trin Zhafran

ceritain ke dika gis, jgn dipendam sendiri!

2024-01-20

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!