Bab 18

Ponselku berdering saat waktu menunjuk di angka 07:50. Tertera jelas nama Mas Dika dengan tanda hati di ponselku.

"Halo..." jawabku lembut.

"Sudah siap? Aku kesana ya" ucapnya melalui sambungan telefon.

"Pakai celana panjang ya"

"Kenapa?" tanyaku penasaran.

"Sudah menurut saja. Aku kesana"

Tanpa menunggu persetujuanku, mas Dika sudah mematikan sambungan telfonnya. Tanpa berfikir panjang, aku kembali masuk ke ruang ganti, aku berganti pakaian dengan t-shirt abu-abu dan celana jeans.

Tidak berselang lama, pintu bel rumah berbunyi. Dengan cepat aku raih tas selempang ku lalu berlari kecil menuruni tangga menuju pintu utama.

Aku terhenyak, tubuhku membeku sesaat ketika melihat Dika sudah dengan balutan jaket kulit, sarung tangan kulit dan juga motor yang dulu selalu dia gunakan saat SMA.

Menurut cerita, motor itu adalah motor perang papanya. Ya, untuk perang katanya. Perang mendapatkan hati mamahnya yang saat itu menjadi primadona di fakultas kedokteran.

Lelaki itu melambaikan tangan, memintaku untuk segera mendekat ke arahnya. Segera ku kunci pintu rumahku dan berjalan cepat ke arah pagar.

"Kok bawa motor?" tanyaku. Aku bukan tanpa alasan bertanya seperti itu. Semenjak kecelakaan yang terjadi saat Dika sedang menempuh internship, lelaki itu sudah tidak pernah mau menjamah kendaraan roda dua tersebut.

Dia hampir tidak selamat waktu itu, dia bahkan koma hampir 1 bulan lamanya di ruang ICU. Kalau kembali mengingat kejadian saat itu, aku masih merasa ketakutan sampai sekarang. Aku takut kalau lelaki di hadapanku ini tidak akan pernah bangun lagi saat itu.

"Pakai helm gak?" tanyanya. Lamunanku buyar, aku hanya tersenyum tipis.

"Kalau gak pakai helm nanti di tangkap polisi dong mas" ujarku singkat yang membuatnya tertawa kecil. Dika segera turun dari motor Honda CBX 1000 keluaran tahun 1978 warna merah putih yang katanya dulu melambangkan perjuangan.

Lelaki itu mendekat ke arahku lalu memakaikan helm warna hitam. Ya, ini adalah helm yang sama yang sering aku pakai dulu saat masih SMA.

"Jaketnya" ujarnya sambil memberikan sebuah jaket padaku. Jaket jeans warna biru dongker dengan bordiran namaku di bagian lipatan lengannya.

"Kok masih ada jaketnya?" tanyaku bingung. Terakhir kali bertemu Dika, aku memang meninggalkan helm dan jaketku sebelum akhirnya kamu melakukan pengabdian di tempat yang berbeda.

Setelah itu, kami bertemu lagi saat di acara sumpah profesiku, dan di hari itulah aku mengenalkan sosok mas Wira. Lelaki yang aku temui selama masa pengabdian ku.

"Memang aku simpan. Ya kan siapa tahu suatu saat pemiliknya mencarinya" jawabnya manis. Aku tidak tahu harus merespon seperti apa. Akhirnya aku memilih meraih jaket itu dan memakainya.

"Mau kemana kita?"

"Menikmati kota." jawabnya singkat. Tanpa sadar aku tersenyum tipis sebelum mengikutinya naik ke atas motor.

"Kita berangkat sekarang?" tanyanya. Aku hanya tersenyum, anggukan kecil dariku menjadi penanda untuk Dika memacu motor tua yang entah kenapa masih terasa sangat nyaman untuk dinaiki.

"Malang indah ya Mas" ucapku saat menikmati jalanan Malang seperti yang dulu sering kami lakukan saat masih SMA.

"Iya. Lebih indah lagi karena sama kamu."

Aku tertegun. Tidak, lebih tepatnya aku tidak tahu harus merespon seperti apa.

"Sayang, gak mau pegangan?" tanyanya sedikit berteriak.

Aku melihat posisi tanganku yang sedari tadi di atas pahaku sendiri. Dengan sedikit ragu aku memegang erat sisi kanan dan kiri jaket kulit yang dipakai Dika.

"Jangan gitu pegangannya..."

"Terus?" sahutku dengan sedikit berteriak.

Tangan kiri Dika meraih tangan kananku yang mencengkram erat jaket sisi kanannya. Tangannya menuntunku untuk berpegangan dengan benar menurut versinya. Selesai dengan tangan kanan, dia juga melakukan hal yang sama pada tangan kiriku.

"Begini baru benar" ucapnya bangga saat sudah berhasil membuat kedua tanganku melingkar sempurna di pinggangnya.

Di tengah perjalanan yang aku masih tidak tahu tujuannya ini, tiba-tiba mendung gelap seolah mulai mengejar kami. Tidak berselang lama, tetesan air hujan mulai mengiringi langkah kami dengan intensitas yang cukup lebat.

Kami berhenti di sebuah kedai kopi dengan nuansa klasik. Kalau anak muda sekarang menyebutnya aesthetic.

"Kamu minum apa yang?" tanyanya begitu kami berhasil berteduh di depan tempat kopi tersebut.

"Cappucino hangat saja. Malang dingin"

"Mau aku hangatkan?" godanya. Aku menatapnya tajam karena memang aku sangat tidak suka dengan bercandaan yang menjurus ke hal-hal yang menciptakan trauma di hidupku.

"Maksudku aku pesankan cappucino hangat dan mie rebus yang" ucapnya segera saat melihat ekspresi tidak suka ku.

Kami duduk di salah satu meja yang ada di ujung, dekat dengan kaca besar yang langsung mengarah ke jalan. Kalau kata mas Dika, duduk di tepi dinding kaca bukan karena agar terlihat keren, tapi lebih karena sekalian bisa mengawasi motor. Katanya, dia takut kalau motornya tidak ada yang menjaga.

"Maaf ya" ujarnya dengan wajah menyesal.

Aku mengernyitkan dahi, "kenapa minta maaf?" tanyaku bingung.

"Maaf karena aku gagal negosiasi dengan dewa hujan, padahal aku sudah bilang kalau hari ini aku mau jalan-jalan sama calon istriku"

Aku tersenyum, terutama saat melihat ekspresi menyesalnya yang membuatku gemas.

Aku menaikkan tanganku di atas meja, menjadikan kepalan tanganku sebagai sandaran kepala, "kok bisa gagal?" tanyaku dengan tatapan penasaran.

Dika menghela nafasnya, dengan ekspresi seriusnya, lelaki itu menatap ke arah jalanan di luar cafe yang basah karena guyuran hujan. Tatapannya menerawang jauh seolah-olah sedang memikirkan jawaban dari pertanyaan yang amat serius.

"Mungkin dia marah." jawabnya singkat.

Lagi aku mengernyitkan dahi. Ya, lagi-lagi aku dibuat tidak bisa menyelami kemana arah pemikiran seorang Senandika.

"marah kenapa?" tanyaku yang masih menggunakan kepalan tanganku sebagai sandaran kepala.

Dika menatapku serius, sedangkan aku? Aku justru menahan tawa karena melihat ekspresinya.

"Dia marah karena bidadarinya aku ambil satu untuk ku jadikan calon istri"

Aku tertawa, lebih tepatnya tertawa dengan wajah yang memerah karena rayuannya. Dika bukan orang yang suka merayu, tetapi sejak dulu dia memang biasa membuat orang lain tersipu dengan kata-katanya.

"Kenapa tertawa?" tanyanya sambil menyeruput segelas hot americano.

"Memang kenapa tidak boleh tertawa?"

Dika menatapku serius, tubuhnya dia condongkan ke arahku walaupun kami dibatasi sebuah meja bulat khas rumah zaman dulu.

"Jangan tertawa seperti itu" ujarnya dengan nada yang memelan. Aku menatapnya dengan ekspresi bingung karena tidak paham dengan maksud ucapannya.

"Aku tidak mau kalau dewa hujan kembali membawamu ke khayangan" ujarnya dengan ekspresi serius yang justru berhasil kembali membuatku tertawa.

Lelaki di depanku itu menunjukkan deretan giginya sekilas sebelum kembali menyeruput hot americano di depannya.

"Aku berasa kaya hp yang barusan di charge tiap kali lihat kamu senyum" ujarnya dengan tatapan yang tidak bisa aku artikan maksudnya.

"Kenapa?"

Dika mengangkat kedua bahunya, "tidak ada alasan tertentu, hanya bahagia saja melihat wanita yang aku cintai bisa bahagia. Lebih bahagia lagi kalau yang menjadi alasannya tertawa adalah aku" jelasnya.

"Terimakasih ya mas"

Dika segera menggeleng saat mendengar ucapanku.

"Aku yang harusnya berterimakasih."

"Kenapa?"

"Karena kamu bisa bertahan sampai sekarang, dan yang paling penting kamu mau kembali ke sisiku sekarang"

Sekali lagi, jantungku dibuat berdetak tidak beraturan hanya karena kalimat manis yang terlontar dari bibir yang menciumku beberapa bulan yang lalu itu.

Terpopuler

Comments

Queen Sha

Queen Sha

dokter Dika pinter gombal juga😂

2024-03-07

0

Eka Desni

Eka Desni

mU cek out mas dika dimana ya gemesh sama kapel satu inii

2024-01-21

0

Eka Desni

Eka Desni

mU cek out mas dika dimana ya gemesh sama kapel satu inii

2024-01-21

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!