Bab 16

Setelah makan malam itu, tidak ada yang terjadi selanjutnya. Hubungan mereka layaknya orang yang berkencan pada umumnya, tentu saja dengan tetap menyimpan rahasia itu dari orang-orang di rumah sakit.

Bahkan hari ini, hubungan mereka sudah berjalan hampir 6 bulan tanpa ada satupun pegawai rumah sakit yang mengetahuinya.

"Pagi mba Karen..." sapa Dika begitu lelaki itu memasuki ruangan perawat.

"Pagi dokter. Visite sekarang?" tanyanya ramah.

"Ada pasien baru mba?"

"Ada dokter. Kamar 7 atas nama Satria dengan suspect demam thypoid. Hari ini demam hari ke 5 jadi waktunya cek darah untuk memastikan benar thypoid atau bukan." jelasnya yang dijawab dengan anggukan kepala dengan ekspresi bersemangat.

"Dia keponakannya Gista" lanjut Karen.

Dika yang semula bersemangat seketika terdiam. Kepalanya segera mencerna maksud kalimat "keponakan" dari Gista.

"Gista hanya punya 1 kakak, dan dia laki-laki bajingan yang membuat trauma di hidup Gista. Jadi dia anak bajingan gila itu" gumam Dika dalam hati.

"Dokter?"

Dika seketika kembali ke alam sadarnya saat Karen memanggil dan menepuk pundaknya.

"Maaf mba" jawabnya.

"Kalau mau visite ke pasien baru, Gista disana kok dok"

Ucapan Karen mendadak menjadi seperti sirine bencana di kepala Dika. Lelaki itu segera keluar dari ruang perawat, kakinya melangkah dengan cepat ke kamar 7. Lelaki itu membuka pintu kamar berisi 1 orang itu tanpa mengetuknya dan benar saja hanya ada pasien, Gista dan seorang laki-laki yang paling Dika benci di muka bumi ini.

Gista hanya menunduk, tangannya memegang erat tangannya yang lain tanda wanita itu ketakutan.

"Selamat pagi pak, saya dokter Dika, spesialis anak yang menangani anak bapak" ucap Dika dengan senyum ramah sembari berdiri di depan Gista untuk memastikan agar kekasihnya tidak melihat laki-laki bajingan yang sekarang berhadapan dengan Dika.

"Saya ayahnya Satria dok" jawabnya sembari menjabat tangan Dika.

"Mba Gista maaf, tadi dipanggil sama mba Karen" ujarnya begitu berbalik ke arah Gista. Lelaki itu segera memberi kode dengan matanya agar kekasihnya itu bergegas keluar.

Dika segera memeriksa pasiennya yang sedang tertidur, tentu saja setelah kepergian Gista.

"Hari ini ada cek darah yang dinamakan thypidot rapid IgM tujuannya untuk memastikan apakah ini benar-benar tipes atau bukan." ucap Dika begitu dia selesai memeriksa.

"Kalau seumpama benar tipes penanganannya bagaimana dokter?"

"Yang jelas pasien harus bedrest total, sebisa mungkin diminimalkan aktifitasnya. Untuk makan juga akan kita ganti dengan yang lunak dulu dan untuk pengobatan nanti akan kita berikan antibiotik. Ada yang ingin ditanyakan lagi pak?"

"Saya rasa cukup"

"Kalau begitu saya permisi dulu pak." ucapnya ramah.

"Satu lagi pak, saran saya jangan terlalu sering ke ruang perawat"

Kali ini sorot mata Dika benar-benar berubah menjadi sedikit beringas dan kejam sebelum akhirnya lelaki itu tersenyum lalu meninggalkan ruangan Satria.

Dika kembali ke ruang perawat, sepanjang dia mengedarkan pandangannya, lelaki itu tidak menemukan sosok yang dicarinya.

"Dokter mau visite sekarang?" tanya Karen yang akhirnya diiyakan oleh Dika.

"Mba Gista kemana mba Karen?" tanyanya sembari berjalan menuju ke kamar pasien.

"Saya suruh istirahat sebentar dokter" jawabnya singkat. Tidak ada lagi pertanyaan lanjutan setelah itu karena Dika dan Karen harus fokus untuk menangani pasien.

                     { }

"Terimakasih ya semua, saya permisi dulu" pamit Dika begitu selesai menulis semua laporan. Sesekali lelaki itu masih mencuri-curi pandang kepada Gista yang terlihat hanya diam.

Sebagai kekasih ingin sekali rasanya lelaki itu menanangkan Gista, tetapi sebagai tenaga profesional, Dika sadar betul kalau dia tidak boleh melakukannya.

"Dokter baik-baik saja?" tanya Bu Kalina ragu karena Dika berdiri cukup lama sebelum akhirnya lelaki itu menjawabnya dengan senyuman.

"Saya baik-baik saja kok Bu" ujarnya ramah sebelum benar-benar meninggalkan ruang rawat inap anak.

Sepanjang Dika berjalan menuju ke ruangan lain, dadanya masih bergemuruh saat mengingat ekspresi ketakutan Gista saat melihat kakak tirinya.

"Bajingan emangan.." gerutunya lirih saat sedang menunggu lift.

"Lagi kesal sama siapa?" celetuk Cakra, dokter spesialis bedah torak dan kardiovaskular sekaligus salah satu sahabat baiknya sejak di bangku SMP.

Dika menghela nafas dengan wajah kesalnya.

"Pengen banget hajar orang hari ini" gerutu Dika yang tentu saja membuat Cakra menatap aneh ke arah sahabatnya.

"Tumben marah-marah? Rese banget apa gimana itu orang sampai manusia dengan kesabaran setebal kamus emosi begini?"

"Ya gimana gak emosi? Itu orang yang bikin pacarku trauma sampai sekarang" ujarnya kesal sembari masuk ke dalam lift.

"Pacar? Bentar, kok tiba-tiba udah ada pacar aja? Baru jadian apa gimana?"

"Nggak, udah hampir 7 bulan juga" jelasnya dengan nada datar dan ekspresi kesal.

"Memang dia kenapa? Maksudnya apa yang diperbuat sampai bikin pacarmu trauma Dik?"

Dika melirik sekilas ke Cakra. Otak dan hatinya masih coba menimbang apakah dia harus menceritakan ini atau tidak sampai akhirnya dia memutuskan untuk tidak membaginya dengan Cakra.

"Gak papa. Cuma emang rese aja dia" jawab Dika singkat.

Cakra tidak bertanya lebih lanjut. Mengenal Dika semenjak SMP tentu saja dia sudah tahu benar sifat Dika. Kalau dia tidak ingin membaginya, Cakra tidak akan memaksanya.

"Nanti kapan-kapan kenalin bro" ucap Cakra mencoba memutus obrolan serius mereka sebelumnya.

"Iya. Gampang lah nanti. Duluan ya"

Cakra hanya membiarkan Dika keluar dari lift begitu lift berhenti di lantai 7, lantai dimana tempat PICU dan NICU berada.

[Mari bertemu sebentar setelah makan siang]

Gista hanya menatap layar ponselnya. Tangannya tetap berfokus pada keyboard komputer untuk mengetik laporan hari itu.

"Gis, makan siang dulu"

"Iya Bu, setelah ini saja"

"Udah makan dulu aja Gis, biar saya yang handle"

Gista akhirnya menurut. Wanita itu meninggalkan ruang kerjanya menuju ke kantin karyawan. Pikirannya terus bergerilya entah kemana. Sesekali dadanya masih terasa sesak mengingat salah satu hari paling kelam dalam hidupnya saat masih duduk di bangku SMA itu.

Gista menikmati makan siangnya dengan tatapan kosong hingga dia tidak sadar, dua meja di depannya ada Dika yang sedang memperhatikannya.

[Bisa temui aku di tangga darurat?]

Lagi, Gista hanya menatap layar ponselnya saat sebuah pesan dari Dika masuk. Wanita itu sepertinya masih tidak sadar kalau kekasihnya hanya berjarak beberapa meter di depannya.

Melihat pesannya yang tidak direspon, Dika akhirnya bergegas menyusul Gista yang baru saja selesai makan.

Langkahnya berjalan sedikit cepat, matanya memastikan tidak ada yang mengawasinya hingga dengan cepat lelaki itu menarik Gista untuk masuk ke tangga darurat.

"Mas ngapain? Kita di rumah sakit..." kalimatnya terhenti saat tiba-tiba Dika memeluknya. Tidak ada satupun kalimat yang Dika ucapkan, dia benar-benar hanya memeluk kekasihnya dengan erat. Tangannya mengusap lembut punggung Gista saat tubuh wanita itu terasa mulai bergetar di dekapannya.

"Nangis aja Yang, gak papa. Kamu pasti takut banget ya tadi?"

Gista hanya mengangguk. Kedua tangannya mencengkram erat sisi kanan dan kiri baju scrub yang dipakai oleh Dika. Wajahnya dia tenggelamkan di dada bidang kekasihnya untuk menyembunyikan tangisannya.

"Kamu mau aku gimana? Mau dia aku rujuk aja atau gimana?"

Gista segera menggeleng walaupun tetap menyembunyikan wajahnya di dada bidang Dika.

"Ya sudah. Nanti bilang sama Karen atau mba Kinan aja kamu jangan pegang kamarnya Satria, ya?"

Kali ini Gista hanya mengangguk. Wanita itu melepaskan pelukan Dika, tangannya mengusap air matanya sendiri. Sedangkan Dika, dia hanya bisa menatap tidak tega. Dia tahu hal-hal seperti ini akan terjadi, tetapi dia tidak tahu kalau akan secepat ini.

"Sayang..." panggilnya sembari menggenggam tangan Gista.

"Kapan kamu ke psikiater lagi? Aku temani ya?" ujar Dika yang hanya dijawab dengan tatapan ragu oleh Gista.

"Sejak berpisah dari mas Wira, aku sudah tidak pernah ke psikiater mas."

Dika menghela nafasnya.

"Mulai ke psikiater lagi ya? Teman mas ada yang psikiater. Kita ke rumah sakitnya mama aja ya"

Gista segera menggelengkan kepalanya dengan cepat.

"Kalau mama tahu gimana mas? Kamu sendiri yang bilang mereka gak perlu tahu?"

"Maaf ya, tapi sepertinya mama harus tahu masalah ini Yang.." Dika menjeda kalimatnya. Kembali direngkuhnya tubuh wanita cantik itu ke dekapannya,

"Aku tahu ini gak gampang, tapi kamu punya aku sekarang. Kita hadapi sama-sama ya?"

Tidak ada jawaban dari Gista. Wanita itu hanya memeluk erat kekasihnya dengan nyaman dan tenang.

Terpopuler

Comments

Vhika Pendong Limbat

Vhika Pendong Limbat

haduhhhh ayoo bahagia kalian ber2🥰

2024-01-17

2

Nurul Mufliha Pispirman

Nurul Mufliha Pispirman

yukkss semangat Gista,,pasti ada kebahagiaan lagii buat kamu 🤗🥰

2024-01-17

1

Nurul Mufliha Pispirman

Nurul Mufliha Pispirman

😭😭

2024-01-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!