Bab 17

GISTA POV

"Ada apa?" tanyaku begitu sampai di pagar karena mas Dika terus menerus membunyikan bel rumahku.

"Tidak dibukakan dulu pagarnya?" tanyanya dengan raut wajah kecewa karena aku tidak membukakan pagar untuknya.

"Tidak usah. Begini saja lebih aman. Mas ngapain pulang kerja malah kesini?"

"Tidak ada. Aku cuma rindu" jawabnya singkat dengan tatapan yang tidak bisa aku terjemahkan ataupun aku mengerti.

Mendengar jawabannya hanya bisa membuatku menghela nafas,

"Kalau hanya rindu tidak perlu jam 11 malam bertamu. Ada video call kan?" ujarku dengan raut wajah kesal.

"Aku tidak ingin bertamu"

"Lalu?" tanyaku mengernyitkan dahi.

"Aku ingin bertemu" jawabnya dengan senyuman tulus.

Aku kembali menghela nafas saat mendengar jawabannya. Ya, memang seperti inilah Dika yang sebenarnya. Lelaki dengan hal-hal dan pola pikir yang kadang ada di luar prediksi dan pikiranku.

Anehnya, aku bisa bersahabat dengannya semenjak pindah sekolah hingga detik ini. Dan lebih anehnya lagi, dia bisa menjadi orang yang sangat berbeda saat sedang menjadi dokter dan saat sedang menjadi manusia biasa seperti sekarang.

"Terus sekarang mau apa?"

"Mau pulang. Kan sudah bertemu" jawabnya datar yang membuatku kembali mengernyitkan dahi. Alasannya bertamu di jam 11 malam saja sudah sangat tidak masuk akal, dan sekarang dia hanya ingin bertemu lalu pulang. Entahlah, aku benar-benar tidak bisa menyelami pola pikirnya.

"Tidak mau masuk dulu?"

Dika menggeleng, "aku takut tidak bisa pulang kalau masuk kesana" ujarnya menunjuk rumahku dengan telunjuk tangan kanannya.

Aku hanya tersenyum kecil saat mendengar pengakuan jujur dari Dika.

"Nggak bisa pulang atau gak mau pulang?" Godaku dengan senyuman sinis seolah-olah ingin mematahkan ucapannya tadi.

"Keduanya" jawabnya singkat yang menjadi bahan tawa untuk kami berdua malam itu.

"Kamu baik-baik saja kan?"

Pertanyaannya seketika merubah ritme obrolan kami. Aku hanya mengangguk. Aku coba menarik tipis dua ujung bibirku, aku ingin meyakinkan mas Dika bahwa aku sudah baik-baik saja.

"Bu Kalina memintaku untuk tidak merawat kamar 7"

Dika mengernyitkan dahinya, "tiba-tiba?" tanyanya.

Lagi aku hanya mengangguk.

"Kenapa tiba-tiba Bu Kalina bilang begitu?"

Aku hanya menjawab dengan mengangkat kedua bahuku. Aku sendiri tidak tahu persis alasan Bu Kalina memberikan kamar 7 kepada mba Karen. Padahal, harusnya itu adalah wilayah kerjaku.

"Paling tidak aku bersyukur karena Bu Kalina memberikannya kepada mba Karen walaupun seharusnya aku bisa profesional" ucapku dengan nada bersalah.

Dika menghela nafasnya, disandarkan tubuhnya di pagar berwarna hitam yang menjadi pembatas antara kami berdua tersebut.

"Besok libur kan?"

Aku mengangguk. Lelaki di hadapanku ini terdiam sebentar, kepalanya tiba-tiba mendongak menatap langit malam gelap yang tampak mendung terbukti dengan tidak adanya bintang pada malam itu.

Melihat sikap anehnya, aku hanya bisa mengernyitkan dahi. Masih dengan segala kebingunganku, aku akhirnya ikut mendongakkan kepalanya menatap ke langit.

"Mas lihat apa sih?" tanyaku penasaran.

"Aku lagi coba ngobrol sama dewa hujan"

"Ha?" Seruku dengan nada terkejut bercampur bingung.

Mas Dika hanya menatapku dengan tatapan bingung padahal seharusnya disini aku yang bingung.

"Kenapa kaget banget? Belum pernah ngobrol sama dewa hujan?" tanyanya yang lagi-lagi membuatku hanya bisa mengernyitkan dahi.

"Memang kamu ngobrol apa sama dewa hujan?" tanyaku yang akhirnya mencoba mengikuti kerandoman mas Dika malam ini.

"Aku lagi nego sama dia"

"Nego apa?"

"Nego biar besok gak hujan. Aku bilang kalau besok seharian aku mau kencan sama calon istriku"

Kali ini aku terdiam. Ada rasa hangat yang menyeruak dalam hatiku saat lelaki itu menyebutku dengan sebutan "calon istri".

"Kalau mau senyum gak usah ditahan-tahan. Senyum aja" godanya dengan ekspresi jahil.

"Aduh.." Dika mengeluh kesakitan setelah menerima pukulan tanganku di lengan kirinya.

"Jadi gimana? Mau gak besok kencan?" tanyanya masih dengan mengusap lengan kirinya yang tadi aku pukul.

"Kemana?" tanyaku.

"Kencan." jawabnya singkat.

Aku kembali menghela nafas, tapi kali ini dengan ekspresi kesal.

"Ya aku tahu. Maksudnya mau kencan kemana?" Kali ini nadaku sedikit kesal karena Dika terus menggodaku dengan jawaban-jawaban randomnya padahal jam sudah menunjukkan 23.30.

"Nanti sampai rumah aku pikirin dulu." jawabnya singkat.

"Lagian kita terakhir kencan sudah 4 bulan yang lalu kan? Begitu masuk persiapan akreditasi rumah sakit kita gak punya waktu berdua sama sekali" ucapnya dengan ekspresi sedih yang dibuat-buat.

"Kan masih sering mas kita makan berdua di warung pak Adi" elakku karena sebenarnya hubungan kami juga tidak sedramatis itu.

Dika menghela nafas, "ya kali setiap kencan cuma makan bebek bumbu hitam yang" gerutunya.

Aku tertawa kecil, ekspresi-ekspresi wajah yang Dika tunjukkan memang selalu menarik dan terlihat lucu di mataku.

"Ya sudah kalau begitu." jawabku. Aku akhirnya mengalah, aku lebih memilih menuruti kemauannya dan membiarkan lelaki ini untuk mengambil keputusan kemana dia akan membawaku besok.

"Besok aku jemput jam 8 ya" ucapnya.

Aku terpesona beberapa detik saat melihat senyum tulus di wajah Dika. Terkadang aku bersyukur karena memiliki mas Dika di sisiku, tapi di waktu yang bersamaan, aku takut kalau semua kebersamaan ini akan berakhir dengan perpisahan.

"Mikir apa sih?" tanyanya dengan ekspresi tidak suka. Aku yang sedang asyik dengan pikiranku sendiri seketika kembali ke alam sadarku.

"Nggak mikirin apa-apa kok mas" elakku dengan senyuman tipis.

"Ya sudah. Aku pulang ya" pamitnya. Aku hanya mengangguk tanda mengiyakan keinginannya untuk segera pulang.

"Nggak mau dicium dulu gitu akunya?" tawar Dika yang tentu saja langsung aku tolak dengan tegas. Lelaki dengan kemeja hitam itu hanya bisa menghela nafas saat mendengar jawabanku. Tampak raut wajah kecewa jelas terpancar di wajahnya.

"Belum nikah, gak boleh cium-cium" ujarku dengan ekspresi tegas yang justru membuat Dika tertawa lebar.

"Ya sudah, cium jauh aja kalau gitu" ucapnya di tengah-tengah tawanya yang masih coba dia kendalikan.

"Ya sudah. Hati-hati. Aku masuk ya?" pamitku.

Dika mengangguk. Aku segera berbalik dan meninggalkan Dika sebelum lelaki itu berubah pikiran lagi.

"Sayang.." panggil Dika saat tanganku sudah bersiap membuka pintu rumah. Aku berbalik, lelaki itu masih berdiri di posisinya tanpa bergeser. Aku hanya tersenyum melihat Dika yang sepertinya masih enggan untuk beranjak meninggalkan pagar depan rumahku.

Lelaki itu tersenyum tulus sebelum akhirnya melemparkan ciuman jarak jauh dengan menggunakan tangannya.

"I love you" ucapnya dengan sedikit berteriak yang anehnya berhasil membuatku tersipu.

"Hati-hati pulangnya" jawabku.

Aku sadar benar bukan jawaban itu yang ingin di dengar oleh mas Dika, tetapi aku yakin dia juga tahu kalau aku menyayanginya. Aku bergegas masuk ke rumah, tidak ada lagi obrolan kami setelah itu. Samar suara mobil mas Dika terdengar meninggalkan rumahku saat aku menaiki tangga menuju ke lantai dua.

                   

Terpopuler

Comments

Vhika Pendong Limbat

Vhika Pendong Limbat

mas dika lucu amat 🤣

2024-01-19

0

Ade Novita Sari

Ade Novita Sari

Dika kenapa gemes banget sih😭

2024-01-18

1

Nurul Mufliha Pispirman

Nurul Mufliha Pispirman

doubel up she Thor 😁

2024-01-18

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!