Mr. Accountant: To Protect My Lil Wife _Melindungi Istri Kecilku_
Suara statis bunyi alat pemantau organ tubuh vital menjadi bunyi-bunyian khas di ruangan dingin ini.
Dia tidak bisa melihat isi ruangan. Semua terlihat gelap baginya. Perasaan aneh itu datang lagi menghampiri. Menggelenyar di dalam dada sebelah kanan lalu bergerak mengalir ke dada sebelah kiri.
Seperti ada tangan yang tak terlihat meraba isi paru-paru kanan hingga jantung. Menyentuh dengan lembut.
Bahkan sentuhan terlembut pada organ yang sangat sensitif, meninggalkan perasaan yang tidak nyaman.
Dia bisa mendengar seseorang berteriak. Suara perempuan. Itu suara adiknya!
“Mas.. Tolong! Itu alarm monitornya dari tadi berbunyi kencang!”
“Disti... Biarkan mereka bekerja dengan tenang. Kita keluar dulu dari sini. Gak ada yang bisa kita lakukan di sini,” suara suami adiknya.
“Tapi Kakak....!”
“Percaya pada Abang. Kakak itu tangguh. Dia tidak akan mudah menyerah. Adinda sama cemasnya dengan Disti...”
Adinda!
Mendengar nama yang memenuhi hatinya disebut, sekuat tenaga ia berusaha untuk sadar.
Kemudian seperti terhisap ke belakang, suasana di sekelilingnya berubah menjadi biru berpendar. Biru dengan latar belakang hitam menutupi .
Sudah lama ia terjebak dalam tempat sunyi. Saat terduduk di atas tanah yang berwarna biru berpendar, pundaknya serasa ada yang menepuk.
Dia menoleh. Sesosok pria yang ia kenal dari foto saat bertakziah di rumah yang baru ia kunjungi seumur hidupnya. Wajah pria itu sama dengan wajah yang ada pada foto di depan jenazah yang sudah rapi dalam balutan kafan. Foto bertuliskan Bapak Adang Rahmat. Di hari pertama ia bertemu Adinda.
Dia terkejut. Membalikkan tubuh sambil berdiri.
Pria itu tampak jauh lebih muda daripada dalam foto. Tapi ia yakin, keduanya adalah orang yang sama.
Wajah wanita di samping pria itu juga membuatnya terkejut. Rambut gelombang besar coklat. Sewarna dengan warna iris matanya. Senyumnya itu! Alis, hidung dan dagunya. Sama dengan Adinda.
Hanya dahi dan bentuk rahangnya yang berbeda. Wajahnya... Wajah Adinda versi dewasa.
“Assalamu’alaikum...” Pria dihadapannya mengucap salam.
“Wa’alaikumussalam...”
Pria dan wanita itu tersenyum melihat wajah bingungnya.
“Agung Aksara Gumilar?” Pria itu mengulurkan tangannya.
“Ya...” Dia menerima uluran tangan pria itu.
“Saya Adang Rahmat. Papanya Adinda. Dan ini, Hartini, Mamanya Adinda. Terima kasih sudah beberapa kali menolong anak kami, Puput.”
“Puput?” Agung mengernyit.
“Ah.. ma’af. Kami selalu menyebut Adinda dengan Puput. Nama pemberian kami padanya sebelum diganti menjadi Adinda.”
“Kami percayakan Puput pada Nak Agung. Kami percaya, Nak Agung Aksara Gumilar Bin Gumilar akan mampu menjaga dan membimbing Puput, satu-satunya anak kami, dunia akhirat.”
“Saya? Tapi bagaimana bila Adinda menolaknya?”
Pak Adang dan Ibu Hartini saling berpandangan lalu tertawa, “Kami tahu perasaan anak kami. Kalau dia masih belum jinak, taklukan hatinya.”
“Tapi...”
“Berjanjilah pada kami,” sorot mata Pak Adang terlihat serius.
Juga dengan Ibu Hartini. Tidak ada lagi tatapan bergurau seperti tadi.
“Jagalah Adinda. Dia tidak punya siapa-siapa lagi di dunia. Kami mempercayai Nak Agung.”
Entah kenapa pada saat itu, Agung merasa hatinya ringan tanpa beban. Dia mengangguk.
“Insyaa Allah. Saya akan menjaganya.”
“Alhamdulillah. Kami tenang sekarang. Assalamu’alaikum...” Pak Adang menyodorkan lengannya kepada istrinya, "Yuk, Ma. Kita kembali lagi.”
“Wa’alaikumussalam... Tapi, Bapak dan Ibu mau kemana? Saya boleh ikut?”
Pak Adang dan Bu Hartini berhenti berjalan. Kabut putih semakin menebal seperti gumpalan awan dari arah kaki mereka.
Keduanya tersenyum pada Agung. Lalu menggeleng.
"Nak Agung belum saatnya berada di tempat kami. Pulanglah. Ikuti cahaya putih."
Tubuh keduanya lenyap ditelan gumpalan awan. Awan menyusut, kembali lagi menipis seperti kabut. Hingga ruangan berangsur-angsur berwarna biru kembali.
Cahaya? Cahaya apa? Tidak ada apapun di ruangan ini. Hanya biru berpendar. Sejauh mata memandang, semuanya tampak biru. Dan sunyi.
Lamat-lamat, Agung mendengar suara perempuan yang sedang mengaji. Itu suara adiknya. Agung berdiri dan memandang sekelilingnya, mencari sumber suara.
“Kakak Ipar... bangun Kakak Ipar. Gak kasihan ke Adinda yang sedang menangis cemas di balik kaca jendela ruang ICU ini?”
Itu suara Bramasta, suami adiknya.
“Atau saya cium Adisti di depan Kakak Ipar supaya Kakak Ipar bangun?”
[Dih! Punya adik ipar kok gitu amat. Memang boleh sebebas itu? Memang boleh sevulgar itu? Memang boleh??] Agung mendengarkan dengan sebal suara adik iparnya.
Saat itulah, dia melihat sebuah bola cahaya berwarna putih yang menyejukkan mata. Mendekatinya perlahan.
Pergerakan bola cahaya putih itu berhenti di depannya. Ragu, Agung mengitari cahaya itu. Menerka-nerka cahaya apa itu.
Suara adiknya yang sedang mengaji kian terdengar saat ia mendekati cahaya itu. Tangannya bergetar saat mengulurkannya ke arah bola cahaya.
Terasa hangat. Dan bola cahaya itu tidak pecah saat ia menyentuhnya.
Tiba-tiba lengannya terasa disedot dengan tenaga yang luar biasa besar dari dalam bola cahaya tu. Menyedot tubuhnya untuk masuk ke dalam bola cahaya putih yang ukurannya tidak seberapa besar.
Aneh! Bola cahaya putih sebesar bola basket mampu memuat tubuh jangkung 185 cm. Dan aneka kelebatan peristiwa terlihat seperti menonton adegan potongan film yang dipercepat.
*
Dirinya melawan sekelompok anak muda berandalan yang tengah membully remaja berhoodie kuning. Dan saat hoodie itu melorot dan remaja itu mendongak padanya, Agung terkejut. Remaja korban bully berhoodie kuning ia sangka adalah remaja lelaki yang bertubuh kecil ternyata adalah Adinda.
Menatapnya dengan mata gemetar dan tubuh juga gemetaran karena takut.
“Terima kasih, Om...”
*
Adegan di dalam gerai donat. Apple pie hangat yang terasa pas manisnya di lidah.
Saat Adinda mengiris donat topping keju menjadi dua. Saat Adinda memegang cangkir tebal gerai donat dengan kedua tangannya.
Saat Adinda tersenyum dan tertawa, yang memunculkan dekik kecil di bawah matanya. Rambut cokelat Adinda. Mata cokelat Adinda.
Hatinya meleleh dan menghangat. Matanya mendadak melihat dunia menjadi lebih berwarna.
*
“Saya boleh peluk Om Agung sebagai ucapan terima kasih?”
“Why?”
“Om sudah sering menolong saya. Kita bertemu setiap saya berasa dalam situasi yang sulit. Boleh ya? ”
“Nggak.”
“Kan biar seperti di drakor-drakor, Om..”
“Memangnya kamu mau menikah dengan saya?”
*
“Kenapa kamu memanggil saya Om? Sedangkan memanggil yang lainnya dengan sebutan Abang?”
“Karena pertemuan pertama kita, saya sudah memanggil Om Agung dengan sebutan Om.”
“Kenapa kamu panggil saya Om?”
“Karena Om Agung galak saat pertemuan pertama kita di perempatan Jalan Pahlawan.”
*
“Panggil saya A Agung. Karena kamu calon istri saya.”
“Gak bisa Om?”
“Kenapa?”
“Takut khilaf, Om.”
*
Petang pasca dari gerai donat. Donat yang terbungkus di kotaknya dalam kantung kresek bertuliskan nama gerai donat. Kopi dan coklat panas dalam gelas kertas cap gerai donat.
Tergantung rapi di stang motor. Motor hadiah dari adiknya, hasil penjualan lukisan-lukisannya.
Gedung The Ritz. Mobil Avanza tempat anak buah Anton menyadap The Ritz lewat kamera mikro teknologi Jepang.
Suara mendesing. Sensasi panas yang tiba-tiba menyerang punggung kiri hingga dada kanan Agung. Aroma mesiu dan aroma besi yang terasa hangat mengalir, bercampur menjadi satu di udara yang terhidu oleh Agung.
Dia masih bisa merasakan tubuhnya terbanting di aspal sementara motornya masih melaju. Lalu suara benturan logam yang terseret di atas aspal.
Ia masih bisa membuka matanya walau semua serasa berputar. Udara basah bercampur aroma kopi dan cokelat panas dari gerai donat yang tumpah di atas aspal. Hal terakhir yang ia lihat sebelum gelap dan kesunyian melanda adalah butiran air yang turun dari langit, awal hujan malam itu.
“Bangun Kakak Ipar! Gue cium Disti di depan Lu, ya!”
[No way! ]
Agung membuka matanya.
.
~bersambung~
Bramasta memang terkadang bar-bar dan tengil.
Jangan lupa like dan minta update.
Subscribe dan beri penilaian bintang lima ya Readers 🌷
Utamakan baca Qur'an.
🌷 ❤🖤🤍💚 🌷
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 206 Episodes
Comments