Agung terkejut saat Adinda sudah dipindahkan Man ke belakang tembok. Dirinya bergegas menghampiri Man yang sedang mendudukkan Adinda.
“A Agung pegang Adinda dari arah depan, saya bilas kepala dan punggungnya untuk melarutkan cairan yang disiramkan oleh mereka.”
Agung mengangguk. Dia berjongkok di depan Adinda yang masih menutupi kedua telinganya dengan mata terpejam rapat.
“Din... Dinda, kamu gak apa-apa?” Agung menyentuh wajah Adinda.
Adinda membuka matanya.
“Om Agung...! Kenapa lama datangnya?”
Zaskia dan Wiwit menghampiri tapi tidak terlalu dekat karena bau pada punggung dan kepala Adinda.
“Ma’af... kami kira Dinda masih di dalam masjid. Teman-teman Dinda baru memberitahu kepada kami setelah mereka merasa Dinda terlalu lama pergi..” Agung menyentuh pipi Adinda dengan kedua tangannya, “Ma’af... ma’afkan saya, Din. Saya tidak bisa menjaga kamu dengan baik hari ini... Apapun yang terjadi nanti, saya akan selalu sayang ke kamu..”
“So sweet banget sih?” bisik keras Wiwit.
Zaskia mengangguk.
“Nda beruntung banget ya dicintai oleh orang seperti A Agung.. Gue kan jadi baper...”
“Om Agung ngomong apa?” Adinda mengernyit saat berusaha menggeser tubuhnya.
“Kenapa? Pedih? Punggung atau kepala?” Agung memegang bahu dan kepala Adinda bergantian.
Adinda menggeleng.
“Bukan Om.. Tapi ini...” Adinda menundukkan wajahnya tangannya memegangi sepatu yang menempel di perutnya.
Agung terkejut, kedua alisnya terangkat.
“Subhanallah!” tangan Agung memegangi sepatu Adinda yang menempel di seragam Adinda. Di kemeja dan roknya.
Man mendekat.
“Ada apa?”
Detik berikutnya, Man terperanjat.
“Gak bisa ditarik?” Man mendekat membuat kedua teman Adinda penasaran.
“Kalian berdua, bawa tas Adinda ke sini ya. Pinjam jaket-jaket kalian atau teman kalian, nanti saya ganti yang baru...” Agung memerintahkan kepada kedua teman Adinda.
Mereka langsung beranjak pergi sambil mengangguk mengerti.
“Ini kenapa sepatu meleleh ada di perut kamu?”
“Saya sedang mengambil sepatu yang mulai terbakar saat punggung saya diinjak dan didorong ke tanah. Sepatu yang baru meleleh itu terjepit perut dan tanah...”
“Kulit perut kamu..?”
“Pedih, Om. Sepertinya melepuh...”
“Nanti saya gunting ya supaya sepatunya bisa lepas.”
Adinda mengangguk. Bertepatan dengan suara ribut dari arah depan dan belakang mereka.
“Man. Laporkan pada Tuan Hans segera.”
Man mengangguk. Dia mengambil gawainya.
Dari arah rumpun bambu, Rambut Shaggy datang sambil mendorong kedua remaja putri biang kerok. Dia melemparkan tas kedua anak itu di bawah kaki Man.
“Barang bukti rencana kejahatan mereka yang akan mereka lakukan kepada Nona Adinda,” Rambut Shaggy menatap Man dengan tubuh tegap.
Man yang sedang menelepon Hans menjadi terdiam sejenak. Dia mengubah panggilan suaranya menjadi panggilan video.
“Buka tasnya,” perintah Man.
“Sebaiknya tidak dikeluarkan isinya,” Rambut Shaggy membuka risleting tas, “Karena banyak anak-anak di bawah umur di sini.”
Man dan Agung mengernyit mendengar penjelasan Rambut Shaggy. Mereka mendekatinya untuk melongok ke dalam tas.
“Astaghfirullah..!”
Agung berdiri, menatap geram pada kedua remaja putri itu yang menunduk ketakutan. Pipi mereka dipenuhi bekas tapak jemari.
Agung berjongkok, mendongakkan wajah mereka agar mata nya dan mata mereka sejajar dengan menarik rambut mereka ke bawah.
“APA YANG KALIAN RENCANAKAN PADA CALON ISTRI SAYA ?!!”
Agung menarik rambut keduanya dengan kuat, membuat keduanya menjerit kesakitan.
Para guru berdatangan dan murid-murid lainnya memenuhi area belakang sekolah.
“Ada apa ini?” Pak Hasan, guru Fisika merangkap guru kesiswaan mendekati.
Agung yang masih gemetar menahan amarah tidak dapat menjawab. Man dan Rambut Shaggy bergantian menjelaskan apa yang terjadi.
Murid laki-laki yang ada, diminta untuk membawa para pelaku berjas hujan ponco warna hitam yang sudah terikat dan tidak sadarkan diri di belakang rumpun bambu.
Kedua gawai yang ada pada mereka disita. Seorang siswa yang kenal dengan salah satu pelaku langsung membuka galeri video rekaman.
Rekaman dimulai saat kedua remaja putri itu melemparkan sepatu Adinda ke dalam tumpukan daun yang tengah dibakar. Semua terlihat jelas bagaimana punggung Adinda diinjak dan sepatu itu terjatuh dan akhirnya terhimpit perut dan tanah.
Semua ucapan jahat si Penyiram terhadap Adinda. Juga dialog kedua remaja putri itu pada si Penyiram yang jengkel karena rencana mereka gagal dilakukan.
“Cairan busuk yang dibungkus di dalam botol, jas hujan ponco hitam, masker hitam, bahkan si penyiram memakai sarung tangan lateks, dokumentasi video yang direkam oleh 2 orang juga barang bukti yang memalukan yang rencananya akan dipakai untuk menjahati Adinda, ada di dalam tas,” Man membeberkan semuanya.
“Semuanya adalah bukti bahwa perbuatan mereka sudah direncanakan jauh hari dan memakai ajang pengumuman kelulusan untuk hari eksekusinya.”
Para guru berseru kaget mellihat barang bukti di dalam tas.
“Ini gila! Punya siapa barang-barang ini? Kalian sering memakainya?”
Kasak-kusuk terdengar. Para murid penasaran dengan barang bukti di dalam tas.
“DINDA.”
Semua orang melihat ke arah suara. Ivan berlari ke arah Agung.
“Om, Dinda kenapa?”
Agung menatap Ivan dengan sorot mata kebencian tang terlihat jelas. Dia berjalan cepat ke arah Ivan. Menarik kerah bajunya.
“Mereka..” telunjuknya terarah pada para pelaku, “...anak buah kamu kan?”
Ivan menatap pada orang-orang yang ditunjuk Agung. Matanya melebar.
“Tapi...saya sama sekali tidak tahu apa-apa tentang hal ini, Om.”
“BOHONG KAMU!”
“Saya gak bohong, Om. Mereka dulunya memang anak buah saya. Tapi semenjak kejadian bullying yang sering dialami Dinda oleh mereka, apalagi kejadian di Toko Donat, saya meninggalkan mereka, Om...” Mata Ivan menatap tegas Agung tanpa takut.
Agung tahu, Ivan berbicara jujur. Dia melepaskan cekalannya pada kerah baju Ivan.
“Pak Agung,” Rambut Shaggy mendekat, “Anak ini bicara jujur. Kedua abege itu bilang, ketua gank tidak tahu apa-apa tentang hal ini. Mereka melakukan ini karena sakit hati dengan Adinda yang sudah merusak dan menghancurkan gank mereka...”
“Gank ca bul!” teriak Agung sambil memandang dua abege putri yang diam tertunduk.
“Saya merekam pengakuan mereka saat berhasil meringkus mereka dan langsung menginterogasinya. Ini bukan sekedar kenakalan remaja biasa. Ini lebih daripada itu...” Rambut Shaggy menyodorkan gawainya pada Agung.
“Berikan pada para Guru. Agar mereka bisa mengambil kesimpulan dan memberikan hukuman yang pantas,” Agung memerintahkan Rambut Shaggy yang dijawab dengan anggukan kepala.
“Adinda mana?” Ivan bertanya lagi tapi kemudian matanya melihat pada pojokan tembok.
Beberapa orang murid perempuan membentangkan 2 selimut membentuk partisi.
“Kamu, tanyakan kepada mereka,apa yang mereka siramkan kepada Dinda!” Agung menatap Ivan.
“A Agung, Tuan Hans sedang dalam perjalan ke sini. Begitu pula dengan Bapak dan Ibu Gumilar, Nona Layla dan Nyonya Kusumawardhani,” Man melaporkan.
Pak Hasan tampak gugup.
"Ma'af.. mereka-mereka yang tadi disebutkan siapa ya?”
“Mereka adalah para orangtua angkat dan kakak angkat Adinda.”
“Bukannya yang menjadi wali murid Adinda adalah Pak Gumilar?”
“Beliau Ayah saya. Setelah kejadian penyerangan terhadap Adinda yang dilakukan oleh ibu tiri dan teman prianya saat dini hari, Adinda menjadi anak angkat 4 keluarga. Keluarga Gumilar, Keluarga Alwin Sanjaya, Keluarga Kusumawardhani dan Keluarga Fernandez.”
“Masyaa Allah... Keluarga sultan semua..” seru seorang guru yang membuat heboh lainnya.
“Om Agung...” Ivan berlari mendekat, “Cairan itu...”
“Apa? Ngomong yang jelas, jangan sepotong-sepotong begitu.”
“Itu cairan kencing babi dan kencing anjing...”
“Subhanallah. Astaghfirullah!”
Agung segera menghampiri Adinda. Dia berhenti dibalik selimut garis-garis navy-putih khas rumah sakit jaman dulu yang dibentangkan menyamping oleh murid-murid perempuan.
“Dinda...”
“Ya Om?”
“Kamu bisa thoharoh?”
“Memangnya kenapa, Om?”
“Cairan yang disiramkan ke kamu itu, air kencing babi dan anjing...”
“Ya Allah...”
“Nda... Lu jangan nangis..” suara teman Adinda entah yang mana terdengar dari balik bentangan selimut.
“Dinda, kamu kenapa?” Agung terdengar cemas.
“Adindanya sedang nangis, A Agung. Tadi padahal gak apa-apa dianya..." Agung mengenali sebagai suara Zaskia, “Nda, Lu jangan nangis dong. Gue jadi ikutan nangis nih...”
“Kalian yang bantuin bersihin Adinda juga harus thoharoh ya..” Agung mengingatkan kedua teman Adinda di balik bentangan selimut.
“Saya guru agama,” seorang guru berhijab krem mendekati bentangan selimut. Saya akan bantu Adinda dan yang lainnya untuk berthoharoh.”
Agung mengangguk dan berterima kasih seraya mempersilahkan guru itu masuk ke dalam bentangan selimut.
“Sudah berapa kali pakai sabun dan sampo?” terdengar suara Ibu Guru Agama dari balik selimut yang dibentangkan.
“Sudah 3 kali Bu. Ini baunya masih ada sih tapi tidak semenyengat yang pertama.”
“Kita bersihkan sekali lagi pakai sabun dan sampo ya. Mudah-mudahan baunya hilang,” suara Ibu Guru terdengar menenangkan Adinda, tidak terdengar lagi suara isakannya.
“Ya Allah.. Dinda. Perut kamu kenapa?”
“Kena lelehan sol sepatu tadi saat diinjak punggungnya..” Zaskia yang menjelaskan.
Bu Guru menyibak sedikit selimut. Wajahnya memandang ke arah murid dan guru.
“Anak PMR tolong siapkan kotak P3K ya. Penanganan luka bakar. Dari sini, Adinda kita bawa ke ruang UKS untuk mendapat perawatan di sana. Kalian siapkan ruang UKS.”
Para Guru heboh. Beberapa murid anggota PMR berlari mepersiapkan apa yang diminta Ibu Guru Agama tadi.
“Seberapa parah luka bakarnya, Bu? Apakah perlu dibawa ke rumah sakit?” tanya Agung.
“Ini belum melepuh sih. Hanya kulitnya merah sekali. Semoga air bisa membantu mendinginkan kulitnya,” Ibu Guru benar-benar menenangkan Agung.
“Saat Ibu membantu Adinda untuk thoharoh, kalian berdua juga ikut thoharoh ya. Bagian yang kalian bersihkan cukup tangan kalian saja yang terkena najis. Berbeda dengan Adinda.”
“Iya Bu..”
Bu Guru melanjutkan lagi.
“Karena ini ada najis anjingnya, maka terakhirnya harus dibersihkan dengan tanah ya. Untung Adinda langsung dibersihkan di sini, dekat dengan tanah. Kalau di kamar mandi, repot kitanya...”
“Mereka bagaimana, Pak?” tanya Man kepada Pak Hasan.
“Bawa saja ke ruang guru. Kita interogasi di sana,” jawab Pak Hasan.
Ketiga murid yang mengenakan ponco hitam sudah sadarkan diri. Si Penyiram alias Firman, meringis dan mengaduk kesakitan. Gigi depannya tanggal lagi. Kali ini gigi bawahnya yang tanggal.
.
*bersambung*
🌺
Untung Guru Agamanya perempuan ya, jadi bisa bantu Adinda untuk thoharoh.
🌺
Catatan Kecil:
Thaharah / Thoharoh adalah mensucikan diri dari hadas dan najis.
Air kencing manusia ataupun binatang termasuk ke dalam najis mutawassithah memiliki tingkatan sedang.
Cara menghilangkannya cukup dengan menyiram dengan air mutlak pada bagian yang terkena najis hingga hilang rasa, bau, dan warnanya.
Sedangkan najis yang berasal dari anjing dan babi merupakan najis mugholadhoh.
Cara menghilangkannya dengan menyiram dengan menggunakan air sebanyak 7 kali, salah satunya (bisa diawal atau diakhir) membersihkan dengan menggunakan debu/tanah yang bersih.
🌺
Jangan lupa like dan minta update.
Yang belum pencet ❤➕, hayoo.
Yang belum beri penilaian bintang 5, pliiiiiiis dong 😉
🌺
Utamakan baca Qur’an
🌷❤🖤🤍💚🌷
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 206 Episodes
Comments
himawatidewi satyawira
knapa ndak dicabut paksa aja si pirman
2024-07-31
1