Bab 5

Dengan sabar Embun mengajari Cakra menyelesaikan beberapa soal yang tertera di buku pelajaran kimia. Ia juga menjelaskan secara rinci agar Cakra bisa memahami dengan benar materi yang telah di berikan oleh pak Doni kemarin.

Embun sibuk menjelaskan sembari menulis dan ia hanya menatap buku di hadapannya. Sebegitu antusiasnya Embun dalam mengajari Cakra yang sangat abai akan pelajaran menghitung itu. Hingga ia pun tidak menyadari jika Cakra hanya memandanginya sembari tersenyum tanpa mendengarkan penjelasannya sedikit pun.

"Udah ngerti kan?" tanya Embun yang masih fokus dengan apa yang di tulisnya.

"Cakra, udah ngerti belum sih?!" Embun mengulang ucapannya.

Tak mendapat respon dari Cakra, ia pun langsung menoleh ke arah pemuda yang duduk berhadapan dengannya. Mata mereka kini bertemu. Kedua netra coklat itu pun saling menatap.

Embun tergugup dan segera memalingkan wajah dari Cakra. Sedangkan Cakra tak melepaskan pandangannya sedikit pun.

"Kalau kau memang nggak berniat belajar, lebih baik aku pulang saja." ujar Embun sambil memasukkan bukunya ke dalam tas.

Cakra seketika tersadar.

"Eh tunggu... Embun. Siapa bilang aku nggak mau belajar." sahutnya cepat.

"Makanya fokus dong, kau pikir aku nggak lelah apa menjelaskan panjang lebar kayak begini." celetuk Embun mulai kesal.

"Iya... sorry." jawab Cakra.

Lalu Embun pun kembali menjelaskan perihal rumus-rumus yang membuat kepala Cakra tak sanggup mencernanya. Kali ini Cakra serius mendengarkan. Ia tak ingin membuat Embun kesal kemudian pergi.

Cakra ingin Embun lebih lama berada di rumahnya itu. Kalau pun bisa, ia ingin Embun tinggal menetap di rumahnya yang mewah namun selalu saja sepi karna hanya ia dan para asisten rumah tangga yang menempati.

Kedua orang tua Cakra yang sama-sama pengusaha membuat mereka sangat jarang pulang ke rumah. Hanya sekali atau dua kali dalam sebulan mereka pulang untuk menemui Cakra, anak tunggal mereka.

Setelah Embun merasa Cakra sudah cukup memahami materi dari pak Doni kemarin, ia pun memutuskan untuk pulang. Apalagi hari sudah semakin sore,ia semakin tak ingin berlama-lama di rumah Cakra.

"Aku pulang ya." ucap Embun datar.

"Ayo ku antar."

"Nggak usah." tolak Embun sembari berjalan menuju pintu.

"Ayo lah. Aku kan udah janji akan mengantarkan mu pulang." ujar Cakra yang mengikuti langkah Embun.

Akan semakin rumit urusannya, kalau ibu tau aku pulang bersama laki-laki. Monolog Embun dalam hati.

"Aku pulang sendiri aja. Nggak papa." seru Embun dengan yakin, lalu ia pergi tanpa permisi dari hadapan Cakra.

Cakra yang tak terima tawarannya di tolak begitu saja, dengan cepat berlari ke tempat dimana ia memarkirkan motornya. Kemudian ia melajukan motornya dan menghampiri Embun yang belum jauh dari rumahnya.

"Cepat naik." suruh Cakra sembari menghentikan motornya.

"Pendengaran mu itu terganggu atau gimana sih?kan udah ku katakan, aku akan pulang sendiri. Jadi kau nggak perlu mengantar ku." ucap Embun menaikkan nada suaranya. Ia tak bisa membayangkan bagaimana reaksi ibunya saat mengetahui ia pulang bersama seorang lelaki.

"Aku benci berhutang budi. Anggap lah ini balasan karna kau telah mengajari ku tadi." kata Cakra mencari alasan agar Embun mau pulang bersamanya.

Embun merenung sejenak. Kalau ia menunggu bus, akan memakan waktu lagi dan ia pun akan semakin lama sampai ke rumah. Tanpa berkata apapun, Embun langsung menaiki motor Cakra. Setidaknya dengan di antar oleh Cakra, ia bisa sampai ke rumah lebih cepat dan juga bisa menghemat pengeluarannya.

...~~~...

"Turunkan aku di sini." pinta Embun tiba-tiba.

"Kau yakin di sini?" tanya Cakra heran sembari melepas pandangan ke arah sisi jalan yang hanya terdapat pepohonan besar berjejer rapi.

Embun mengangguk cepat. "Rumah ku nggak jauh lagi dari sini. Aku akan berjalan kaki, jadi turunkan aja aku di sini."

"Kenapa nggak sampai depan rumah mu aja sih?aku kan juga udah janji untuk meminta izin kepada ibu mu." sambung Cakra.

Embun tak menjawab. Ia segera turun dari motor Cakra yang sudah berhenti di sisi jalan. Tanpa basa-basi lagi, Embun langsung pergi dari hadapan Cakra.

Cakra menganga tak percaya, baru sekali ini ia di abaikan oleh seorang gadis. Ia pun tak langsung pergi walau sudah di acuhkan seperti itu. Dengan masih menyisakan tanya, Cakra hanya memandangi punggung Embun yang semakin jauh dan akhirnya menghilang di pertigaan jalan.

...~~~...

Keesokan paginya, Embun mengenakan jaket hitam ke sekolah. Tak biasanya ia berpenampilan seperti itu. Bagi Embun, ia memakai jaket itu bukan untuk menjadi ajang bergaya-gayaan di sekolah. Melainkan karna ia ingin menutupi beberapa lebam dan luka di lengannya akibat di pukuli oleh ayahnya semalam.

Saat Embun pulang dari rumah Cakra semalam, ternyata ayahnya sudah menunggunya di depan pintu. Tyo, sang ayah sengaja pulang lebih cepat dari kantornya karna ia ingin mengajak Embun untuk menemui sanak saudaranya yang baru saja tiba dari luar kota.

Sebenarnya Tyo tak ingin mengajak Embun, namun karna Ratna sedang menjenguk ibu mertuanya bersama Nara dan Ray pun sedang ada kegiatan di kampusnya, Tyo pun terpaksa mengajak anak tengahnya itu. Ia hanya merasa canggung jika harus seorang diri menemui sanak saudaranya yang sudah lama tak bertemu sejak sepuluh tahun lalu.

Namun karna Embun pulang hampir petang, Tyo pun harus membatalkan rencananya untuk menemui sanak saudaranya di tempat yang sudah mereka janjikan. Tyo murka melihat kepulangan Embun. Hatinya menyimpan kekesalan dan amarah karna tak rela membuang waktunya begitu saja hanya untuk menunggu anaknya itu.

Dengan amarah yang tak bisa ia tahan, Tyo tanpa ampun memukuli Embun dengan sebuah rotan kecil. Untungnya Embun berhasil melarikan diri ke kamarnya, kalau tidak tubuhnya mungkin akan babak belur akibat kemarahan Tyo.

"Kali ini apa lagi Mbun?" tanya Salma yang sudah mulai curiga dengannya.

"Maksudnya?!" sahut Embun tak paham.

"Kali apa alasan mu memakai jaket? apa kau di pukuli lagi?" Salma yang sudah tau betul bagaimana hubungan Embun dengan keluarganya, berusaha memastikan.

Bagaimana tidak, Embun sudah bersahabat dengan Salma sejak mereka duduk di bangku sd. Dan Salma lah saksi hidup yang pernah menyaksikan kekejaman yang dilakukan oleh kedua orang tua Embun.

Salma ingin melaporkan keluarga sahabatnya yang tak memiliki hati nurani itu, namun Embun melarangnya. Embun bilang, seburuk-buruknya kedua orang tuanya, mereka tetaplah orang tua baginya yang sudah bersusah payah untuk membesarkannya.

Embun tak pernah sedikit pun membenci keluarganya, walau ia mendapat perlakukan tak adil, sering di abaikan, bahkan ia juga seperti di anggap tak ada di keluarga itu. Bagi Embun, kalau ia harus membenci keluarganya, lalu siapa lagi yang akan ia cintai di dunia ini? toh hanya keluarga itu yang di milikinya saat ini. Benar kata orang-orang, jika harta yang paling berharga adalah keluarga. Dan Embun membenarkan hal itu. Walau keluarganya sangat tidak pantas di juluki sebagai "harta." Ungkapan sampah masyarakatlah sepertinya yang lebih cocok untuk keluarganya itu.

...~~~...

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!