"Embun..." panggil Salma.
"Kenapa Sal?" sahut Embun tanpa menoleh ke arah Salma yang duduk di sebelah. Ia hanya sibuk membaca buku di hadapannya.
"Aku boleh ikut kan?" bisik Salma yang takut di tegur oleh penjaga perpustakaan.
"Ikut apa?" Embun merasa heran.
"Ikut kelompok belajar sama Cakra."
"Jadi kau mau berpaling dari Pandu?" sekak Embun, sembari membalik lembaran buku yang di bacanya.
"Bukan gitu Mbun, tapi..."
"Salma..." panggil seorang lelaki dari depan pintu perpustakaan, membuat gadis itu langsung menengadah.
"Yang di omongin muncul tuh" ujar Embun yang hapal betul suara Pandu.
"Aku nemui Pandu dulu ya Embun. Nggak papa kan? Oiya, jangan cerita apapun ya ke dia soal tadi."
"Iya Sal, yaudah pergi sana. Lagian ngapain juga aku cerita sama Pandu" sahut Embun, lalu tersenyum hingga terlihat lah kedua lesung pipinya yang menarik itu.
Salma pun langsung pergi meninggalkan Embun. Embun yang hanya seorang diri kembali, berkutat pada lembaran buku yang sempat tertunda ia baca karna ocehan Salma tadi.
Belum sampai lima menit Salma pergi, tiba-tiba seseorang datang dan duduk di samping Embun. Gadis itu pikir, Salma tak jadi pergi menemui Pandu dan kembali menemaninya di perpustakaan.
"Nggak jadi menemui Pandu, Sal?" tanya Embun santai, tanpa menoleh ke samping.
"Sal,.."
"Salma" Embun pun menoleh ke arah sampingnya karna tak ada jawaban dari Salma.
Betapa terkejutnya ia saat mengetahui Cakrawala lah yang duduk di sebelahnya bukan Salma seperti dugaannya tadi.
"Hai..." sapa Cakra sambil tersenyum.
Embun seketika memalingkan wajahnya. Jantungnya berdegup, bukan karna ia menyukai Cakra. Tetapi karna seorang introvert seperti dia, merasa tak siap harus bertemu dengan orang lain yang tak akrab dengannya. Di tambah lagi posisi duduk Cakra yang begitu dekat, membuat perasaan gadis itu semakin tak nyaman.
Dengan tergesa Embun membereskan beberapa buku yang tergeletak di meja. Lalu ia segera pergi dari hadapan Cakra.
"Tunggu.." cegah Cakra.
"Kenapa pergi?" sambungnya lagi.
"Sorry, aku ngerasa nggak nyaman di sebelah orang yang nggak akrab dengan ku." jawab Embun tanpa basa-basi.
"Tapi aku cuma mau buat kelompok belajar." ujar Cakra.
"Yang di ujung sana, kalau kalian ingin berdebat, lebih baik ke luar! suara kalian mengganggu orang lain yang sedang membaca!" teriak penjaga perpustakaan yang mendengar percakapan mereka.
Mendengar itu, Embun pun segera keluar dari perpustakaan dan meninggalkan Cakra.
"Wah... ternyata dia jauh lebih sulit untuk di dekati, nggak seperti dugaan ku selama ini." monolog Cakra.
...~~~...
Begitu bel berbunyi menandakan jam pelajaran telah usai, Embun langsung bergegas memasukkan semua alat tulisnya ke dalam tas. Ia ingin segera pulang dan tak ingin terlambat sampai ke rumah walau hanya 1 menit pun.
"Aku duluan ya Sal." ujar Embun yang langsung meninggalkan kelas.
"Tapi Mbun," Salma kalah cepat dari Embun yang sudah berlalu dari hadapannya.
Sedangkan Cakra hanya bisa menatap kursi Embun yang telah kosong. Padahal ia begitu ingin menghampiri gadis itu untuk membahas kelompok belajar dengannya. Namun, rencana hanya tinggal rencana. Cakra kecewa karna Embun tak seperti harapannya, yang ia pikir bisa bersikap hangat dan terbuka seperti kebanyakan siswi perempuan lain di sekolahnya.
Embun bukannya tak ingin membentuk kelompok belajar bersama Cakra dan membantunya mengatasi kesulitannya dalam pelajaran hitung menghitung. Embun hanya tak memiliki waktu lebih, karna sepulang sekolah ia harus bergegas tiba di rumah secepat mungkin.
Embun tak ingin terus-terusan mendapat umpatan dari ibunya yang memiliki lidah beracun itu. Bagaiman tidak, kata-kata yang keluar dari mulut ibunya, pasti selalu berhasil menyakiti dan melukai hati Embun.
Dengan berlari kecil, Embun keluar dari gerbang sekolah. Ia bergidik ngeri saat membayangkan ocehan ibunya jika ia terlambat pulang ke rumah. Nafasnya mulai memburu saat Embun mempercepat laju larinya.
Selain tak mendapat jatah makanan, Embun juga tak di beri uang saku jika ia melakukan sesuatu yang menurut ibunya salah. Untuk itu lah, ia begitu berusaha agar keterlambatannya itu tidak terulang lagi.
Peluh pun menetes satu per satu membasahi wajah dan juga seragam sekolah Embun. Namun ia lega, karna tepat waktu saat tiba di rumah. Ia membuka pintu gerbang rumahnya dengan nafas tersengal sembari memegang perutnya yang menggrutu ingin segera di isi makanan.
Embun segera masuk ke rumahnya karna ia tau pesanan yang akan ia antar sudah menumpuk. Dan benar saja, baru juga Embun melepas sepatu sekolahnya, ibunya langsung datang menghampirinya.
"Cepat ganti baju sekolah mu. Lalu segera antarkan nasi kotak itu ke langganan kita." ujar Ratna.
"Tapi bu, Embun boleh makan dulu kan?Embun lapar" mohon Embun dengan wajahnya yang memelas.
"Antarkan dulu pesanan itu, baru kau boleh makan." ucap Ratna lagi, lalu ia membalikkan badan dan segera pergi dari hadapan Embun.
Itulah alasan mengapa Embun harus pulang tepat waktu. Karna ia harus segera mengantarkan nasi kotak kepada para pelanggan yang memesan jasa catering ibunya.
Embun pun segera mengganti seragam sekolahnya. Ia lalu mengenakan kaos lengan pendek dan celana jeans panjang yang ia pilih secara acak. Setelah selesai, ia keluar dari kamarnya dan hendak mengantarkan 30 nasi kotak yang sudah di siapkan ibunya itu.
Sebelum pergi, Embun tak sengaja melihat sepotong roti di atas meja makan. Ia pun menoleh ke kanan dan kiri untuk memastikan tak ada orang yang melihatnya akan mengambil roti itu. Saat hampir berhasil, tiba-tiba Ray, kakak sulung Embun, yang juga baru pulang dari kampusnya berjalan melewati meja makan itu hingga membuat rencana Embun gagal.
Ia pun menghela nafas kesal sembari mengangkat tumpukan nasi kotak itu untuk ia letakkan di atas motornya. Betapa tidak manusiawi perlakuan Ratna kepada anak gadisnya itu. Membiarkan Embun kelaparan namun tetap menyuruhnya melakukan hal-hal yang sebenarnya lebih pantas di berikan kepada Ray, yang merupakan anak laki-laki tertua di rumah mereka.
Sembari menahan rasa lapar, Embun pun mengantarkan nasi kotak itu ke sebuah kantor kecil yang sedang mengadakan sebuah acara. Dengan hati-hati ia membawa tumpukan nasi kotak itu agar tak terjatuh. Namun tangannya yang gemetar karna menahan rasa lapar, sudah tak sanggup lagi membawa tumpukan nasi kotak itu.
Ia goyah, untungnya ada yang iba dan langsung membantunya membawa nasi-nasi kotak itu. Nasib baik terkadang berpihak kepada seseorang berhati tulus seperti Embun. Ia yang hendak pulang karna pekerjaannya telah selesai, langsung di cegah dan di ajak makan bersama mereka.
Bahkan Embun juga di beri upah oleh pemilik kantor itu karna rasa terima kasihnya kepada Embun yang datang tepat waktu mengantarkan pesanan mereka.
Namun Embun yang merasa tak nyaman jika harus menikmati makanan di tengah orang-orang yang tak di kenalnya pun memilih untuk pergi dari tempat itu. Tak apa jika ia harus menahan rasa laparnya lebih lama lagi, batinnya.
Rezeki memang tak pernah salah ketika menemui pemiliknya. "Ambil, kau pasti belum makan kan?" ujar pemilik kantor itu sembari memberikan sekotak nasi kepada Embun.
Embun pun tersenyum puas sembari mengambil nasi kotak itu. "Terima kasih banyak ya pak.Kalau begitu saya permisi." ucapnya.
...~~~...
Sembari membiarkan motornya melaju dengan pelan, mata Embun menelaah setiap sisi jalan mencari tempat yang cocok baginya untuk menyantap makan siangnya itu.
Lalu ia melihat kursi panjang yang tertata rapi di pinggir jalan. Embun pun menghentikan motornya di jalanan kecil yang tak banyak kendaraan berlalu lalang. Kemudian ia mengeluarkan nasi kotak itu dari dalam sebuah paper bag. Dengan tak sabar, ia ingin mengetahui ibunya memasak menu apa untuk cateringnya hari ini.
"Wahh..." mata Embun seketika berbinar, melihat rendang daging kesukaannya.
Tanpa menunggu lagi, Embun mulai menyantap makanan di hadapannya itu. Begitu lahap ia makan, hingga ia pun tersedak karna menelan makanan itu dengan terburu-buru.
Embun panik seketika menyadari ia tak membawa air minum. Dalam kepanikannya, tiba-tiba seseorang menyodorkan sebotol air mineral ke hadapannya. "Nih, untuk mu."
Embun pun mendongakan kepalanya menatap seseorang yang berdiri di hadapannya. Ia tak peduli lagi dengan sosok yang tersenyum kepadanya. Dengan cepat, Embun mengambil sebotol air mineral itu dari tangan berurat lelaki yang menyodorkan minum kepadanya. Kemudian ia menenggak air itu tanpa jeda.
"Makanya kalau makan itu pelan-pelan." ujar lelaki itu yang ternyata adalah Cakra. Cakra lalu duduk di samping Embun tanpa canggung.
Namun Embun yang merasa risih dengan kehadiran Cakra tak melanjutkan makan siangnya. Ia hendak menutup kotak nasi itu dan ingin segera pergi dari hadapan lelaki jangkung berwajah tampan itu.
"Biar aku yang pergi, kau ngerasa nggak nyaman kan karna aku duduk di sini?" Cakra menahan lengan Embun yang hendak membungkus kembali makanannya.
Embun tak menjawab,.ia hanya terpaku dengan Cakra yang tanpa segan menyentuhnya. Cakra yang menyadari kehadirannya tak di harapkan oleh Embun pun langsung berlalu, meninggalkan Embun seorang diri.
...~~~...
Nasib sial Embun belum berakhir. Motornya tiba-tiba tak bisa dinyalakan saat ia hendak kembali pulang. Embun yang sama sekali tidak mengerti perihal otomotif, memutuskan mendorong motornya itu hingga sampai ke rumah.
"Kau dari mana saja?" tanya Ratna yang sudah berdiri di depan pintu.
"Aku kan habis mengantarkan pesanan ibu." jawab Embun sembari menyeka peluhnya.
"Itu kenapa motornya?" tanya Ratna lagi .
"Embun juga nggak tau bu, tadi waktu mau pulang, tiba-tiba motornya nggak bisa di nyalakan." sahutnya.
"Kau ini ya, selalu saja merusak barang. Apapun barang yang kau pakai pasti selalu seperti itu." bentak Ratna marah karna ia harus mengeluarkan uang lagi untuk memperbaiki motor itu.
Embun hanya menunduk. "Maaf bu." Ia meminta maaf atas sesuatu yang bukan kesalahannya.
"Sudah, cepat sana masuk! Kerjakan tugas-tugas sekolah mu. Oiya, itu ada nasi sisa, makanlah. Kak Ray dan Nara sudah makan tadi. Jadi mereka menyisahkannya untuk mu." ucap Ratna ketus.
Embun lagi-lagi hanya mengangguk tanpa berani menyelah ucapan ibunya. Hatinya ingin memberontak, namun ia padamkan keinginan itu. Embun tak mau mendapat kekerasan fisik lagi dari ibunya karna ia berani mengoreksi ucapan atau sikap ibunya yang menurutnya salah.
Saat SMP dulu, ibunya pernah menampar dan memukulinya hanya karna ia melakukan pembelaan diri akibat di tuduh mencuri uang milik ibunya. Padahal Ray lah yang melakukan itu, namun dengan jahatnya ia malah menuduh Embun.
Dari situ lah Embun yang trauma dan masih dengan jelas bisa mengingat rasa sakit itu, memilih untuk diam dan membiarkan ibunya melontarkan makian dan cacian kepadanya.
Kekerasan fisik yang di lakukan oleh ibu dan bahkan terkadang juga oleh kakaknya, membuat Embun tak hanya merasakan sakit pada tubuhnya, melainkan juga pada hatinya. Keluarga yang selalu ia anggap sebagai rumah tempat ia pulang, nyatanya hanyalah neraka dunia yang selalu menyiksanya.
Apa aku hanyalah anak pungut? hingga keluarga ku tega memperlakukan ku seperti itu.
Asumsi itu terlontar begitu saja dari mulut Embun. Sembari menatap langit-langit kamarnya, ia pun merenungi nasib tak beruntungnya itu.
...~~~...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 44 Episodes
Comments