Mereka berdua masih menunggu di kantin dalam keheningan. Abi sibuk dengan gadgetnya, Dea hanya memandangi es nya yang sudah mencair dengan tatapan kosong. Dering ponsel Dea membangunkannya dari lamunan. Dilihatnya sebuah nama memanggil berkali-kali namun urung diangkatnya.
Abi menoleh ke arahnya, "Kok nggak diangkat?"
"Nggak papa." jawab Dea singkat lalu membalik layar ponselnya di atas meja.
Berdering lagi,
"Diangkat aja, cowoknya ya?" tanya Abi sekilas melihat sebuah nama dari layar ponsel Dea.
"MM,, bukan. Biarin aja." Dea tampak tidak nyaman.
"Dea udah punya cowok?" pertanyaan Abi membuat Dea terkejut dan menatapnya.
"Pernah, tapi udah berakhir." kata Dea menunduk
"Oh.. kenapa?" Abi mengulik.
"Mmm. Nggak papa." Dea menyeruput minuman dingin di depannya yang sudah tidak lagi manis.
"Eh, ini Nina udah sampe katanya." Abi membuka satu pesan dari Nina
"Oh ya? yuk" Dea segera beranjak lalu meraih map merahnya.
Mereka segera bertemu Nina di lantai 7 lalu menukar map merah mereka. Abi dan Dea pun segera menemui Pak Tatang yang sudah sedari tadi menunggu. Beruntung orang itu tidak masalah dangan keterlambatan mereka. Beberapa jam mereka berdua berdiskusi di ruangan pak Tatang. Abi nampak sangat lancar berbicara kepada Pak Tatang membuat Dea sangat terbantu. Pasalnya Dea masih terlalu polos dan belum begitu paham dengan maslah yang dia hadapi saat ini. Hingga sore hari mereka berdua masih sibuk berkoordinasi dengan pihak Bank.
Waktu menunjukkan pukul 5 sore, mereka berdua kembali ke lantai 10. Suasana kantor sudah mulai sepi karena beberapa karyawan sudah pulang, jam kerja mereka hanya sampai jam 4.30 sore. Abi Dan Dea kembali ke ruangan masing-masing. Di ruang staf admin hanya tersisa Dea dan Tia, beberapa marketing masih setia di kursi mereka bersenda gurau.
"Berarti saya masih harus nunggu ya kak?" tanya Dea kepada Tia di ruangannya
"Iya, ini gue mau ke Ruangannya Bu Maria dulu, habis itu kita selesaikan ini bareng-bareng." kata Tia lalu meninggalkan Dea menuju ruang Direktur.
Kesibukan hari ini membuat Dea sedikit pusing. Dea melangkah ke arah pantry berniat ingin menyeduh segelas teh panas sambil menikmati langit senja sambil menunggu Tia. Pantry adalah salah satu bagian favorit para karyawan karena di sana dinding kacanya besar dan bisa melihat luasnya kota Jakarta dari ketinggian. Ditambah lagi saat sore hari matahari mulai terbenam, cahayanya membuat lukisan yang sangat indah di langit.
Dea mengambil kursi, duduk menghadap jendela. Menikmati langit senja kota Jakarta yang sedang cerah ceria ditemani segelas teh panas. Aliran darah terasa kembali naik hingga ke ubun-ubun Dea. Dea menghela nafas panjang dan menghembuskan perlahan.
"Dea belum pulang," seorang laki-laki menyapanya.
"Belum pak..." Dea mengernyitkan keningnya karena merasa belum kenal.
"Jangan panggil pak, gue masih muda. Rian. Fajrian Alemzeroun." lelaki itu mengulurkan tangan mengajaknya berkenalan
"Iya kak Rian, lengkap banget kenalan namanya. Bagian apa ya kak?" tanya Dea menyambut salam hangat Rian.
"Operation, satu ruangan tadi sama Nina." jawab Rian mengambil bangku di sebelah Dea ,"Boleh ikut duduk di sini?" lanjut Rian
"Oh, yang kak Nina bilang katanya...."
"Masih jomblo. Hahaha." Rian memotong kata-kata Dea.
"Iya, he he maaf."
"Emang dasar tuh si Nina suka ngeledek. Kok belum pulang Dea?"
"Belum kak, masih harus nunggu kak Tia karna ada masalah customer tadi. Agak ribet." jelas Dea
"O iya, iya.. Dea suka duduk di pantry juga?"
"Iya, enak di sini bisa lihat pemandangan kota, sama liat sunset." Dea meluruskan pandangannya ke arah langit di depan matanya
"Cantik." kata Rian memandangi wajah gadis di depannya sambil tersenyum kecil.
"Iya, emang cantik banget langitnya." jawab Dea lugu menengok ke arahnya.
Rian segera memalingkan wajahnya ke arah jendela. Takut ketahuan kalau dia sedang mencuri-curi pandang pada gadis itu.
Rian, seorang kepala bagian Operation, sosok laki-laki menyenangkan. Baru saja kenal, mereka berdua cepat akrab, dan berbincang-bincang lumayan lama. Menghabiskan waktu senja dengan minuman masing-masing.
Pukul 7 malam. Sesekali Dea melirik ke ruangan Tia yang masih sibuk dengan komputernya. Matanya berkeliling, Hanya tersisa Mereka berdua, satu orang marketing dan OB yang sedang mulai beres-beres. Sudah berulang kali Dea menguap, lehernya terasa kaku, matanya pun mulai berat. Teleponnya berdering.
"De, tugas lo udah selesai nih, gue kirim email ke lo yah tolong dicek." kata Tia via telephone
"Oke kak, udah." jawab Dea
"Kalo udah lu klik approve yah. Terus habis itu lu langsung input malam ini juga."
"Iya kak, sebentar."
Dea menginput semua yang dia kerjakan malam ini juga seperti perintah Tia. Beberapa saat kemudian Tia kembali menanyakan kepada Dea
"Gimana Dea? Bisa nggak?" Tia menghampiri meja Dea
"Udah kak, alhamdulillah."
"Oke selesai. Udah malem, besok aja diprintnya yah. Lo pulang deh, kasian capek banget kan?" Tia menyuruh Dea pulang
"Kak Tia nggak pulang?" tanya Dea balik
"Ini gue juga mau balik, tapi gue mau ke ruangan finance dulu. Mau balik sama Sari."
"Oke kak, aku pulang duluan yah." Dea pamit setelah mematikan komputernya.
Semua ruangan sudah sepi. Dea melangkah sendiri ke arah lift.
"Sepi banget, baru pernah nih turun sendirian." Dea sedikit takut karena suasana kantor mulai gelap.
Pintu lift terbuka. Dea berharap ada seseorang menemaninya turun juga biar tidak terlalu takut. Dea masuk ke dalam lift, belum sempat tertutup seseorang masuk ke dalam lift. Dea sedikit terkejut. Abi rupanya. Mereka hanya saling tersenyum tanpa berkata.
Rasa canggung masih dirasakan Dea pada laki-laki ini. Mereka hanya berdua di dalam lift tanpa obrolan sama sekali. Sampai tiba-tiba lift berhenti di lantai 8. Pintu pun terbuka namun tidak ada siapapun yang masuk. Mereka melihat ruangan yang sudah gelap gulita. Keduanya berpandangan dengan mata curiga. Dea melangkahkan kakinya mundur karena merasa sedikit takut.
"Bisa-bisanya pintu terbuka sendiri di ruangan yang sudah tak ada lagi Cahaya, dan tidak ada seorangpun yang masuk" batin Dea dan dia pun merasa merinding.
Abi buru-buru menekan tombol lift agar pintu dapat tertutup. Belum sempat tertutup sempurna, lagi-lagi pintu terbuka dengan sendirinya tanpa ada siapapun yang masuk. Kali ini Dea benar-benar takut dan merapatkan diri ke arah Abi.
Abi mencoba bersikap tenang dengan menekan tombol penutup. Akhirnya pintu dapat tertutup.
"Kenapa? Takut yah?" Abi memberanikan diri menanyakan pada Dea
"Iya.. nggak ada yang masuk tapi pintunya kebuka terus."
"Sama, aku juga agak merinding."
Keduanya lalu tertawa bersama. Tawa mereka berhenti ketika tiba-tiba lift bergerak anjlok dari lantai 6 ke lantai 3. Dea spontan menjerit dan menggenggam lengan Abi. Abi menyambut tangan Dea mencoba menenangkannya.
Mereka berdua terjungkal ke lantai saat lift berhenti. Dea mencoba mengatur nafasnya yang ngos-ngosan. Abi memeriksa tombol lift yang menyala di tombol 3 dan 2 namun pintu tidak terbuka.
"Dea nggak apa-apa?" Abi membantu Dea berdiri
"Enggak.. Cuma syok aja." Dea merasa sangat deg-degan.
Ya, mereka terjebak di dalam lift.
"Liftnya macet." kata Abi berlagak tenang
"Ha?? macet gimana?" Dea panik
"Iya macet, gak bisa bergerak. Kita nggantung kayaknya, kemungkinan kita diantara lantai 2 dan 3." Abi mencoba menekan tombol emergency.
Dea sudah berkeringat dingin, tangan dan kakinya terasa dingin karena takut. Badannya gemetar.
"Aku coba minta bantuan yah, barangkali ada yang masih di kantor." Abi menyalakan ponselnya.
Beberapa nomor ia hubungi dan menjelaskan bahwa mereka terjebak di dalam lift. Sudah beberapa menit namun bantuan belum datang. Dea duduk bersandar pada dinding lift, tangannya melingkar pada kedua kakinya. Matanya sudah mulai berkaca. Jantungnya berdebar tidak beraturan. Abi melihat kepanikan dalam wajahnya, lalu ikut duduk di sebelahnya. Abi menggenggam tangan Dea yang dingin. Dea tidak jadi menangis ketika Abi menggenggam tangannya.
"Gak usah panik, bentar lagi kita keluar."
"Iya.. aku takut banget." Dea mengangguk cepat.
Pasrah. Begitulah kondisi mereka yang sudah sekitar 30menit terjebak di dalam lift. Mereka duduk selonjor di lantai sambil terus menghubungi bantuan. Dea melirik jam tangannya, sudah jam 9 malam tapi mereka belum juga keluar. Wajah keduanya sudah kusut, lelah, lapar, dan takut semua jadi satu. Berkali-kali Dea menutupi mulutnya saat menguap. Abi menyandarkan kepalanya di dinding, melirik ke arah Dea yang memejamkan mata.
"Dea ngantuk?" tanya Abi
"Iya mas, capek banget." Dea meluruskan kakinya di lantai
"Dea boleh kok sandaran di pundak." kata Abi membuat Dea kaget ,"Kalo ngantuk sandaran disini aja boleh." lanjut Abi menunjuk pundaknya.
"Kapan kita keluar yah? kok belum ada yang bantu." perlahan Dea menyandarkan kepalanya ke pundak Abi, bergumam dengan mata terpejam
"Kata satpam teknisinya udah mulai berusaha benerin. Semoga bisa cepet keluar yah, tunggu aja."
Meski Abi juga merasa sangat lelah tapi entah kenapa dia menyukai moment ini. Moment mereka begitu dekat tanpa canggung. Kapan lagi bisa sedekat ini. Setitik senyum terulas dari bibir Abi.
Dea mulai kepanasan. Begitu pun Abi, keringatnya mulai bercucuran membuat basah bajunya. Udara di dalam lift sudah semakin pengap. Dea mengipas kepalanya dengan telapak tangan. Hatinya semakin berdebar karena bantuan yang tak kunjung datang. Abi masih berusaha mengontak teman dan satpam untuk menanyakan perkembangan bantuan yang sudah berjalan. Terdengar suara memanggil dari luar. Dea sedikit mengeluarkan senyumnya lalu berdiri.
Tidak lama, pintu lift terbuka. Suara orang terdengar dari atas. Lantai kantor terlihat berada di bagian atas pintu lift. Benar saja mereka terjebak sebelum tepat di lantai 2. Teknisi dan satpam datang mengulurkan tangan ke arah keduanya. Dea dan Abi harus sedikit melompat agar bisa mencapai lantai kantor.
"Alhamdulillah.." beberapa orang satpam dan teknisi tampak menunggu mereka keluar dari lift.
"Ada yang luka nggak pak?" tanya seorang satpam
"Aman pak, makasih banyak ya pak." kata Abi dan Dea tersenyum.
"Untuk antisipasi lebih baik turun ke lantai 1 pake tangga darurat aja pak. Liftnya mau kita isolasi dulu. Lift yang lain pun kita tutup sementara." kata seorang teknisi.
Apa boleh buat, walaupun rasanya kaki sangat berat mereka harus turun lewat tangga darurat.
"Wow capek banget." kata Dea terengah dengan kaki yang masih gemetar.
"Dea kuat nggak turunnya?" kata Abi melihat Dea berpegangan di lengan tangga menggunakan kedua tangannya
"Kuat sih walopun masih gemetaran kakinya."
"Pengalaman banget ya malam ini."
"Pengalaman mengerikan. Hari yang melelahkan." jawab Dea tertawa kecil.
Masih ada perjalanan pulang dengan KRL yang harus mereka tempuh. Di dalam gerbong, Dea mencuri-curi kesempatan sesekali memandangi wajah Abi yang duduk di depannya. Sebenarnya hatinya selalu merasa galau setiap kali bertemu dengan lelaki ini. Tapi mengapa semakin Dea mencoba menghindar, kesempatan justru membawa mereka bertemu. Dan malam ini seolah benar-benar membuat hatinya kacau karena harus bersamanya dalam kondisi yang menegangkan.
Ponselnya berdering. Beberapa pesan belum terbaca dan seperti biasa, ia enggan membacanya. Dea memejamkan matanya, lelah yang teramat dirasa membuat kelopak matanya sangat berat.
Di saat Dea terpejam, Abi berbalik memandanginya. Ada rasa semakin tertarik untuk bisa lebih dekat dengannya. Sikap Dea yang seolah menjaga jarak membuat Abi semakin penasaran ingin dekat dengannya. Senyumnya mengembang menikmati cantiknya gadis berambut hitam yang kelelahan itu. Kemudian dia tertawa geli mengingat kejadian di dalam lift tadi.
***
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 70 Episodes
Comments
Ima Kristina
penasaran dengan sosok Abi ... ada hubungan apa sama mantan Dea
2024-11-01
1