Touch down

Sore yang amat ramai di terminal adalah pemandangan biasa setiap hari. Deretan bus-bus besar jurusan luar kota dan luar provinsi berjejer rapi siap berangkat. Suara para kondektur saling bersahutan memanggil calon penumpang mereka untuk segera menghampiri bus yang sudah mereka pesan. Satu-satu penumpang menghampiri dengan menggenggam karcis di tangan, mereka menaiki anak tangga bus antar kota antar provinsi.

Deru mesin bus mulai dinyalakan, asap kelabu dari knalpot mulai mengudara. Beberapa telah siap dibangkunya memangku tas-tas besar, membawa anak-anak, memasang headset di kuping kanan dan kiri, dan ada pula yang memasang kacamata hitam untuk mengelabui mata basahnya. Pedagang cangcimen mulai mengasongkan dagangan, ikut masuk ketika supir sudah duduk di singgasananya.

Pria berseragam biru berdiri di pintu, memanggil untuk yang terakhir kalinya pada mereka yang belum masuk ke dalam kotak panjang beroda itu. Tak lama, seorang gadis dengan satu ransel di punggungnya dan satu tas besar di tangannya naik sebagai penumpang terakhir. Wajahnya menengok ke kanan dan kiri, melihat di mana kursi yang bernomor seperti yang tercatat di dalam karcisnya.

Ada di baris tengah sana, di sisi jendela kaca, sebuah bangku kosong belum berpunya. Dengan beban berat di kedua tangan, ia melangkah menuju kursinya. Di bantu oleh kondektur, tas besarnya ia taruh di atas kabin bus di atas kepalanya.

Suara peluit panjang terdengar sebagai penanda diberangkatkannya beberapa bus yang sudah nge-tem beberapa lama itu. Bus mulai melaju perlahan keluar dari terminal Kota P. Gadis itu terus memandang keluar jendela sejak pertama kali ia menempelkan badannya di kursi sempit itu. Wajahnya, seperti memikirkan beban berat. Tangannya saling mencubit jari jemarinya sendiri.

Bus semakin berjalan jauh meninggalkan kota, Dea, nama panggilannya, tiba-tiba meneteskan air mata. Dan semakin deras air meleleh di kedua pipinya tatkala langit berubah warna dari oranye menjadi kelabu. Kedua tangannya menutupi wajahnya, menahan bibir agar tidak bersuara. Takut mengundang perhatian penumpang lain kalau-kalau mereka dengar dia sedang menangis. Pelan-pelan diusapnya sendiri air-air yang terlanjur melewati dagunya.

Ponselnya dalam nada sunyi bergetar, tampak sebuah chat dari sang ibu ia abaikan. Lalu mati, berganti getar sebagai notifikasi beberapa chat masuk. Pun dari ibunya. Dea membuka chat yang menumpuk itu, membacanya seksama satu persatu. Lalu kembali menangis. Tak ingin banyak mata curiga, Dea menutup wajahnya dengan jaket yang ia kenakan lalu memejamkan kedua kelopak matanya.

Tidak, kali ini dia tidak lagi minggat dari rumah seperti kejadian sebulan yang lalu. Kepergiannya sudah atas izin dari kedua orangtuanya meski terpaksa.

Bus berhenti di sebuah rest area yang memang tempat wajib untuk disinggahi para bus-bus antar provinsi. Beberapa penumpang turun untuk sekedar meluruskan punggung mereka atau untuk numpang buang air, ngopi, hingga makan. Dea terbangun merasa lapar. Setelah mengantri toilet, Dea membeli sewadah mie instan cup sebagai penghangat perutnya yang terlalu dingin terkena AC di dalam bus. Wajahnya tegang karena baru pertama kali ini dia pergi jauh sendirian dengan menggunakan bus malam.

Setelah menghabiskan makanannya, Dea kembali naik ke dalam bus. Duduk memandang sayu pada orang-orang di luar bus yang terburu-buru masuk. Sopir sudah bersiap dan menutup pintu. Kondektur memberi aba-aba untuk persiapan keberangkatan. Mesin mulai dinyalakan, Dea berdoa dalam hati. Dea menaikkan resleting jaketnya dan bersiap memejamkan mata yang sudah perih akibat menangis semalam. AC bus malam berhembus cukup kencang membuat para penumpang mengenggelamkan wajah mereka pada jaket, sarung, bahkan selimut.

Terasa sangat lama, Dea memandang jalanan di malam hari. Sunyi sekali. Beberapa kali ia menengok jam di tangan berharap perjalanan ini tidak cepat berhenti. Dea suka menikmati suasana perjalanan dari dalam bus. Tenang, gelap, dingin, membuat hatinya banyak berpikir.

"Mimpikah aku senekad ini pergi sendirian?" bisiknya dalam hati sedari sore tadi.

Ponselnya kembali bergetar. Kali ini chat dari seseorang yang pernah ia cintai. Namun chat itu ia abaikan. Lama kelamaan rasa kantuknya menyerang. Dea menyandarkan kepalanya ke kaca jendela dan terlelap.

Suara kondektur membangunkannya dan para penumpang lain. Rupanya bus sudah sampai di tujuan akhir, Kampung Rambutan. Dea menggendong ranselnya dan meraih tas jinjingnya dari kabin bus. Tangannya merogoh ponsel pada goodie bag berwarna hitam miliknya. Satu langkah menuruni bus besar itu, Dea sudah mendengar bisingnya deru mesin, klakson di sana sini dan teriakan para supir ojek dan angkot yang kadang memaksa untuk ditumpangi.

"Cin, aku sudah turun dari bus nih, kamu di mana?" suara Dea lirih melakukan panggilan dengan sahabatnya, Cindy.

"Gue ada di seberang, nih gue udah liat lo," Jawab gadis itu lalu melambaikan tangannya ke arah Dea

Dea berjalan melewati bahu-bahu kekar yang berbau asap menghampiri sahabatnya yang sudah lebih dulu sampai di terminal menunggu kedatangannya. Cindy bersandar pada sepeda motornya berwarna putih dan tersenyum menyambut Dea. Mereka pun langsung melaju dengan sepeda motor matic milik Cindy menuju kediaman Cindy.

Cindy Paramita Ayu, adalah sahabatnya sejak jaman putih abu-abu yang kuliah di Jakarta. Dia menerima pesan bahwa sahabatnya ini berniat pergi seorang diri ke Jakarta untuk mengadu nasib. Ini adalah perjalanan pertama Dea pergi seorang diri ke kota besar seperti Jakarta. Bermodalkan nekad dan koneksi orang terdekat, Dea berhasil sampai dengan selamat.

"Welcome Jakarta, inilah kamar kost gue, kamar mandi ada di dalam jadi lo bisa leluasa mau mandi atau ngapain kapan aja, hehe." kata Cindy membuka pintu kamar kostnya setelah mereka sampai dan memarkir sepeda motornya kembali di garasi.

"Waw, si anak Jakarta ngomongnya udah lu gue aja." jawab Dea lugu mendengar sahabat satu kotanya dulu sudah berubah gaya bahasanya.

"Yalaah, gue udah 5 tahun lebih tinggal di sini jadi wajib beradaptasi. Jadi, gimana first time nyampe Jakarta?" kata Cindy melepas jaket dan kaus kakinya lalu berganti pakaian tidurnya kembali.

"Capek!!! Karna aku baru nyampe pas udah malem begini jadi belum bisa kasih review. Sejauh ini sih, emm Jakarta itu wow banget.. hehe." Dea melepas jaket dan kaus kakinya yang sudah lepek karena 8 jam perjalanan di dalam bus malam.

"Oke deh, ini masih jam 3 gue mau tidur lagi. Lo ganggu jam tidur nyaman gue." Cindy menarik selimutnya menutupi sebagian tubuh rampingnya "Besok gue ada bimbingan jadi gue gak mau kesiangan, lo kalo mau bersih-bersih pake sabun gue dulu boleh tapi jangan banyak-banyak ya... bye!" lanjutnya menutup seluruh tubuhnya dengan selimut.

"Siap boss... thanks yaa.." Dea tersenyum melihat sahabatnya berbicara sambil terpejam

"hmm.."

Setelah selesai bersih-bersih badan, Dea duduk memandangi seisi kamar sahabatnya yang super rapih dan wangi. Inhale, exhale, Dea meraih handphonenya dan membuka beberapa chat yang belum sempat ia buka. Dea membaca kemali beberapa pesan yang ia terima dari ibunya. Jarinya menari, mengetik beberapa kata yang panjang sebagai balasan untuk ibunya yang sudah beberapa kali mencoba menelephone tapi tak terjawab. Selanjutnya Dea membuka chat dari seseorang Bernama "Rey". Matanya berkaca saat membaca. Selesai, alalu ia tutup handphonenya kembali.

Dea merebahkan tubuhnya di samping Cindy, menatap langit-langit. Tapi rupanya dia tidak bisa tidur senyenyak Cindy. Dilihat jam di handphonenya menunjukkan jam 4 pagi.

"Tanggung ah bentar lagi subuh, tidurnya nanti habis subuh sekalian aja." gumamnya dalam hati

Ia pun kembali beranjak. Membuka tas ranselnya dan mengeluarkan beberapa barang pribadi untuk diletakkan di meja. Selesai sholat subuh, Dea pun menuruti keinginan badannya yang ingin segera beristirahat. Rasa kaku di pundaknya sangat terasa. Lelah rasanya semalaman menahan diri duduk di kursi sempit di dalam bus.

***

HAPPY READING

Terpopuler

Comments

Ima Kristina

Ima Kristina

masih nyimak teyusss

2024-10-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!