Keisengan Mawar

Lebih dari sebulan dalam masa pengawasan sekolah, selama itu pula Mawar terus mencari sosok Baron Martin, nama yang menjadi kunci di balik peristiwa kelam yang dialaminya. Namun, hasilnya masih nihil, tidak ada secuil pun informasi yang berhasil didapatkannya.  

Mawar melalui setiap hari dengan ketidakpastian yang menyelimuti harinya. Bayangan misterius Baron Martin dan para pembunuhnya masih belum menemukan titik terang keberadaannya. Kekosongan informasi membuatnya merasa terjebak dalam teka-teki yang sulit dipecahkan. Setiap upaya mencari jejak Baron Martin selalu menemui jalan buntu, meninggalkan Mawar dalam kegelapan yang mencekam.

Jam menunjukkan pukul 11 malam, tatkala Mawar begitu lelah menelusuri informasi tentang Baron Martin. Matanya perih, pundaknya pegal, dan mulutnya kering setelah berjam-jam memandangi monitor. Ia pun memutuskan untuk mengakhiri pencarian berjalan keluar rumah menghampiri Paijo yang tengah berjaga di pos satpam.

Embusan angin malam menerpa tubuh gadis pemilik tubuh indah, memahat sempurna lekuk-lekuk keindahan sang dewi. Dalam balutan daster mini yang terhampar di atas tubuhnya, dan tanpa sehelai kain penyangga melon indah di dalamnya, Mawar terlihat seperti bidadari bercahayakan bintang-bintang.

Langkahnya ringan nyaris tanpa suara, melengkapi keheningan yang membuat Paijo tak menyadari kehadiran bidadari di belakangnya. Ia sibuk menyaksikan adegan indah yang seirama dengan erangan kenikmatan di layar ponselnya. 

“Jangan keseringan nonton film dewasa, Pak!” Suara lembut penuh penekanan merayap ke dalam indra pendengaran sang penjaga rumah.

Paijo tercenung, terpaku setelah menyadari bahwa kegiatan yang seharusnya tersembunyi telah terbongkar. Tubuhnya membeku, lehernya kaku, dan kerongkongannya mendadak terasa kering. Bahkan, ponsel yang masih setia memutar film terlarang pun tidak dapat menyingkirkan ketidaknyamanan yang menjalar di sekujur tubuhnya.

“Tak perlu gugup begitu, bukankah film dewasa disukai laki-laki?” imbuh Mawar seraya mengusap tengkuk Paijo yang bermandikan keringat dingin.

Sentuhan lembut jemari lentik Mawar membuat aliran darah Paijo kembali normal. Namun bagi Paijo, sentuhan Mawar terasa seperti sentuhan kematian.

Sang penjaga rumah itu pun memutar kursi dan menolehkan wajahnya. Namun, ketika matanya bersua dengan pandangan tajam Mawar, ia merasa seakan terseret ke dalam lorong kegelapan yang tak berujung. Wajah pucat dan tatapan dingin Mawar bagai bayangan malam yang mengerikan.

“No … na … Nona, ampuni saya!” Suara Paijo tersendat, wajahnya tertunduk lemas, tak sanggup menatap Mawar yang seakan menjadi sosok kejam dengan aura yang menakutkan.

“Apa aku terlihat seperti hantu?” tanya Mawar dengan suara dingin.

“Lebih seram dari hantu,” jawab Paijo, jujur. Ia masih belum berani mendongakkan wajahnya.

“Baiklah, aku akan menutup wajahku,” kata Mawar sambil menyibakkan rambut panjangnya ke depan, menutupi wajahnya.

“Sudah kututup, Pak. Semoga Bapak tidak takut lagi melihatku,” kata Mawar mengisyaratkan Paijo untuk mendongakkan wajah.

Begitu Paijo mendongakkan wajah, ia melihat Mawar seperti kuntilanak yang tidak memiliki wajah, tertutupi oleh rambut panjang yang tergerai. Terperanjat dengan tubuh yang menggigil, Paijo lalu berdoa sebisanya dengan keras.

“Ya Tuhan ... aku janji tidak akan nonton film busuk ini lagi. Tolong singkirkan hantu ini dariku, Tuhan …!” teriak Paijo membaca doa.

“Kalau ceweknya cantik, dadanya besar, kulitnya mulus, yakin gak mau ditonton?” goda Mawar.

Paijo diam, tetapi pikirannya berjingkrak gembira. Walau masih digelayuti ketakutan, ia berkata, “A … aku tonton, tapi nanti aku tobat lagi, aku janji!”

“Cih, gak tau malu!” geram Mawar dalam hati.

“Kenapa hanya ditonton kalau ceweknya bisa dipegang?” Mawar kembali menggodanya.

“Benarkah?” Paijo menjadi bersemangat.

“Ya. Bukankah Bapak ingin menyentuhku?” Mawar mengarahkan sebelah kakinya dekat di depan wajah Paijo.

“Nona … betulkah?” Paijo masih ragu.

“Angkat wajah Bapak, lalu lihat apa yang ada di hadapan Bapak!”

Paijo menatap kaki jenjang Mawar dari betis menaik ke paha. Berkali-kali ia menelan saliva melihat kemulusan kulit sang gadis di depannya. Namun, begitu wajah Mawar didekatkan tepat di wajah Paijo, bola mata Paijo hampir lepas dari tempatnya. Apa yang dilihat Paijo adalah wajah yang dipenuhi luka membusuk dan mata yang meneteskan darah kental.

Keheningan terhenti sesaat, dan kepanikan mencengkram sanubari hingga akhirnya Paijo ambruk tak sadarkan diri. 

Mawar menggeleng-gelengkan kepala melihatnya. Ia kemudian menulis catatan di buku laporan sang penjaga rumah dan mengganti tayangan film dewasa yang masih berputar dengan film kartun. Setelahnya, ia pun kembali masuk ke dalam rumah sambil menyeringai sinis.

...****************...

Malam semakin larut dan angin semakin kencang berembus. Mawar yang belum bertemu kantuk memutuskan untuk duduk di teras luar kamarnya. Pandangannya menyapu area kompleks yang begitu hening hingga berhenti pada sosok pria yang sedang mendorong motor bersama dengan seorang perempuan yang berjalan di belakangnya.

“Bukankah cewek itu Violetta? Lalu, siapa cowok di depannya? Ah, mungkin saja pacarnya!” Mawar menyipitkan mata memastikan sosok cewek yang dilihatnya memang benar gadis yang dikenalnya.

“Jahil sedikit sepertinya seru,” gumam Mawar memikirkannya.

Sang gadis bernama Violetta itu terlihat terus menekuk wajahnya dengan sesekali menendang batu kerikil di depannya, sementara si cowok tampak kelelahan mendorong motornya yang mogok.

“Vio, lu marah?” tanya si cowok merasa bersalah.

“Nggak, Vino. Ngapain gue marah sama lu?” Violetta berkata tanpa menunjukkan kekesalannya karena harus berjalan mengikuti Vino.

Cowok bernama Vino itu tertawa-tawa, merasa lucu dengan suara Violetta yang terdengar menggemaskan.

“Dih, ngapain lu ketawa? Nggak lucu!” hardik Violetta merasa geram ditertawakan oleh Vino.

Tawa Vino seketika memudar. “Iya deh, iya. Maafin gue, Vio!”

Vino menolehkan pandangan ke arah Violetta yang masih tertekuk wajahnya.

“Nggak usah liatin gue, terus aja jalan!” ketus Violetta merasa tidak nyaman dilihat Vino.

Vino menurut dan kembali mendorong motornya.

“Kita mau ngapain sih di kompleks sepi gini? Mana udah larut begini, gue bisa diomelin habis-habisan sama nyokap dan bokap gue,” kata Violetta menyesali ikut dengan Vino.

“Katanya lu lagi pengen, ya gue bawa ke sini dong.” Vino mengangkat alisnya dan tersenyum mengingat tujuannya yang ingin bersenang-senang bersama kekasihnya.

“Enak aja lu. Kapan gue ngomong gitu?” sanggah Violetta dengan kesal.

Vino cengengesan mendengarnya. Ia kemudian menghentikan langkah dan memarkirkan motornya.

“Apa? Kenapa berhenti?’ tanya Violetta dengan tatapan heran.

“Kita udah sampai.” Vino menggenggam tangan Violetta dan memiringkan kepala mengintip wajah Violetta yang tertekuk.

“Di mana? Jangan lu bilang kita akan melakukannya di jalan.” Violetta memutar kepala memperhatikan kondisi sekitar.

“Lu mau kita ditangkap satpam? Ya nggak di sini juga, Violetta van Tjoeran,” balas Vino.

“Terus di mana?” 

“Di dalam rumah itu.” Vino menunjuk rumah besar di dekatnya.

"Jadi itu rumah tante lu?"

Violetta mengerutkan kening melihat rumah besar yang begitu gelap tanpa adanya pencahayaan.

“Lu nggak waras ngajak gue ke rumah angker gitu. Gue gak mau masuk!” tegas Violetta menolaknya.

Vino mendengus kesal. “Tinggal nyalain lampu dan lu nggak akan merasa takut.”

“Terserah.” Violetta akhirnya mau juga masuk ke dalam rumah.

Mawar yang terus memperhatikan tampak curiga melihat gelagat yang ditunjukkan oleh keduanya.

“Mau enak-enak ya kalian,” gumam Mawar menduganya.

Terlihat Violetta memasuki rumah dengan takut-takut di belakang punggung Vino. Tak lama kemudian, lampu rumah tersebut menyala. 

Mawar yang dari kejauhan memperhatikan mulai menjalankan aksinya dengan merapalkan mantra dan membuat sihir yang hanya diketahui olehnya.

Di dalam rumah, Vino begitu asyik mencumbu Violetta dengan ganas di atas sofa empuk, menciptakan suasana panas dan menggebu di antara kedua insan yang memadu kasih. 

Tiba-tiba saja semerbak aroma mawar tercium begitu menyengat, Violetta dan Vino tak mempermasalahkannya, mereka  semakin meningkatkan intensitas permainan hingga tanpa sadar, suasana terang berubah gelap.

“Vin, sudah dulu! Listriknya mati,” ucap Violetta sambil mendorong tubuh Vino ke samping. Namun nahas, kedua onderdil yang bersatu tak dapat dilepaskan.

“Vin, cabut punya lu!” Violetta kesal melihat Vino masih membenamkan rudalnya.

“Udah gue tarik,” kata Vino, “coba lu bantu juga.”

“Gimana gue bisa bantu kalau posisi gue ditindih sama lu?” kilah Violetta yang terjepit tubuh Vino.

“Vin, gue takut.” Alih-alih melepaskan diri, Violetta malah mendekap erat tubuh Vino.

Brak!

“Haa!” jerit Violetta begitu mendengar suara benda jatuh.

“Sakit telinga gue, bisa diem ga sih, lu!?” bentak Vino lebih kaget mendengar jeritan gadis di bawahnya daripada suara benda yang terjatuh.

“Ma … maaf,” desis Violetta seraya menyembunyikan wajahnya di dada Vino.

“Hi-hi-hi!” cekikik nyaring menggema di udara.

Berdiri bulu kuduk Violetta dan Vino mendengarnya. Keduanya tidak tahu harus berbuat apa dengan kondisi tubuh yang tak bisa dilepas.

Vino yang merinding ketakutan dibuat heran dengan Violetta yang tak lagi bersuara.

“Vio, hei … bangun, lu! Jangan tidur!” protes Vino sambil menepuk wajah Violetta.

Terpopuler

Comments

Claudia Jung 🐻🐰

Claudia Jung 🐻🐰

Aduh, bahaya nih. Bahaya!

2024-01-17

1

Claudia Jung 🐻🐰

Claudia Jung 🐻🐰

Eh Tong, lu masih sekolah Yee?
Jangan macam-macam, Nak. Aku peringatkan!

2024-01-17

1

Claudia Jung 🐻🐰

Claudia Jung 🐻🐰

Tapi habis tobat gitu lagi, nanti tobat lagi. Siklusnya gitu terus ya, Pak. Mantap sekali pak Paijo ini

2024-01-17

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!