Rumah

Tiba di depan gerbang rumah besar dan megah yang sejatinya adalah tempat tinggalnya, Mawar terpaku pada cahaya yang bersinar di salah satu sudut ruangan. Ia menyadari rumahnya yang seharusnya kosong, kini telah ditempati oleh orang lain. 

“Siapa yang berani menempati rumahku?” bisiknya dengan dengan seringai sinis; matanya terus membidik ke arah ruangan yang menyala.

Mawar mengalihkan pandangan ke pria di sampingnya yang terdiam membisu dengan tatapan kosong. Mawar tersenyum simpul dan berkata, “Setelah aku turun, Abang pergi ke arah selatan dari gerbang kompleks sampai Abang menemukan jembatan. Tabraklah pembatasnya dengan kecepatan penuh, dan … selamat tinggal, Abang.”

“Baik, Neng,” jawab si pria dengan wajah tanpa ekspresi.

Setelah itu, Mawar turun dengan langkah pelan dan berdiri di tengah gerbang dengan pandangan tajam menatap kamera CCTV yang mengarah tepat ke arahnya. Cahaya kebiruan dari layar monitor seolah menyaksikan setiap gerakannya, dan seorang satpam berpakaian serba hitam berlari ke arah gerbang dengan wajah garang yang dibuat-buat untuk menakuti. 

“Hei, Gembel! Ngapain lu berdiri di gerbang? Pergi sana!” tegur si satpam sambil mengibaskan tangan mengusirnya.

Mawar tetap bergeming, membiarkan kata-kata kasar itu merayap di telinganya, sementara matanya terus menatap tajam ke arah kamera CCTV, seolah tak terpengaruh oleh peringatan satpam. Hal itu membuat satpam bertubuh kekar itu menjadi murka.

“Brengsek! Pergi atau gue pukul!” bentak si satpam mulai emosi.

Mendengar kemarahan si satpam, Mawar pun mengalihkan pandangan menatap pria kekar bertubuh gelap itu dengan sorot mata yang tajam. Deg! Wajah Mawar yang pucat dan tatapan dinginnya membuat suasana menjadi mencekam seketika. Tubuh satpam terasa beku, seolah ia sedang melihat hantu yang begitu menyeramkan.

“Siapa yang menempati rumah ini?” tanya Mawar dengan suara dingin.

“Tuan Alexander,” jawab satpam lugas, namun raut wajahnya tampak diselimuti ketakutan.

“Siapa dia?” Mawar kembali bertanya dengan sorot mata yang tajam.

“Bosku,” jawab si satpam seadanya.

“Bodoh! Bukan itu maksud yang aku tanyakan.” 

“Maaf, saya tidak begitu mengetahuinya.”

“Bawa aku masuk!”

“Ba … Baik.”

Belum lagi keduanya benar-benar melangkah masuk, seorang pria berperut buncit tiba-tiba muncul di ambang pintu. Matanya menyipit heran melihat penjaga rumah datang dengan tergesa-gesa, membawa seorang gadis berpakaian aneh.

“Siapa gadis yang kaubawa?” tanya si buncit dengan rasa ingin tahu.

“Seharusnya aku yang tanya, siapa Anda? Apa hak Anda menempati rumahku?” tanya balik Mawar dengan suara yang dingin.

Pria buncit bernama Alexander itu tanpa ragu mendekati Mawar, pandangannya menelisik seluruh tubuh sang gadis sambil mengapit dagu dengan penuh kesan meragukan.

“Apakah kau yang bernama Mawar Merah, anak yang tega membunuh kedua orang tuanya demi mewarisi seluruh kekayaan?”

“Aku tidak perlu membunuh kedua orang tuaku hanya demi harta. Kau berkata tanpa logika … dungu!”

“Berani kau menghinaku!”

“Apakah Anda memiliki ikatan dengan para pembunuh keluargaku?” tanya Mawar dengan mempertahankan sikapnya meskipun ia begitu marah mendengar fitnah yang dilayangkan kepada dirinya.

Alexander terkekeh mengejek, lalu tanpa ampun mencekik leher Mawar hingga kulit sang gadis memucat seputih kapas. Namun, yang tidak disadari Alexander, Mawar tidak merasakan sakit apa pun; matanya tampak beku tanpa ekspresi.

“Mati saja kau!” seru Alexander dengan marah, sambil mengencangkan cekikannya. 

Mawar hanya tersenyum dingin, sementara cahaya misterius memancar dari ujung jarinya. Dalam keadaan tercekik, Mawar dengan perlahan mengangkat tangan kanannya, dan jemari lentiknya memancarkan hawa dingin yang merayap menembus tulang hingga terdengar suara yang memilukan dari tulang yang retak. Suara retakan dan teriakan pilu tercampur, menciptakan harmoni kepedihan yang mencekam.

“Di mana kesombonganmu yang tadi, Tuan?” sindir Mawar dengan suara rendah yang menusuk jiwa.

Alexander meringis pilu, merasakan tulangnya remuk. Matanya melotot hampir keluar dari tempatnya, dan napasnya kembang kempis begitu kesulitan. Sementara sang penjaga rumah membeku di tempatnya, terbelalak menyaksikan kejadian tragis yang terbentang di hadapannya, seperti menyaksikan pemandangan mengerikan dari alam bawah sadar.

Dalam posisi yang mendominasi, Mawar tiba-tiba merasakan sesuatu menempel pada bagian belakang kepalanya. Senyuman sinis melintas di wajahnya saat menyadari bahwa seseorang tengah mengacungkan pistol, mengancamnya dengan suara yang penuh tekanan.

“Lepaskan ayahku atau kutembak kepalamu!” desis ancaman seseorang dengan nada rendah.

“Tembak saja, aku atau kau yang mati?” Tantang Mawar terdengar serius, mengisi udara dengan ketegangan.

Mendengar tantangan itu, sang pria tidak ragu lagi. Ia menarik pelatuk, dan duar …. Suara letusan pistol merobek hening. Namun nahas, peluru yang meluncur seolah menembus kepala Mawar dan melesat tepat ke arah Alexander yang langsung ambruk dengan kening tertembus peluru. Lalu, dengan gerakan cepat, Mawar membalikkan badan dan langsung menarik tangan si pria yang memegangi pistol hingga ujung pistol tersebut mengarah tepat di antara kedua alis sang pria.

“Jangan biarkan ayahmu mati sendirian. Tekan pelatuknya, Tampan!” perintah Mawar dengan dingin.

Si pria yang masih muda, usianya sekitar 20-an tahun itu mengangguk patuh, lalu menembak kepalanya sendiri. Suara letusan kedua dari pistol menciptakan dentuman yang meresap ke dalam suasana yang mencekam. Pria muda itu pun mati menyusul ayahnya.

Mawar mengalihkan pandangannya ke arah penjaga rumah yang entah dari kapan sudah berlutut dengan tubuh terus bergetar. 

“Apa Anda juga mau menyusul kedua tuanmu itu?” tanya Mawar, suaranya penuh intimidasi.

“Jangan bunuh saya, Nona. Saya akan melakukan apa pun untukmu, Nona … tolong!” kata si penjaga dengan rasa takut yang membuncah.

Mawar tersenyum dingin, menatapnya dengan tatapan penuh ancaman.

“Baiklah, aku tidak akan membunuhmu selama kau menuruti semua perintahku.”

“Te … terima kasih, Nona. Saya akan menuruti semuanya tanpa terkecuali.”

“Aku pegang kata-katamu. Siapa namamu?”

“Sa-saya Paijo Icikiwir, Nona.”

“Bakar kedua jasad tuanmu di halaman belakang hingga tak bersisa!”

Paijo mengangguk dan segera melaksanakan perintah pertama dari Mawar. Sementara Mawar sendiri langsung melangkah masuk menuju kamarnya yang berada di lantai dua. 

Begitu berada di undakan tangga terakhir, Mawar memandang turun sambil melihat Paijo yang tengah menjalankan perintahnya. Pemandangan kelam yang terasa seperti dipeluk oleh bayangan tak terlihat. 

Dua sosok yang telah mengembuskan napas terakhir mereka dengan cara yang mengerikan terlihat seperti menyimpan kengerian yang tak terlukiskan. Mata kedua mayat itu membelalak hampa, merayap dalam kekosongan yang ditinggalkan oleh jiwa yang melarikan diri. Sang rembulan pun dengan hati-hati melemparkan sinarnya melalui celah-celah tirai gorden yang memayungi suasana kelam.

Mawar melanjutkan kembali langkahnya memasuki kamar yang biasa ditempatinya dengan langkah yang jauh berbeda dari sebelumnya yang biasanya ceria ketika memasuki kamar, sekarang ia melangkah dengan wajah tanpa ekspresi dan begitu datar. 

Malam semakin kelam, angin luar menyeruak masuk ke dalam rumah, membuat malu keberadaan AC yang terus menyala, dan rembulan …, ia semakin merunduk di balik awan. 

Terpopuler

Comments

Nurma Yani

Nurma Yani

🥰 mampir thor

2024-05-04

0

Lea_Rouzza

Lea_Rouzza

guiiilaaaakkk kereeennnn tooorr,,,pamiitt,,iziinn mmpir ,,mlipiirr tor

2024-03-05

1

Mimik Pribadi

Mimik Pribadi

Selamat kau icikiwir,,,siap2 aja dngn perintah Boz barumu selanjutnya,bru ketemu udh dibikin sport jantung,,,,

2024-02-19

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!