Target Berikutnya

Pagi hari, kegemparan melanda seantero kota ketika dua jenazah pria, seorang ayah dan anak ditemukan tewas di dalam rumah mereka. Kondisi wajah keduanya sangat mengenaskan, menampakkan tanda-tanda kekerasan yang tak lazim. 

Lebih mencengangkan lagi, kejadian ini menjadi pusat kegemparan setelah dua gadis yang diduga sebagai pelaku pembunuhan tersebut ditangkap oleh pihak berwajib. Namun, yang membuat keadaan semakin mencekam adalah fakta bahwa kedua gadis tersebut diduga sebagai kanibal ketika pertama kali ditemukan oleh warga sekitar yang menyaksikan keduanya dalam kondisi sedang asyik menggerogoti wajah dari kedua korban.

Berita mengenai pembunuhan mengerikan dan aksi kanibalisme yang melibatkan kedua gadis tersebut segera merambah ke seluruh lapisan masyarakat, memicu berbagai reaksi yang tak terduga.

Media sosial menjadi sorotan utama, di mana berbagai komentar dan pendapat tersebar luas. Sebagian besar masyarakat terkejut dan terus membagikan berita tersebut, mengekspresikan ketidakpercayaan mereka terhadap kejadian langka yang mengusik siapa pun.

***

Dalam mobil yang melaju menuju sekolah, Paijo mencoba memecahkan keheningan dengan membuka percakapan.

“Nona Mawar sudah tau kabar yang sedang viral?” tanya Paijo, mata setengah memandang ke arah Mawar yang duduk di sampingnya.

“Belum,” jawab Mawar tanpa terlalu banyak ekspresi di wajahnya.

“Ada kanibal di kota kita, Non!” seru Paijo, mencoba menambahkan sedikit gejolak dalam perbincangan.

Mawar mengerutkan keningnya, seolah-olah memberikan sinyal bahwa berita tersebut menarik perhatiannya.

“Betulkah?” tanyanya sambil menoleh ke arah Paijo, menunjukkan keingintahuannya.

Paijo dengan semangat mulai menceritakan detail kejadian yang ia dapatkan dari media sosial miliknya. Mawar, sambil tetap memandang ke luar jendela, terus mengangguk setiap kali Paijo menyampaikan informasi baru. Perjalanan pun dipenuhi oleh suasana yang hidup hingga setibanya di depan gerbang sekolah.

Sinar mentari menyelimuti bangunan sekolah yang terlihat semakin jelas kekumuhannya, mempertegas bangunan yang tidak terurus dengan baik. Mawar turun dari mobil dengan pandangan datar seperti biasanya, berjalan memasuki kelas yang terdengar ramai, tanda pelajaran masih belum dimulai pada waktunya.

Di dalam ruang kelas yang biasanya penuh keceriaan dan obrolan ringan para siswa, kini berpusat pada kasus viral yang tengah terjadi. 

“Dengar, dengar! Apakah kalian percaya kalau kedua korban itu adalah Brama dan ayahnya?” kata seorang siswi berhijab sambil menatap layar ponsel dengan ekspresi serius.

Suasana kelas berubah menjadi tegang, para siswa serentak melirik ke arah gadis yang masih serius membaca berita di ponselnya.

“Dari lokasi kejadian dan ciri-ciri fisiknya mengarah ke Brama,” imbuh si gadis menginformasikan.

“Bukankah kemarin sore, Brama membawa Mawar ke rumahnya?” celetuk seorang siswa yang duduk di tengah.

Sontak saja semua mata berpaling ke arah Mawar dengan tatapan penuh curiga.

“Aku memang ke rumahnya, tapi hanya sebentar. Mengapa kalian menatapku seperti aku pelakunya?” sanggah Mawar mempertanyakan.

Tidak ada yang berani menimpalinya. Semua murid langsung kembali menoleh ke arah si gadis berhijab. Sementara itu, Violetta van Tjoeran yang duduk di sisi Mawar tampak menggigil ketakutan, membisu tanpa sekalipun melirik teman sebangkunya.

“Apa kau juga mencurigaiku?” tanya Mawar tanpa menoleh.

Violetta menelan saliva dengan kasar, lalu menjawab, “Pelakunya sudah diketahui dan ditangkap, bagaimana bisa aku mencurigaimu?”

Mawar meliriknya dengan sorot mata yang tajam, membuat Violetta merasa waktu seakan berjalan lambat untuknya. Dia baru merasa lega ketika bel tanda sekolah usai berbunyi. 

Hari masih siang ketika semua siswa keluar dari dalam kelas. Bel sekolah sengaja dibunyikan sebelum waktunya karena para guru mengadakan rapat dadakan setelah mendapatkan konfirmasi bahwa salah satu siswa yang bernama Brama merupakan korban dari tragedi nahas yang tengah viral itu. 

Mawar bersama siswa lainnya bergegas meninggalkan sekolah. Langkahnya terhenti tiba-tiba oleh suara klakson motor yang menusuk keramaian. Motor dua tak meluncur mendekatinya, dan seorang siswa bergaya urakan tersenyum lebar seraya berkata, “Lu Mawar, kan? Boleh gue anterin lu pulang?”

Mawar menggeleng dengan tegas, melanjutkan langkap tanpa menoleh. Namun, si pria urakan itu tak mengendurkan semangatnya. Ia turun dari motor lalu menyusul Mawar sambil membujuknya.

“Jangan cuek gitu dong. Gue temenin lu jalan, ya,” pintanya dengan ekspresi penuh percaya diri.

Mawar tidak mengindahkannya. Ia terus melangkah ke arah halte. Si pria tidak menyerah begitu saja, ia pun terus mengikuti Mawar sambil mendorong motornya.

“Gue Irvan dari kelas IPS.” Irvan mengulurkan tangan kanan.

Mawar, seperti biasa tidak menanggapinya. Ia duduk di kursi halte bersama murid lainnya. Si pria tiba-tiba berjongkok di depan Mawar lalu berkata, “Gue suka lu, lu mau kan, jadi pacar gue?”

Sontak saja semua orang yang berada di halte langsung riuh dan berseru, “Terima … terima … terima!”

Mawar berdiri lalu mencengkram leher Irvan dengan keras.

“Lu mau jadi pacar gue?” tanya Mawar dengan nada dingin.

“I … iya, gue mau,” jawab Irvan sambil berusaha melepaskan cengkraman Mawar.

Mawar memandangnya dengan sorot mata yang tajam.

“Apa lu bisa turutin kemauan gue?”

“Katakan saja, apa pun kemauan lu, bakal gue sanggupi.”

“Beliin gue ponsel terbaru, gimana?”

“A … apa?”

“Kenapa? Lu gak bisa beliin apa yang gue mau? Jadi, jangan berkhayal untuk bisa jadi cowok gue.”

“O … oke, gue akan beliin lu ponsel terbaru, asal lu jadi cewek gue!”

“Deal!” Mawar melepaskan cengkramannya. “Sekarang kita ke konter.”

Irvan terbelalak tak percaya mendengarnya. Ia mematung dengan keringat dingin yang mengucur deras dari pori-pori kulitnya, meresapi rasa malu dan ketidakpercayaan. Bagaimana mungkin ia bisa membelikan Mawar ponsel seketika itu juga.

“Kenapa lu diem?” tegur Mawar.

“Gue, gue butuh waktu. Dalam seminggu gue bakal beliin lu ponsel,” kata Irvan memintanya.

“Gue bisa kasih lu ponsel baru sekarang juga.” Suara pria dari dalam mobil sedan menghentikan perdebatan mereka.

Keduanya menoleh ke arah mobil, di mana seorang pria tampan berkacamata hitam tersenyum penuh keyakinan.

“Ikut gue, kita beli sekarang!” ajak pria itu sambil membuka pintu mobil.

Mawar mengangguk, lalu tanpa ragu langsung menaiki mobil. Pemandangan itu membuat Irvan merasa dihempaskan ke bumi. Rasa panas hati dan kekecewaan melanda dirinya.

“Sialan, kalau bukan karena melonnya yang menggoda, nggak bakal mau gue dibuat malu begini! Awas lu Mawar, gue bakal bikin lu menyesal!” gumam Irvan penuh dendam, sementara mobil sedan hitam itu melaju cepat meninggalkan halte.

“Gue Gavin, tiga kursi di depan lu duduk,” ucap pria yang mengemudikan mobil, memperkenalkan diri.

“Gue udah tau siapa lu. Terima kasih udah nolongin gue. Sekarang turunkan gue di depan, gue bisa pulang sendiri,” balas Mawar dengan tegas.

Gavin mengernyit dan memandangi Mawar dengan serius tanpa memedulikan jalan di depannya.

“Fokus ke jalan! Kalau lu mau mati, jangan ajak gue,” kata Mawar.

“Gue serius sama lu. Gue bisa beliin lu ponsel sekarang juga.” rayu Gavin mencoba meyakinkan Mawar.

“Gue bukan cewek matre, ya. Tadi itu hanya untuk bikin dia menjauh dari gue,” jelas Mawar.

“Lu cewek yang punya nilai lebih. Jadi, buat gue, wajar-wajar aja kalau lu pengen cowok yang selevel sama lu.”

“Begitukah?” Mawar meragukannya.

“Gue bakal buktiin sama lu, kalau gue layak jadi cowok lu.”

Mawar menyeringai dingin menanggapinya, membuat Gavin tersenyum penuh kemenangan. Ia kemudian melajukan mobilnya ke arah pusat perbelanjaan. 

Setelah membelikan ponsel dan makan siang, Mawar meminta Gavin untuk langsung mengantarnya pulang. Namun Gavin menolaknya. Ia mengajak Mawar untuk mampir ke rumahnya.

“Kenapa harus ke rumah lu?” tanya Mawar sambil memainkan ponsel barunya di dalam mobil.

“Di rumah gue ada gazebo, kita bisa santai sambil menikmati senja. Gimana?” 

“Sebentar saja, ya.” Mawar menyetujuinya.

Sampai di rumah yang begitu besar, Gavin menggenggam tangan Mawar, membawanya memasuki rumah. Kondisi rumah tampak lengang tanpa ada seorang pun di dalamnya. 

“Sepi banget, ke mana keluarga lu?” tanya Mawar sambil melihat-lihat kemewahan isi rumah.

“Masih pada kerja. Kenapa, lu takut?” jawab Gavin diiringi tanya.

“Wajar dong kalau gue waspada sama lu,” kata Mawar.

“Santai aja, gue bukan cowok brengsek,” timpal Gavin sambil terkekeh.

Mawar tidak menanggapinya. Ia berdiam diri menatap foto keluarga yang terpajang di dinding. Terlihat olehnya, seorang pria paruh baya yang dikenalinya.

“Sepertinya takdir memudahkanku untuk menemukan target berikutnya,” batin Mawar.

“Mawar, kenapa lu diam?” tegur Gavin.

Mawar mengerjap lalu memalingkan wajah ke arah lainnya.

“Tidak apa-apa, gue hanya kagum melihat keluarga lu yang terlihat begitu bahagia,” ujar Mawar dengan tatapan yang menyelubungi maksud gelapnya.

“Semoga aja yang lu omongin itu benar,” kata Gavin dengan suara yang terdengar sedih.

“Lu kenapa?” tanya Mawar, berempati.

Gavin tersenyum simpul.

“Ayo kita ke gazebo!” ajak Gavin.

Mawar mengikutinya dengan berbagai rencana yang sedang disusunnya untuk melenyapkan seorang pria yang terbingkai dalam foto keluarga.

Terpopuler

Comments

Claudia Jung 🐻🐰

Claudia Jung 🐻🐰

Aku tebak kamu pasti mawar ya?

2023-12-24

2

Claudia Jung 🐻🐰

Claudia Jung 🐻🐰

Si Tugu Pancoran nih kayanya kok nggak suka amat sama mbak Rose

2023-12-24

0

Claudia Jung 🐻🐰

Claudia Jung 🐻🐰

Kura-kura dalam perahu

2023-12-24

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!