Pelatihan I

Si gadis terdiam dalam lamunan, pandangannya nanar terhanyut ke dalam ingatan kejadian nahas yang merusak hidupnya. Dalam keheningan hutan yang kelam, ia mulai menceritakannya dengan suara getir, menguraikan runtutan kebrutalan yang menghantamnya hingga membuatnya tak sadarkan diri di tangan para pembunuh yang merudapaksanya. Meskipun selama ia bercerita, si nenek tetap memunggunginya, menanggapi setiap kata dengan dehaman.

“Kau diperlakukan seperti binatang oleh mereka. Pantas saja sikapmu begitu dingin,” sahut si nenek dengan nada tajam, meresapi kepedihan yang tersemat dalam barisan kata-kata yang terlontar dari mulut sang gadis.

Si gadis merasakan adanya harapan dari ucapan si nenek yang berempati kepadanya.

“Nenek, aku tahu Nenek orang sakti. Tolong aku, Nek. Bantu aku membalaskan dendam!” Si gadis menjatuhkan diri dalam posisi berlutut, merajuk dengan tatapan yang dipenuhi keputusasaan.

“Kau salah, aku bukan orang sakti. Aku hanya orang tua renta yang menunggu kematian menjemputku. Pergi dan balaskan dendammu sendiri!”

“Baik, dan maafkan aku, Nenek! Kalau begitu, Nenek tak perlu menyelamatkanku lagi. Biarkan saja aku mati. Suatu hari nanti jika ada orang yang mencari gadis bernama ‘Mawar Merah’, itulah aku. Nenek hanya cukup tahu dan tak perlu terlibat dengan masalahku.”

“Silakan, tapi jangan mati di sekitar kediamanku! Pergilah ke tempat terjauh jika kamu tidak ingin merepotkanku.”

“Iya, Nek, aku tidak akan merepotkan Nenek, tapi … bolehkah aku meminta sehelai baju? Aku tidak mungkin pergi dalam kondisi tak berbusana seperti ini.”

“Itu malah akan membuatku terlibat dengan kematianmu. Kaucari saja daun pisang di hutan, dan kau bisa menutupi tubuhmu dengan itu.” Suara si nenek begitu tajam, meninggalkan bayang-bayang yang mencekam di udara.

Kesal dan jengkel memenuhi hati Mawar, namun ia bukan siapa-siapa bagi sang nenek. Tanpa pilihan lain, Mawar pergi meninggalkan rumah sang nenek dengan tubuh polos. Ia berdiri dan melangkah ke arah pintu luar.

“Terima kasih, Nenek sudah menyelamatkanku. Permisi.” Mawar hendak melangkah keluar, namun sebelum ia mencapai ambang pintu, si nenek menghentikannya dengan kata-kata yang menciptakan harapan baru.

“Aku tidak bisa membantumu membalaskan dendam secara langsung, namun aku bisa memberimu bekal untuk menjalankannya … hanya saja ….” Suara si nenek terhenti, membiarkan kata-katanya bergantung di udara.

Mawar yang telah bersiap-siap untuk pergi, merasa seakan waktu berhenti sejenak. Pandangannya yang redup kembali bersinar. Ia berbalik, menatap punggung si nenek dengan ekspresi yang penuh harap.

Di balik dinginnya sikap si nenek, tersembunyi keinginan yang mendalam, keinginan yang tidak sekadar membantu, bahkan dirinya ingin menjadikan Mawar sebagai muridnya. Meskipun kata-katanya terhenti, sorot matanya membocorkan niat tersebut. Mawar merasakan getaran yang tak terungkapkan dalam atmosfer kegelapan, dan hatinya berdesir dalam kebingungan serta harapannya. 

“Hanya saja apa, Nek?” tanya Mawar, penuh harap.

“Hanya saja, jika kau berhasil mendapatkan kesaktianku, kau harus mengabdi kepadaku.”

“Kalau aku gagal?”

“Mati!”

“Aku sudah mati sejak kejadian itu. Aku bersedia dengan semua resikonya. Terima kasih, Nenek.” Mawar kembali menjatuhkan dirinya, berlutut di depan si nenek yang masih membelakanginya.

Begitu si nenek membalikkan badan, Mawar terperanjat melihat sosok asli yang ditampakkan si nenek. Wajah si nenek putih pucat seperti mayat, tak ada tanda-tanda kehidupan yang mencolok. Matanya hitam kemerahan dengan bulir darah yang mencuat, memberikan kesan kegelapan yang menyeramkan. Keseluruhan penampilan si nenek membuat Mawar merasakan kekuatan yang tak terukur dan aura yang begitu pekat. Terbayang dalam benaknya, si nenek bukanlah sosok biasa, melainkan entitas dengan kekuatan yang jauh di luar pemahamannya.

“Meski aku tua, aku tidak ingin dipanggil dengan sebutan ‘nenek’. Namaku Wulandari, kau boleh memanggilku ‘Bunda Wulan’,” ujar Wulan, suaranya melingkupi ruangan dengan aura mistis yang membuat bulu kuduk Mawar merinding.

Mawar mengangguk, mengamini permintaan sang nenek.

“Banyak ritual yang akan kaulakukan. Bersiaplah!” ujar Wulan seraya menormalkan kembali wujudnya, namun aura mistis masih menyelimuti keduanya.

Mawar semakin tidak sabar untuk memulainya. 

“Ritual apa saja yang harus aku lakukan?” tanya Mawar ingin mengetahuinya.

“Ritual pertama adalah berpuasa, tapi bukan puasa seperti biasanya,” jawab Wulan dengan suara yang hampir tenggelam oleh keheningan, terlalu pelan dan dalam terdengar.

“Puasa seperti apa yang Bunda maksud?” Mawar menanyakan pertanyaan itu dengan ketegangan yang merambat di matanya.

Suasana mistis semakin pekat terasa ketika Bunda Wulan membuka bibirnya yang hitam dan kering. Ia menjabarkan, “Yang pertama adalah puasa mutih, yaitu puasa yang ketika berbuka harus makan makanan yang tidak berasa, baik manis, asam, asin, atau makan makanan yang bernyawa, dan hanya minum air putih saja. Setelah menyelesaikannya, kamu lanjut ke puasa pati geni. Puasa ini mengharuskan kamu tidak makan dan tidak minum selama tujuh hari berturut-turut. Dan puasa yang terakhir adalah puasa luwang, yaitu puasa yang dijalankan di bawah tanah. Kamu akan berpuasa dalam kondisi terkubur selama tujuh hari penuh dengan sedikit celah untuk bernapas. Pada hari terakhir, aku akan menggali tanah untuk melihat hasilnya, jika kamu mati, maka aku akan langsung menguburmu, namun jika kamu berhasil hidup, kita akan melanjutkan ke tahap berikutnya. Apa kamu mengerti?”

“Mengerti, Bunda.” Mawar begitu bersemangat untuk menjalankannya. Meskipun ketiga jenis puasa itu memiliki tingkat kesulitan yang akan membuat siapa pun berpikir ulang untuk menjalankannya.

“Setelah aku berhasil melewatinya, ritual apalagi yang harus aku jalankan?” imbuh Mawar dengan suara penuh antusias, walaupun ketegangan terdengar jelas dalam intonasi suaranya.

“Pastikan saja dirimu masih hidup. Maka kau akan mengetahuinya sendiri,” jawab Bunda Wulan dengan senyum misterius yang terlihat samar di tengah kegelapan ruangan.

“Baik.” Mawar menerimanya dengan tekad yang tak tergoyahkan.

Malam harinya, suasana hutan rimba berubah menjadi panggung kelam untuk prosesi ritual. Bunda Wulan membawa Mawar melintasi kedalaman hutan yang semakin terasa mistis. Mawar, yang tanpa sehelai kain di tubuhnya, berjalan dengan hati yang teguh, menahan hawa dingin yang menembus tulang. Kendatipun begitu, raut wajahnya tidak mencerminkan adanya ketakutan. Ia terus berjalan dengan langkah pasti, mengikuti Bunda Wulan melalui kegelapan yang semakin intens di rimba raya, tempat di mana kekuatan gaib dan mistis bergelayut erat.

Keduanya terus melangkah melintasi rerimbunan pepohonan yang semakin rapat, membawa mereka ke sebuah gua kecil yang tersembunyi di kedalaman hutan. 

Mawar memasuki gua di belakang Bunda Wulan, langkahnya diiringi oleh aura mistis yang terasa di udara. Di dalam gua, kelam dan lembap menyelimuti ruang sempit itu. Ratusan kunang-kunang yang beterbangan memberikan cahaya samar-samar, melukis bayangan-bayangan misterius di setiap sudutnya.

Bunda Wulan berdiri di tengah gua, menatap Mawar dengan sorot mata yang penuh arti. “Inilah tempat dimulainya ritualmu, Mawar Merah.”

Mawar menelan saliva, merasakan getaran mistis di sekitarnya yang semakin mencekam. Bunda Wulan mulai memandu langkah-langkah Mawar dengan telaten, mengarahkannya pada serangkaian gerakan dan mantra-mantra kuno yang tidak bisa dimengerti oleh akal sehat. 

Terpopuler

Comments

juria ria

juria ria

kaya cerita di film Suzana ya

2023-12-30

2

Claudia Jung 🐻🐰

Claudia Jung 🐻🐰

Kalo aku yang jadi Cik Rose mah udah angkat tangan

2023-11-23

1

Claudia Jung 🐻🐰

Claudia Jung 🐻🐰

Neneknya Savage 🤣

2023-11-23

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!