Teror Gadis Bergaun Merah

Selepas senja, Gavin mengantar Mawar pulang. Namun, belum sempat keduanya memasuki mobil, terlihat mobil lain memasuki pekarangan rumah.

“Bokap dan nyokap gue datang,” kata Gavin.

Mobil sedan berwarna silver metalik berhenti tepat di samping mobil Gavin, lalu keluarlah sepasang paruh baya dengan pakaian mewah menghampiri Gavin. Keduanya adalah Antoni dan Lucia. Pasangan yang cukup disegani oleh kalangan pebisnis. Namun, baik Lucia maupun Gavin tidak mengetahui pekerjaan gelap dari Antoni. 

“Siapa gadis cantik ini?” tanya Lucia sambil melepaskan kacamata hitamnya.

“Teman sekolah Gavin, Mah,” jawab Gavin sedikit tersipu.

“Yakin hanya teman?” sindir Lucia, lalu mengalihkan pandangan ke arah Mawar.

“Siapa namanya, Sayang?” 

“Mawar, Tante,” jawab Mawar dengan datar.

“Kamu terlihat pucat, apa kamu lagi sakit?” Lucia mengamatinya.

“Tidak apa-apa, Tante, hanya kurang darah aja,” jelas Mawar.

“Jaga kesehatan kamu, ya, Sayang. Ayo masuk dulu!”

“Aku dari siang di sini, Tante. Sekarang mau pulang.”

“Oh begitu.” Lucia memandang Gavin.

“Gavin, antar Mawar pulang!” pintanya.

“Siap, Mah. Kami pergi dulu,” balas Gavin dengan semangat.

“Mari, Tante, Om.” Mawar dan Gavin memasuki mobil.

“Hati-hati di jalan!” ujar Lucia sambil melambaikan tangan.

Pertemuan itu meninggalkan nuansa misteri di udara, dan Antoni yang sedari tadi terdiam, merasakan sesuatu yang tersembunyi dari tatapan Mawar kepadanya.

Setelah mobil menghilang, Lucia mengalihkan pandangan ke arah suaminya. Ia mengernyitkan wajah melihat tatapan kosong dari sang suami.

“Pah, kenapa bengong terus dari tadi?” tegurnya.

“Eh, iya, Mah.” Antoni memaksakan senyum menanggapinya.

“Ada apa, Pah? Mengapa Papa terlihat cemas?” Lucia kembali mempertanyakan.

“Tidak ada apa-apa. Hanya saja Papa merasa tidak asing dengan anak itu,” jawab Antoni menjelaskan.

“Apa Papa mengenalnya?” Lucia menyelidik.

“Tidak!” jawab Antoni tegas.

Tengah malam, Antoni tersentak bangun dari mimpi buruk. Tiba-tiba saja, di tengah keheningan yang menakutkan, ia disergap oleh kehadiran misterius seorang gadis. Wajahnya pucat bagai mayat, dan mata merahnya menyala memancarkan keangkeran. Dengan gerakan tiba-tiba, gadis itu mencengkeram erat wajah Antoni, menyulut rasa sakit dan kepanikan.

Tanpa kata, gadis itu menariknya ke dalam kegelapan yang tak terjangkau. Antoni mencoba berteriak, tetapi suaranya tertelan oleh keheningan malam. Setelah mencapai tujuan mengerikan, gadis itu melepaskan cengkramannya, memperlihatkan pemandangan mengerikan di hadapannya; dua nisan yang berdiri tegak berdampingan di tengah pemakaman yang sunyi dan menyeramkan.

Antoni tahu, dua nisan di hadapannya adalah korban dari aksi kejinya tempo lalu. Ketakutan memenuhi dirinya, memburamkan pandangan, dan menggiringnya ke ambang kematiannya sendiri. Ia berusaha lari, tetapi sang gadis langsung mencengkram lehernya lalu mendorongnya hingga tersungkur ke tanah dingin dan lembap.

Antoni kembali berusaha untuk lari, namun tubuhnya sulit digerakkan. Hanya sepasang matanya yang bergerak liar, memandang ke atas. Antoni terperanjat, menyadari dirinya berada di sebuah lubang. Sisi kiri dan kanannya hanyalah dinding tanah. 

Mula-mula, ia melihat bulan sabit yang terang, kemudian awan hitam bergerak menutupi rembulan. Tak lama kemudian, kilatan petir menyambar di balik awan hitam. Setelahnya, hujan pun turun. Namun bukanlah air yang turun, melainkan tanah yang langsung menimbunnya.

Ketakutan merayapi dirinya saat ia menyadari bahwa lubang kubur semakin menyempit, dan tanah mulai berjatuhan dari dinding, meremukkan ruang di sekitarnya. Desakan tanah semakin terasa dan Antoni merasakan embusan angin kematian.

Ia mencoba berteriak, namun suaranya hanya terdengar sebagai bisikan lemah di dalam kegelapan lubang tanah yang semakin sempit. Tubuhnya begitu kaku digerakkan. Ia tidak putus asa, ia kumpulkan seluruh tenaga untuk mempertahankan saat-saat hidupnya yang kritis. 

Ia tidak berhasil menjerit, namun ia berhasil menggerakkan tubuhnya, lalu dengan sekuat tenaga, ia melompat dari lubang kuburan yang hampir tertutup itu, dan ketika ia perhatikan sekelilingnya, gadis cantik itu sudah tidak terlihat lagi, yang ada hanyalah kamar gelap tempat dirinya tidur.

Napasnya tersengal, tubuhnya panas dibanjiri keringat. Di sampingnya, ia mendengar helaan napas yang teratur. Istrinya Lucia, tertidur dengan lelap. Antoni kemudian menyeka keringat di wajahnya, lalu menyulut sebatang rokok untuk meredakan ketegangan. Baru saja rokok dinyalakan, terdengar suara pintu diketuk. Antoni tertegun. Hampir saja rokok di mulutnya terjatuh ke atas sprei. Ia duduk dengan tegang, dan wajahnya pucat pasi. Keringatnya pun mengucur kembali dari pori-pori kulitnya. 

“Apakah Gavin yang mengetuk?” Antoni mencoba berpikir jernih.

“Tidak, tidak mungkin Gavin mengetuk tanpa memanggil ibunya,” pikir Antoni menelisik.

“Ataukah … gadis pucat itu?” Antoni mengisap rokok dengan jari bergetar.

Ketukan di pintu terdengar lagi, dan lebih keras dari sebelumnya. Antoni dengan terpaksa mematikan rokoknya, lalu berjalan ke arah pintu dengan sikap penuh waspada. 

Ia mengintip dari gorden yang sedikit disibaknya, melihat ruang tengah yang terang benderang. Tidak terlihat olehnya seorang pun di luar pintu kamar. 

“Tidak mungkin Gavin iseng malam-malam begini,” gumam Antoni, “kalau Antoni yang iseng, aku akan menghukumnya.”

Antoni kemudian memberanikan diri membuka pintu dan keluar dari kamar. Ia perhatikan sekeliling ruang tengah rumahnya, lalu berjalan ke arah balkon dan memandang area luar rumahnya. Tidak ada seorang pun yang terlihat olehnya. Akan tetapi, bukan dari penglihatan, tetapi dari indra penciumannya yang mencium semerbak mawar di sekitarnya. Wanginya sangat menyengat hidung. Anehnya, harum bunga mawar membuatnya mual. 

Berkali-kali Antoni menahan mulutnya agar tidak muntah. Ia pun menutupinya dengan telapak tangan. Setelah itu, embusan angin dingin menerpa tubuhnya, menggoyangkan rambutnya, dan membuat bulu kuduknya berdiri. 

“Sepertinya aku harus membangunkan Lucia,” gumam Antoni mendapatkan ide.

Tidak mau ambil pusing, ia bergegas kembali ke kamar lalu menguncinya. Namun, ketika ia berbalik, tubuhnya seketika kaku, matanya membelalak, dan wajahnya pucat. Seorang gadis telah ada di kamarnya, berdiri dengan tatapan mengerikan ke arah Antoni. Sang gadis mengenakan gaun merah dengan bagian atas yang terbuka, menampilkan bongkahan besar yang terlihat pucat dan penuh garis kebiruan di sekitarnya. 

Baru sekarang Antoni melihat dengan jelas gadis di depannya. Seluruh tubuhnya yang terbuka begitu pucat seperti tubuh mayat. Matanya merah berkilat dan meneteskan darah dari sudut ekornya. Seperti sebelumnya dalam mimpi, Antoni merasakan tubuhnya kaku, mulutnya kelu, dan dan seluruh sendi ototnya terasa lumpuh mendadak. 

Sang gadis melangkah pelan mendekatinya, membuat tubuh Antoni bergidik ngeri. Mulutnya menganga dan matanya semakin membuntang.

“Apakah kau masih mengingatku?” tanya si gadis dengan nada dingin.

Antoni tergagap tidak mampu menjawabnya. Gadis itu mendekatkan wajahnya ke hadapan Antoni yang seketika bergetar hebat menatap wajah si gadis yang begitu menyeramkan.

“Kutanya sekali lagi, apakah kau masih mengingatku?” Aroma mawar dari napas si gadis menyeruak menusuk hidung Antoni dengan cepat.

Seketika, Antoni mengingat wajah yang pernah dirudapaksanya kala itu. Wajah yang tak lain adalah Mawar Merah yang menjadi korban kebengisannya. Antoni bersimbah peluh lalu tersungkur jatuh di depan Mawar. 

Mawar berjongkok dengan mendekatkan kembali wajahnya di hadapan Antoni. Sepasang matanya yang merah dengan tetesan darah tampak memilukan, sementara wajahnya terlihat semakin pucat, hingga membuat Antoni tidak sanggup melihatnya. 

“A … ampuni aku, Nona. Ja … jangan membunuhku!” Antoni mulai bisa berbicara.

“Sayangnya, aku harus melenyapkanmu untuk membalas kematian orang tuaku,” balas Mawar.

“Tu … tunggu! Aku hanya melaksanakan perintah. Semua yang terjadi bukan kehendakku,” sambung Antoni mencoba bernegosiasi.

“Katakan siapa yang memberikanmu perintah?” 

Antoni sedikit lega mendengarnya, namun ia masih tidak berani menatap Mawar yang mengerikan.

“Baron Martin, saingan mendiang orang tuamu,” ungkap Antoni.

“Baron Martin?” Mawar memikirkannya, namun ia belum mengenal siapa Baron Martin yang disebut oleh Antoni.

“Baiklah, aku tidak akan membunuhmu, tapi ….” Mawar menggantung kata-katanya.

“Tapi apa, Nona?” tanya Antoni begitu penasaran.

“Masih ingatkah apa yang kaulakukan kepadaku?” tanya Mawar.

“A … aku memperkosamu dengan kasar dua kali,” jawab Antoni dengan lancar.

“Bagian mana kau memperkosaku?” imbuh tanya Mawar.

“Di … di belakang.” Antoni gugup mengatakannya.

Mendengar kejujurannya, Mawar menyeringai lebar. Seringai yang begitu mengerikan jika saja Antoni mau melihatnya.

“Di situlah aku akan menghukummu,” kata Mawar lalu mengusap wajah Antoni.

“Kau akan terobsesi di sepanjang waktu untuk menusuk bagian belakang tubuhmu. Jadi, nikmatilah hukumanmu itu!” Mawar langsung menghilang dari pandangan Antoni.

Setelah itu, yang ada dalam pikiran Antoni hanyalah menusuk bagian belakang tubuhnya. Mula-mula, ia menusuknya dengan tangannya lalu semakin terobsesi untuk melakukannya dengan sesuatu yang lebih besar. Ia kemudian mencari apa pun yang berbentuk panjang di rumahnya, lalu menusukkannya.

Lenguhan panjang terus terdengar intens di kamarnya, hingga membuat Lucia terbangun dan membelalak tidak percaya melihat perilaku suaminya yang abnormal. 

Terpopuler

Comments

Claudia Jung 🐻🐰

Claudia Jung 🐻🐰

Apa ini?
Aku nggak baca 🙈

2023-12-31

0

Claudia Jung 🐻🐰

Claudia Jung 🐻🐰

Hiiiii.... Atut

2023-12-31

0

Claudia Jung 🐻🐰

Claudia Jung 🐻🐰

Kenal nggak sih?

2023-12-31

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!