Sekolah Baru

Menjelang sore, Mawar dan Pak Anto telah tiba di sebuah sekolah yang terlihat sedikit kumuh. Suasana tampak lengang karena jam pelajaran telah usai. Hanya memperlihatkan beberapa kendaraan yang masih terparkir rapi di samping gedung sekolah. 

Pak Anto kemudian membawa Mawar ke sebuah kantor yang mulai sepi, menyisakan beberapa guru yang memang sengaja tengah menunggu kehadiran Mawar dan Pak Anto yang sebelumnya membuat jadwal melalui telepon. Proses kepindahan Mawar berjalan cepat dan kini ia telah resmi berganti sekolah. Namun, yang menjadi soal adalah sekolah Mawar yang baru ini terkenal dengan kenakalan remaja yang menjadi ciri khasnya secara turun temurun. Meskipun demikian, Mawar tidak begitu mempermasalahkannya. Baginya, bisa melanjutkan sekolah merupakan hal terpenting saat ini.

Pada hari berikutnya, sebuah sedan Mercedes-AMG berwarna hitam metalik berhenti tepat di depan pintu gerbang, dan dari dalamnya keluar seorang gadis berwajah datar tanpa ekspresi yang menyiratkan keangkuhan. Ia menatap gedung sekolah barunya dengan seringainya yang dingin.

Sementara siswa-siswa lain bergegas masuk ke dalam kelas, Mawar sebagai murid pindahan, memutuskan untuk mengunjungi kantor sekolah terlebih dahulu. Langkahnya yang tenang diiringi embusan napas panjang, mencerminkan perasaan enggan untuk memulai kehidupan di lingkungan baru, berinteraksi dengan teman-teman sekolah yang terkenal dengan tawuran dan kenakalan remaja yang menjadi identitas buruk sekolahnya ini.

Namun, seringai dinginnya tidak luntur. Ia diantar ke kelas oleh seorang guru wanita bertubuh buntet yang terlihat seperti sosok yang tak kenal kompromi. Wali kelasnya yang bernama Sri Mulyaningsih.

Bu Sri memimpin Mawar masuk ke dalam kelas dengan langkah tegas. Semua mata memandang, dan Mawar berdiri tegak di depan kelas, tenggelam dalam keheningan.

“Selamat datang, Mawar Merah, murid baru kita,” ucap Bu Sri dengan senyuman ramah, berusaha mencairkan suasana tegang dari anak didiknya yang tak henti menatap Mawar yang terlihat seperti orang sakit.

Mawar menelusuri wajah-wajah di kelas dengan tatapan tajamnya, membuat sebagian besar murid merasa tidak nyaman di bawah sorotannya. Sorotan dari seorang gadis berkulit pucat namun sangat cantik dan anggun.

Ketika pandangan Mawar mencapai siswa yang duduk paling belakang, sorot matanya menyipit. Wajah siswa tersebut mengingatkan dirinya pada salah satu pelaku yang merudapaksanya dengan kejam.

Bu Sri kemudian meminta Mawar duduk di kursi yang berada di belakang, tepat di sebelah siswa yang menarik perhatiannya. Saat Mawar duduk, ia tak bisa menahan diri untuk sekilas melirik siswa tersebut. Siswa itu membalas pandang dengan kagum, terpesona oleh kecantikan Mawar yang berselimut sikap dingin dan misterius. 

Bu Sri yang tegas baru tersadar melihat Mawar masih mengenakan cardigan-nya. Maka, ia menegur Mawar dengan tegas.

“Hanya seragam yang boleh dikenakan di dalam kelas, Mawar!”

Dengan berat hati, Mawar kemudian melepaskan cardigan-nya. Tampaklah sesuatu yang besar miliknya tercetak jelas dari balik seragamnya. Sontak saja semua siswa terperangah melihat ukuran tak normal yang dimiliki Mawar. Kericuhan pun tak terelakkan dari para siswa yang mengomentarinya serampangan, hingga membuat Bu Sri menggebrak-gebrak meja dengan begitu keras hingga semua murid terdiam seketika.

“Mawar, pakai kembali pakaian luarmu! Khusus kamu, boleh memakainya, dan jangan pernah sekalipun melepaskannya!” ujar Bu Sri sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Di sebelahnya, seorang siswi berkuncir kuda tampak abai akan keberadaan Mawar yang duduk semeja dengannya. Sikapnya yang merasa lebih tinggi dari murid pindahan itu terpancar jelas dari pandangan acuh tak acuh yang ditujukan olehnya. Begitu pun dengan Mawar yang tidak melirik sekalipun ke arahnya. Keduanya duduk dalam keheningan, saling diam tanpa ada keinginan untuk saling mengenal satu sama lain.

Dalam pikirannya, gadis berkuncir kuda itu menyusupkan ejekan sinis, “Cih, masih sekolah sudah memiliki ukuran sebesar itu. Apa jangan-jangan dia bintang film dewasa?” 

Tiba-tiba, Mawar menoleh padanya dengan tatapan dingin. Gadis itu langsung membelalak, merasa tubuhnya bergetar dalam ketakutan mendapatkan tatapan tajam dari Mawar.

“Yang kamu maksud itu aku?” tanya Mawar dengan suara dingin, membuat gadis di sebelahnya terpaku dan tubuhnya semakin bergetar keras.

“Ba-bagaimana mungkin?” ucap si gadis dengan gugup dan tidak percaya.

Mawar menyeringai sinis menanggapinya. Gadis di sebelahnya kini mematung, tak berani berpikir lebih jauh karena takut Mawar akan tahu isi kepalanya yang penuh dengan prasangka dan ejekan. Suasana di meja itu terasa mencekam, diwarnai oleh ketegangan yang tak terucapkan di antara keduanya.

“Violetta van Tjoeran, berhati-hatilah memikirkan tentangku kalau kau masih ingin sekolah di sini!” ujar Mawar mengintimidasinya.

Gadis yang bernama Violetta itu semakin ketakutan dibuatnya. Ia berkali-kali menelan salivanya seraya menurunkan wajah tidak ingin meliriknya.

Begitu bel istirahat berbunyi, semua siswa langsung meluruh mendekati Mawar.

“Gue Robin.”

“Gue Marcel.”

“Gue Ivan.”

Satu per satu para siswa memperkenalkan diri dengan mengulurkan tangan. Namun, Mawar begitu dingin menanggapi mereka semua. Tak ada seulas senyum di wajahnya yang pucat, bahkan dia tak berkeinginan menarik sedikit saja garis bibir dari sudut bibirnya yang tipis ketika bersalaman dengan teman-teman barunya. 

Meskipun demikian, bukan berarti tidak ada yang menarik perhatiannya. Mawar yang dingin tiba-tiba menghampiri pria di sebelahnya yang terhalangi oleh siswa lain.

“Kau berbeda dari para bajingan yang mendekatiku. Maukah kau berteman denganku?” Mawar mengulurkan tangan kanannya ke arah siswa yang wajahnya begitu merona, seolah ia memenangkan lomba.

Sementara siswa-siswa lainnya tampak begitu geram akan sikap Mawar yang mengabaikan mereka semua. Meskipun demikian, tidak ada satu pun yang berani macam-macam kepada Mawar karena pria yang didekati Mawar bukanlah pria sembarangan. Pria itu adalah salah satu pentolan sekolah yang disegani oleh para siswa.

“Brama,” kata siswa itu memperkenalkan diri seraya menyambut uluran tangan lalu mengecup punggung tangan Mawar dengan lembut.

“Bolehkah aku mengajakmu ke kantin?” tawar Brama begitu percaya diri.

“Tentu saja,” kata Mawar menyetujuinya.

Keduanya berjalan ke kantin dengan iringan tatapan iri dari beberapa siswa yang gagal mendekati Mawar.

Duduk berduaan, Brama tidak ingin menyia-nyiakan kesempatan untuk bisa lebih dekat dengan teman barunya itu. Tak lupa ia memesan bakso favoritnya dan beberapa cemilan untuk meninggikan diri bahwa dia adalah siswa yang royal.

“Mawar, lo kenapa pindah ke sekolah ini? Apa lo nggak tau kalau sekolah ini memiliki predikat buruk di masyarakat?” tanya Brama memulai percakapan.

“Kalau sekolah ini begitu buruk, kenapa lo sendiri mau sekolah di sini?” balik tanya Mawar.

Brama tersenyum simpul mendengar tanya balik dari gadis cantik di depannya.

“Lo tau nggak … hampir semua murid di sini merupakan pindahan dari sekolah lain. Ya, bisa dibilang sekolah ini adalah penampungan  murid-murid bengal dari seluruh sekolah di kota ini,” ujar Brama dengan bangganya.

“Terus ….” Mawar semakin penasaran dengan seluk-beluk sekolah barunya.

“Dih, seperti tukang parkir aja pakai terus, terus segala!”  Brama terkekeh keras menertawakannya.

Sementara Mawar tidak menunjukkan reaksi apa pun. Tiba-tiba, Brama menyodorkan sendok berisi bakso kecil ke mulut Mawar, namun Mawar menggelengkan kepala menolaknya.

“Sekarang gue tanya, kenakalan apa yang lo lakuin di sekolah lo sebelumnya?”

Mawar menengadah sambil memainkan sendok.

“Gue difitnah membunuh kedua orang tua gue, dan lo sendiri?”

Tatapan Brama berubah menjadi serius setelahnya. Ia kemudian bertanya menyelidik, “Ja … jadi lo cewek yang viral beberapa bulan lalu itu?”

“Ya, itu gue. Kenapa?” Mawar menjawabnya santai dan bertanya balik.

“Nggak apa-apa juga sih. Lupakan saja. Gue sendiri pindah ke sini karena bikin koma teman kelas gue.”

Bibir Mawar mengerucut seolah tidak percaya pada pengakuan Brama. Melihat reaksi Mawar yang tidak memercayainya, Brama tersenyum kecut.

“Bram!” 

“Iya, Mawar.”

“Lo ngingetin gue sama pria yang penuh sayatan di wajahnya. Gue pernah ditolong olehnya waktu gue kelupaan nggak bawa duit.” Mawar mulai melancarkan jeratannya. Ia harus memastikan targetnya tepat.

“Kapan itu?” tanya Brama antusias.

“Waktu dulu, udah lama banget. Sudahlah, lupakan saja!”

“Apa bekas sayatannya itu lebih banyak di wajah kirinya?” Brama coba mencocokkan dengan ayahnya.

“Eh, iya betul. Lo kenal orang itu?”

“Ya kenal dong. Secara, orang itu kan bokap gue.”

“Wah, kebetulan sekali. Gue mau bayar utang gue ke bokap lo kalau gitu.”

“Jadi, lo mau ke rumah gue?”

“Iya, itu pun kalau lo mau ngajak gue. Kalau nggak ya gue titip duitnya saja sama lo.”

Brama pura-pura tak acuh dengan fokus menghabiskan makanannya. Namun dalam pikirannya penuh siasat licik untuk mempermainkan Mawar.

“Mainan baru yang nggak boleh gue lewatkan, ha-ha!” pikir Brama dengan niat busuknya.

Mawar menyeringai sinis ingin mengetahui lebih jauh rencana licik dari anak seorang pria keji yang menjadi targetnya.

Terpopuler

Comments

Nurma Yani

Nurma Yani

😁

2024-05-04

0

Mimik Pribadi

Mimik Pribadi

Brama sok anteng,,,,seolah beda dngn tmn lainnya yng berebut ingin kenalan dngn Mawar,ternyata oh,,, ternyata,,,,hanya seorng Remaja licik yng tidak jauh bejatnya dngn bpknya yng pembunuh dan peruda paksa 😡😡😡

2024-02-19

0

Wong_Ndeso

Wong_Ndeso

Dasar ular kadut! 👊

2023-12-11

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!