Hamdan telah membawa pemuda yang melakukan penyerangan terhadap Reihan ke kantor polisi. "Penjarakan dia sekarang juga pak polisi" sambil menarik lengan pemuda itu dan menghempaskan tubuh lelaki itu di meja salah satu petugas polisi.
"Ada apa ini?" Polisi itu terhenyak ketika melihat seseorang dengan wajah lebam dimejanya. Lelaki yang masih terikat tangannya itu terlihat meringis kesakitan.
"Aku ingin anda menahan orang ini. Dia sudah melakukakn penyerangan pada seseorang"
"Penyerangan? Maksud anda?"
"Kemarin saat ada demo di jalan utama kota Bandung, lelaki ini telah melemparkan bom molotov ke arah mobil dan sekarang orang itu sedang koma dirumah sakit" wajah lelaki itu tetap saja dingin saat memberikan penjelasan pada pihak polisi.
"Siapkan berkas laporannya dan bawa orang ini untuk di introgasi" titah polisi yang beranjak berdiri dihadapan Hamdan kepada salah seorang anak buahnya untuk membawa pemuda itu.
"Laporan anda akan segera dibuat dan orang itu akan kami tahan" polisi itu mencoba memberi penjelasan pada Hamdan.
"Baiklah kalau begitu pak. Terimakasih atas kerjasamanya". Hamdan merapikan kerah jasnya kemudian beranjak pergi meninggalkan kantor polisi.
***
Keadaan Lian telah mulai membaik, meski harus menggunakan kursi roda dia tetap ingin melihat Reihan yang belum juga sadar dari komanya. Firza membantunya untuk mendorong kursi rodanya dan membawanya bersama Hilda dan keluarga Pratama yang masih menunggu di ruang tunggu rumah sakit.
Firza membuka layar ponselnya yang semenjak tadi berdering. Itu alaram pengingat bahwa hari ini akan ada pertemuan dengan kepala rumah sakit untuk kerjasama penyaluran obat-obatan dari perusahaan Pratama Corp dengan Medica Center.
"Nek, aku hampir lupa hari ini ada pertemuan dengan pemilik rumah sakit ini untuk produk obat-obatan kita"
"Ya sudah. Kalau begitu kau dan Adelia bersiaplah. Aku akan menunggu Reihan disini"
"Baiklah nek, aku pergi dulu kalau Reihan sadar atau nenek butuh sesuatu telpon saja aku".
Hilda menganggukkan kepalanya. Kemudian dia duduk di dekat Lian.
Firza mempersiapkan dirinya untuk pertemuannya. Kebetulan acara hari ini di aula rumah sakit. Cukup efektif karena aula di rumah sakit itu sangat besar. Seorang lelaki tua bersama dengan asistennya duduk diruang meeting, "Pak Thio. Jadi anda pemilik Rumah Sakit ini?" Firza tampak kaget saat pria yang dikenalnya itu menghampirinya.
"Wah, kebetulan sekali. Ternyata tuan Firza yang akan bekerja sama dengan rumah sakit kami". Wajah pria tua itu terlihat sumringah.
Tanpa perlu berbasa basi lagi mereka duduk dibangku yang telah tersedia diruangan aula itu, dalam acara rapat Firza didampingi Adelia yang duduk didekatnya.
Thio meminta Firza membacakan materi rapat dan akhirnya mereka sepakat untuk bekerjasama.
Firza dan Adelia keluar dari ruang meeting bersama Thio kemudian di depan pintu mereka saling bersalaman. "Terimakasih pak. Akhirnya perusahaan kami bisa bekerjasama dengan rumah sakit anda"
" Saya juga senang bekerjasama dengan anda." wajah lelaki tua itu menampilkan senyum tulusnya.
Sakinah baru saja mengganti cairan infus Reihan. Pria itu masih terbaring lemah diruang ICU, belum ada tanda-tanda dia akan membuka matanya. Tiba-tiba saja ada pergerakan kecil dijari tangan lelaki itu. Sakinah ingin memastikan keadaannya dan benar saja lelaki itu menggerakkan jari tangannya kembali. Kemudian perlahan membuka matanya.
"Tuan, anda sudah sadar?" Tanya wanita itu sambil memperhatikannya.
Pertama kali yang dilihatn lelaki itu adalah wajah wanita yang sangat memikat hatinya. Pandangannya masih samar tapi tetap berusaha untuk mengamati gadis itu. "Dimana aku?" Tampak kebingungan melihat sekelilingnya.
"Anda di rumah sakit, tuan jangan banyak bergerak dulu, biar saya panggilkan dokter". Wanita itu berjalan ke arah pintu. Tapi lelaki itu menggenggam tangan wanita itu sambil menatap wajahnya dengan saksama.
"Apa kau bekerja di rumah sakit ini?" Tanyanya sambil terbata.
"Aku hanya perawat di sini. Saya akan panggilkan dokter dulu ya". Wanita itu melepaskan tangan Reihan pelan dan keluar dari ruangan itu. Baru saja dia keluar, dia berpapasan dengan Thio dan Firza yang baru saja akan mengecek kondisi Reihan.
"Kenapa kau terburu-buru sekali?"
"Maaf. Tadinya saya mau panggil dokter karena tuan Reihan sudah sadar, tapi karena dokter sudah ada disini, sebaiknya dokter periksa saja kondisinya". Jelas wanita itu pada dokter Thio.
Hilda yang mendengar pembicaraan mereka segera bangkit dari kursi diiringi dengan Lian yang mendorong kursi rodanya. Begitu juga dengan Adelia yang bersama Firza ingin sekali masuk ke ruangan itu.
"Benarkah itu, sebentar saya akan memeriksanya dulu. Kalian tunggu diluar dulu". Tukas dokter paruh baya itu sambil memperhatikan orang-orang yang akan menghampiri Reihan.
Langkah mereka terhenti dan mereka membiarkan dokter itu memeriksa Reihan. Setelah dokter itu menyelesaikan tugasnya mereka dipersilahkan masuk satu persatu ke ruangan itu.
Hilda mendapatkan giliran pertama masuk. Mata wanita tua itu berkaca-kaca saat memperhatikan cucunya yang terbaring lemah. "Akhirnya kau bangun nak. Kenapa kau tidur begitu lama?" Sambil mengusap pelan wajah cucu kesayangannya itu.
Reihan bingung menatap neneknya yang terlihat begitu sedih. Dia menggenggam tangan keriput itu "nenek aku tidak tahu apa yang terjadi. Kenapa aku bisa disini?"
"Kau mengalami penyerangan saat baru saja memasuki kota ini. Apa kau ingat?" Tanya Hilda padanya.
Reihan mencoba mengingat kembali kejadian yang telah dialamalinya. Dia tidak bisa mengingat begitu banyak, yang dia ingat dia akan pergi menemui tamu dari Jepang untuk penyerahan gudang penyimpanan obat-obatan dan saat sampai di jalan utama mereka dihadang oleh para demonstran kemudian dia tidak ingat apa-apa lagi.
"Arggh..." keluhnya sambil memegangi kepalanya yang terasa sakit.
"Nak, kau kenapa?" Hilda mulai panik.
Firza yang masih bersama dokter Thio melihat kepanikan neneknya itu langsung mengajak dokter itu ke dalam ruangan itu. "Dokter, Reihan sepertinya kesakitan"
Dokter itu segera masuk dan mengecek kondisi Reihan kembali. Dia memberikan suntikan dilengan Reihan untuk menenangkan dan menghilangkan rasa sakitnya. Kemudian diapun keluar dari ruang ICU.
"Pasien harus istirahat dulu. Jangan diajak banyak bicara dulu. Ini biasa terjadi pada pasien pasca sadar dari komanya". Jelas dokter itu pada mereka yang berada diluar ruangan.
Mereka semua mengangguk memahami perkataan dokter itu kemudian duduk diruang tunggu itu.
"Tunggu sebentar dokter" Hilda mencegah dokter itu pergi.
"Ada apa nyonya?" Tanyanya sambil membalikkan tubuhnya.
"Sepertinya aku pernah mengenalmu, tapi entah dimana? Aku lupa". Hilda mencoba mengingat kembali kapan dan dimana dia pernah melihat lelaki itu, karena dia sangat yakin pernah bertemu dengan lelaki itu dan wajahnya sangat familiar bagi Hilda.
Dokter itu memperhatikan wanita tua yang berada dihadapannya dengan intens. Dia mencoba mengingat apa benar dia pernah bertemu wanita itu? Merasa tidak ada memorinya tentang wanita tua itu, lelaki itu berujar "Mungkin nyonya salah orang dan mungkin saja ada kemiripan antara orang yang anda maksud dengan diri saya".
Hilda hanya menganggukkan kepalanya menyetujui ucapan dokter itu tapi dia sangat yakin tatapan lelaki itu tidak asing baginya dan mengingatkannya pada seseorang yang begitu sangat dekat dengannya.
"Baiklah nyonya saya permisi dulu" dokter itu berpamitan padanya.
Wanita tua itu membiarkan lelaki itu pergi, dia tetap menatap lelaki itu hingga punggung lelaki itu benar-benar menghilang dari pelupuk matanya.
"Nenek, apa nenek baik-baik saja?" Tanya Adelia menghampirinya dan merangkul tubuh wanita tua itu.
"Ah... iya aku baik-baik saja" Hilda sedikit terperanjat sambil menghapus air mata yang menetes disudut matanya.
"Ayo bu. Duduklah disini" ajak Sahnaz yang memperhatikannya.
Hilda hanya mengikutinya kemudian duduk diantara Sahnaz dan Adelia. Entah kenapa rasanya tatapan dokter itu begitu lekat baginya. Apakah hany sekedar perasaan saja atau memang nyata, entahlah rasanya tatapan itu benar-benar membuatnya teringat pada seseorang yang susah tidak ingin dia ingat lagi.
Hilda menggelengkan kepalanya. Dia menepis semua perasaan itu, dia tidak ingin kembali mengingat semuanya. Ya, semua hal yang menyakitkan itu, tangisan dan kepiluan yang telah dikuburnya dan dihapus dari ingatannya. Dia benar-benar tidak ingin mengingat semuanya lagi.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments