Siang itu Sakinah sampai dirumahnya. Dia segera membuka cadar yang menutupi wajah cantiknya kemudian bergegas menuju dapur. Para ART rumah itu melihat wanita itu sedang mempersiapkan makanan. Salah satu dari mereka menyapanya "Nona, biar aku saja yang mengerjakannya. Sebaiknya nona istirahat saja".
"Tidak apa-apa Maya, aku hanya menyiapkan makanan kesukaan ayah. Kau tahu sendirikan ayah selalu bilang dia sangat suka sup ayam buatanku" ujarnya sambil tetap memotong sayuran dengan rapi.
"Kalau begitu biarkan saya membantu nona"
Wanita itu mengangguk dan tersenyum pada Maya.
Ketika mereka sedang asyik membuat makanan, seorang lelaki muda menghampiri mereka.
"Aku cari kemana-mana ternyata kau ada disini" ujarnya pada Sakinah.
"Kak Zian ada apa?" Sakinah menatap kepada lelaki itu.
"Kau sudah diberitahukan oleh ayah mengenai acara berbagi amal yang akan digelar besok?"
"Oh iya. Aku hampir lupa tadi aku sudah membeli semua kebutuhan untuk acara besok. Ini aku juga sedang membantu untuk menyiapkan hidangan untuk besok" ujar wanita itu sambil tetap membersihkan sayuran kemudian memotongnya.
"Hei, ini kenapa?" Mata Zian tertuju pada goresan pada tangan Sakinah.
"Oh ini, hanya luka kecil kak. Tadi saat hendak pulang aku terburu-buru dan hampir tertabrak mobil? Jelasnya dengan tenang.
"Apa? Siapa dia yang berani menabrakmu hingga terluka?! Kau, apa ada yang terluka selain ini?!" Zain trrlihat panik.
"Tidak kak. Aku hanya terkejut dan terjatuh hingga tanganku tergores aspal, tidak ada luka serius dan orang itu juga telah meminta maaf padaku".
"Ya sudah. Lain kali berhati-hatilah. Kalau ada orang yang mengganggumu kau bilag saja padaku". Ujar Zian penuh perhatian pada Sakinah.
Sakinah hanya tersenyum padanya. Maya tersenyum sambil menyenggol bahu Sakinah. Seakan memahami Zian bukan sekedar perhatian pada wanita itu tetapi mempunyai rasa lebih padanya.
Di teras seorang pria tua sedang bercengkrama dengan seorang pria paruh baya yang disisinya ada seorang wanita yang merupakan istrinya.
"Hariz, apa kau sudah mempersiapkan untuk acara besok?" Tanya Jamie pria tua yang sedang duduk dibalkon sambil memandangi keindahan alam disekitarnya.
"Sudah ayah. Aku sudah membelikan berbagai macam hadiah dan juga banyak pakaian untuk anak-anak yang akan hadir besok"
"Ayah, tadi aku juga membelikan sedikit makanan dan bahan pangan untuk mereka". Timpal Denia istrinya.
Lelaki tua itu tersenyum dan menganggukkan kepala merasa senang dengan perbuatan mereka.
Seperti biasa, keluarga itu akan mengadakan acara syukuran setiap tahunnya dengan mengundang anak-anak yatim dan para dhuafah ke rumah itu hanya sekedar untuk bersedekah dan membagi-bagikan makanan.Keluarga yang terkenal dengan kedermawanannya. Kebiasaan itu telah menjadi tradisi dalam keluarga ini dna yang hadir dalam acara itu tidak terbatas untuk berbagi pada kaum dhuafah saja, tapi juga membuka kesempatan pada siapapun yang ingin hadir ke acara itu. Semacam open house.
***
Sahnaz menghampiri Adelia yang sedang duduk di taman. " boleh aku duduk bersamamu?"
"Untuk apa kau ke sini?" Air mukanya langsung berubah seketika.
"Apa kau begitu membenciku?" Tanya Sahnaz menatap dalam wajah putrinya.
"Sudahlah. Aku tidak ingin berdebat dan aku tidak ingin bicara denganmu". Adelia mengangkat tubuhnya untuk beranjak dari wanita yang berada dihadapannya.
"Tunggu" wanita itu mengcengkram pelan tangan Adelia.
"Apa yang ingin kau katakan?" Desak Adelia merasa jengah didekatnya.
"Duduklah sebentar aku ingin menceritakan sesuatu padamu" bujuk Sahnaz padanya.
Adelia memutar bola matanya, merasa malas ingin berbicara tapi dia tetap duduk sambil memalingkan pandangannya dari mata wanita itu.
Sahnaz mengulurkan tangannya dan menyerahkan sebuah foto yang didapatkannya dikamar tadi.
Adelia mengambil foto itu dan menatapnya. Terlihat seorang wanita sedang menggendong anak kecil berumur tiga tahun bersama seorang pria. Dia mengernyitkan alisnya, masih belum paham apa maksud ibunya itu.
"Kau tahu, ini adalah foto ibu, kau dan ayahmu". Jelas Sahnaz padanya.
"Ayah?!" Hati kecil gadis itu tersentuh saat Sahnaz menyebut pria difoto itu adalah ayahnya. Lelaki bertubuh tinggi yang mengenakan kemeja dan celana panjang difoto itu terlihat tampan dan senyuman yang terukir dibibirnya memperlihatkan kesederhanaannya namun trtap terlihat berwibawa, dia menatap foto itu dengan intens. Sekilas ada kemiripan wajahnya dengan pria itu.
Flash back on
Saat
"Sahnaz, hari ini ibu akan mempertemukanmu dengan seorang pria" Hilda berbicara serius.
"Maksud ibu apa?" Tanyanya tidak memahami.
"Umurmu sudah pantas untuk menikah, kau akan aku jodohkan dengan seorang anak dari rekan bisnisku" Hilda menegaskan maksud perkataannya.
"Ibu. Kenapa tidak membicarakan hal ini sebelumnya padaku?" Selanya sambil menatap raut wajah Hilda.
"Aku memang sengaja tidak memberitahukannya padamu, karena aku tahu kau pasti akan mendebatku".
"Tapi ibu, aku..." belum sempat dia melanjutkan perkataannya, Hilda menyanggahnya begitu saja.
"Mulai sekarang kau harus mengikuti perkataanku jika kau masih ingin berada dirumah ini. Mau tidak mau kau harus menikah dengan lelaki pilihanku" ujarnya dengan tegas.
"Ibu, kau tahukan aku mencintai Barak, aku sudah menjalin hubungan dengan sudah cukup lama"
"Ya itulah penyebabnya. Aku tidak ingin kau terus-terusan berhubungan dengan lelaki tidak berguna itu". Ucapnya dengan wajah dingin.
"Jangan berkata seperti itu ibu. Dia lelakj yang baik, dia sangat mencintaiku" belanya terhadap lelaki itu.
"Persetan dengan cinta. Aku telah memilihkan untukmu lelakj yang pantas untukmu dan keputusanku takkan berubah". Tegasnya lagi, tetap pada pendiriannya.
Hilda tidak pernah menyukai hubungan Sahnaz dan Barak karena Barak adalah lelaki biasa dan bukan dari kalangan ningrat seperti dirinya. Sahnaz pernah mengenalkan lelaki itu pada ibunya, tapi Hilda terlalu angkuh untuk menerimanya dengan segala keadaan lelaki sederhana itu.
Sahnaz tidak pernah ingin menikah dengan lelaki yang dijodohkan untuknya. Diapun berinisiatif agar pernikahan itu tidak pernah terjadi. Sahnaz mengambil ponselnya yang terletak di nakas. Kemudian menghubungi seseorang.
Tidak butuh waktu lama, telponnya tersambung " halo" seorang pria disebrang sana menjawabnya
"Barak, kau dimana?" Suaranya terkecat menahan air matanya.
"Aku sedang bekerja, ada apa Sahnaz?" Barak meninggalkan tulisan yang sedang dikerjakannya, mencoba mendengarkan dengan baik apa yang akan diceritakan oleh Sahnaz.
"Barak, bawa aku pergi bersamamu hari ini juga" tangis wanita itu tak tertahankan.
"Apa maksudmu Sahnaz" dia masih belum memahami ucapan wanita itu.
"Ibu akan menjodohkanku dengan pria pilihannya dan memaksaku untuk menikah dengannya. Saat ini ibu telah mengurungku dikamar". Ujarnya tersedu.
"Bagaimana bisa seperti itu?" Barak terhenyak dengan penjelasan Sahnaz.
"Ibu tidak merestui hubungan kita dan akan menikahkanku dengan pria asing. Aku mohon bawa aku bersamamu". Lirih gadis itu padanya.
"Bagaimana bisa? Kalau sampai ibumu mengetahui rencanamu, tamatlah kita. Kau tahukan ibumu sangat berpengaruh di kota ini dan pengawalnya juga berada disekeliling kota ini? Kita tidak akan selamat oleh mereka. Barak merasa khawatir.
"Aku tidak tahu harus bagaimana, aku sungguh-sungguh tidak ingin menikah dengannya. Kita pergi bersama dari kota ini". Pinta wanita itu penuh permohonan.
Barak berpikir cukup lama dengan permintaan kekasihnya itu. Akhirnya dia memutuskan "baiklah, aku akan membantumu. Kau keluarlah dari kediaman Pratama, aku akan menunggumu dilorong jalan tempat kita biasa bertemu".
Tanpa berpikir lama, Sahnaz mencari jalan untuk keluar dari rumah itu. Pintu kamarnya terkunci rapat karena senenjak dia menolak perjodohan itu, Hilda mengurungnya di kamar dan pengawasan dirumah mewah itu diperketat.
Sahnaz memeriksa sisi jendela kamarnya. Mungkin saja ada jalan untuk melarikan diri dari rumah itu. Benar saja pintu jendelanya bisa dibuka, tapi untuk keluar dari kamar itu sangat sulit karena jarak kamar dengan lantai dasar rumahnya sangat tinggi. Tidak kehilangan akal Sahnaz mengambil beberapa kain dilemari pakaiannya kemudian menyatukan dengan selimut menjadikannya untaian panjang. Kemudian Sahnaz turun perlahan menggunakan kain itu sari balkon.
Wanita itu telah sampai dilantai dasar. Dia melihat ke arah kiri dan kanan memastikan tidak ada orang yang memperhatikannya. Setelah merasa aman diapun berjalan sambil mengendap-endap hingga akhirnya sampai ke lorong jalan. "Barak!!!" Panggil wanita itu pada lelaki yang membelakanginya dan berada didekat mobil.
"Sahnaz. Bagaimana kau datang secepat ini?" Lelaki itu dengan cepat menghampiri Sahnaz yang terengah-engah dan memegangi tangan wanita itu agar tidak jatuh. Matanya mengawasi sekeliling lorong memastikan tidak ada bahaya yang mengancam.
"Bertanyanya nanti saja. Sekarang bawa aku pergi bersamamu" tukasnya sambil mengatur nafas.
Lelaki itu segera membawanya ke mobil. Mereka meninggalkan tempat itu secepat mungkin agar tidak ada yang membuntuti mereka.
Pagi harinya, "Sahnaz kau sudah bangun nak?" Hilda mengambil kunci kamar Sahnaz kemudian membuka pintu kamarnya.
Alangkah terkejutnya wanita itu, melihat kamar itu kosong. Dia tidak melihat keberadaan Sahnaz disitu.
"Pengawal!!!" Teriak wanita itu menggema di ruangan rumahnya.
Pengawal rumah itu segera menghampirinya "ada apa nyonya?"
"Bodoh kalian!!! Putriku menghilang, apa kalian tidak berjaga dengan baik!!!" Bentaknya pada para pengawal yang berada dihadapannya.
"Maafkan kami nyonya. Ini diluar dugaan kami. Nona Sahnaz pergi meninggalkan rumah". Jelas seorang pengawal padanya.
Hilda menamparnya dengan sangat keras. "Itu bukan jawaban!!! Cepat cari Sahnaz sekarang juga dan bawa kepadaku!!! Titahnya.
Baik nyonya" ujar mereka bersamaan. Para pengawal langsung berpencar mencari Sahnaz diseluruh penjuru kota itu.
***
Disebuah rumah sederhana, Sahnaz dan Barak baru saja menenangkan diri. Mereka sedang berada dirumah pamanya Barak yaitu paman Yuda.
Tidak ada tempat yang aman saat in bagi mereka kecuali rumah Yuda. Rumah sederhana yang cukup terpencil dan jaraknya sangat jauh dari pemukiman penduduk. Cukup aman ditinggali oleh Barak dan Sahnaz dalam masa pelarian mereka. Disana tinggal Yuda dan Safa istrinya. Mereka adalah saudara dekat dari Barak.
"Barak, Sahnaz kalian sudah beberapa hari tinggal disini. Apa kalian tidak akan kembali kepada orang tua kalian?" Tanya Yuda pada kedua remaja itu.
"Kenapa paman? Apa paman keberatan kami berada disini?" Tanya Barak. Sementara Sahnaz masih diam memperhatikan mereka.
"Bukannya begitu nak. Paman sangat senang jika kalian ada dirumah ini. Hanya saja paman takut kalau keluarga Pratama tahu keberadaan kalian. Mereka akan menyerang kita".
"Aku yakin paman. Semuanya akan aman-aman saja. Tempat ini sangat jauh dari pemukiman penduduk". Ujar Sahnaz.
"Lantas bagaimana dengan hubungan kalian?" Safa istrinya.
Sahnaz dan Barak saling menatap. Mereka paham, saat ini belum dalam hubungan pernikahan, meskipun dirumah paman mereka tidur ditempat terpisah namun hubungan mereka itu juga yang membuat Yuda dan Safa khawatir.
"Paman. Kami sangat mengerti yang menjadi kekhawatiran paman saat ini, maka dari itu kami datang ke sini supaya mendapatkan restu dari paman dan bibi agar kami bisa menikah". Jela Barak sambil menggenggam tangan Sahnaz.
Awalnya sempat ada keraguan dari Yuda dan Safa, setelah mempertimbangkan kembali. Daripada terjadi hal yang tak diinginkan. Akan lebih baik niat mereka untuk menikah dipermudah saja. Akhirnya Yuda dan Safa menyetujui pernikahan mereka. Mereka telah sah secara agama, karena memang pernikahan mereka belum bisa dilegalkan. Mereka takut kalau nanti berita pernikahan mereka sampai ke telinga keluarga Pratama akan menjadi masalah besar.
***
"Sudah satu hampir satu tahun, apa kalian belum mendapatkan kabar tentang Sahnaz dan lelaki miskin itu?" Tanya Hilda pada pengawalnya.
Sejenak suasana hening.
"Nyonya, aku mendapatkan informasi tentang nona Sahnaz" Hamdan datang menghampiri Hilda dengannafas tersengal-sengal.
Hilda menatap Hamdan. Orang kepercayaannya itu dengan intens.
"Apa kabar yang kau dapatkan? Apakah itu kabar baik atau kabar buruk?" Tanyanya dengan sorot mata yang tajam.
"Aku bawa kabar baik dan buruk nyonya. Kabar baiknya aku telah mengetahui keberadaan nona Sahnaz dan kabar buruknya dia telah menikah dengan kekasihnya dan sekarang dia baru saja melahirkan seorang anak perempuan". Jelas Hamdan pada wanita tua itu.
"Apa? Mereka telah menikah?" Hilda terhenyak. Ada rasa tak percaya namun jika hal itu benar dia harus menemukan anaknya secepatnya.
"Iya nyonya aku telah mendapatkan kabar dari masyarakat sekitar mereka tinggal dirumah Yuda, paman dari Barak" ujar Hamdan.
"Baiklah kalau begitu kau bawa seluruh anggotamu, dan tunjukkan padaku dimana keberadaan mereka". Titah Hilda.
Hamdan segera mengumpulkan anggotanya kemudian mereka menuju ke rumah Yuda hari itu juga. Mereka melakukan penyerangan terhadap keluarga itu. Hingga akhirnya menemukan bayi perempuannya Sahnaz. Hilda merampas bayi yang baru berumur satu bulan itu dari tangan Sahnaz kemudian membawanya pulang ke rumah Pratama. Sedangkan Sahnaz dan Barak tidak diketahui keberadaana mereka, karena saat itu mereka sedang pergi keluar rumah untuk membeli kebutuhan mereka.
Falshback off
"Begitulah cerita yang sebenarnya tentang aku dan ayahmu" ucap Sahnaz mengakhiri ceritanya pada Adelia putrinya.
"Apakah itu benar?" Adelia mulai berkaca-kaca dengan cerita Sahnaz, tapi masih belum mempercayainya.
"Aku ibumu dan aku bersumpah demi Barak suamiku, bahwa apa yang kukatakan padamu adalah yang sebenarnya!!!" Sahnaz menekan tiap ucapannya untuk meyakinkannya.
"Kalau memang Barak ayahku, dimana dia sekarang? Dan mengapa nenek mengatakan kau meninggalkanku di panti asuhan?" Adelia bertanya dengan suara lirih.
"Aku telah berpisah dengan Barak dan mengenai perkataan nenekmu. Aku rasa hanya untuk membuatmu membenciku" Sahnaz masih menatap putrinya sambil menggenggam tangannya. Agar tiada lagi keraguan dihati Adelia padanya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments