Sahnaz mengetuk pintu kamar Adelia sambil berdiri di depan pintu kamar itu "apa aku boleh masuk?"
"Ada apa?" Ujar Adelia sambil menoleh ke arah pintu, memperhatikan seseorang yang berada disana dengan tatapan malas.
Sahnaz menghembuskan nafas berat sambil menuju ke arah Adelia kemudian duduk disisinya. "Apa aku mengganggumu?"
"Tidak. Katakan saja apa yang ingin kau katakan".
"Kenapa kau begitu membenciku dan tidak ingin memanggilku ibu, sekali saja?" Tatapannya menyendu memerhatikan gadis muda itu.
"Aku rasa itu tidak perlu dibahas".
"Tapi aku ingin membahasnya".
"Haruskah?".
"Tentu saja. Kau anakku, aku yang mengandungmu selama sembilan bulan dan aku yang melahirkanmu".
"Tapi kau tidak pernah merawat dan mendidikku".
Ucapan ketus Adelia barusan membuat hati Sahnaz tertusuk. Mengapa anaknya begitu membencinya, padahal tujuannya menemui gadis itu untuk berbicara dan menemaninya, tapi sampai detik ini dia tidak mau bicara dengan ramah padanya atau menyebutnya ibu. Apa sebenci itukah anak itu padanya?
Sejenak suasana hening. Merasa terluka Sahnaz membalikkan tubuhnya untuk segera pergi dari hadapan Adelia. Hatinya terluka, ingin rasanya dia menangis tapi tidak ingin terlihat oleh putrinya. Dia melangkahkan kakinya keluar dan...
"Ibu" suara itu terdengar lirih memanggilnya.
Deg!!!
Wanita itu menghentikan langkahnya dan matanya menatap lurus ke depan. Hatinya terpanggil, apa benar yang baru saja didengarnya? Apakah dia tidak salah dengar?
"Ibu" suara itu terdengar lagi. Benar dia tidak salah dengar dan untuk pertama kalinya Adelia memanggilnya ibu. Dia langsung membalikkan tubuhnya dengan wajah berseri dan buliran air mata menggenangi wajahnya, dia langsung memeluk gadis itu. Dia mendekapnya dengan erat seakan tak ingin melepaskan putri kecilnya itu. Dia kembali mengingat betapa bagaimana putri kecilnya itu telah hilang dan hari ini telah kembali lagi.
Adeliapun tak kalah terharunya, secara sadar ataupun tidak dia memeluk erat wanita itu dan meneteskan air mata.
"Katakan sekali lagi nak ibu ingin mendengarnya" pinta wanita itu dengan suara bergetar sambil memperhatikan wajah putrinya.
"Iya, ibu" ulangnya sekali lagi.
Begitu senangnya hati Sahanaz mendengar ucapan ibu dari bibir mungil Adelia membuatnya mengecup kening dan seluruh wajah anak itu dengan penuh kerinduan.
Adelia. Memerhatikan wajah sendu ibunya dan menghapus air mata yang menetes diwajah ibunya.
"Maafkan aku ibu, selama ini aku sudah keterlaluan padamu".
"Tidak apa-apa nak ibu bisa memakluminya"
Malam itu menjadi momen bahagia antara ibu dan anak yang baru saja bertemu. Perasaan mereka menghangat seketika.
Adelia teringat akan berita online yang dilihatnya di internet. Diapun segera mengajak Sahnaz duduk didekatnya dan mulai bertanya lagi.
"Ibu, maukah kau menceritakan padaku tentang Haikal Barak ayahku?"
Sahnaz tersenyum mendengarkan ucapan anaknya bibirnya melebar penuh kebahagiaan, karena anaknya menanyakan tentang ayahnya. Kemudian dia menceritakan hal-hal baik tentang lelaki itu dan juga bercerita tentang pertemuan indah mereka.
Adelia mendengarkan dengan penuh antusias. Sampai akhirnya dia bertanya kembali, "apakah ada hal lain yang ingin kau ketahui tentang ayahmu"
"Ibu aku pernah melihat disuatu berita tentang sebuah pesawat menuju ke Belgia yang tiba-tiba menghilang begitu saja dan didalamnya ada seorang aktifis HAM bernama Barak Haikal. Apakah itu ada hubungannya dengan..."
"Tidak!!!" Jawabnya tegas sebelum pertanyaan Adelia selesai. Air mukanya berubah menegang, namun dengan cepat dia mengebdalikan dirinya "hmm... Mungkin saja itu hanya nama yang sama, karena yang bernama Barak Haikal itu tidak hanya satu di dunia" ujarnya gugup seperti sedang menutupi sesuatu.
Adelia hanya mengiyakannya begitu saja. Seakan mempercayai ucapan wanita itu, tapi dia sangat yakin ada sesuatu yang sedang disembunyikan oleh Sahnaz.
***
Nenek sedang duduk bersama Reihan di balkon. Menikmati indahnya pemandangan dari atas rumah di pagi hari sambil menghirup udara pagi yang menyegarkan. Diatas meja telah tersedia buahan dan beberapa hidangan untuk sarapan pagi. Tak lupa ada kopi hangat yang diletakkan dihadapan mereka.
"Reihan, bagaimana dengan tawaran nenek tempo hari?" Hilda memulai percakapan.
"Percakapan yang mana nek?". Reihan mencoba mengingat kembali.
"Tawaran untuk menikah dengan Adelia" jelas Hilda.
Reihan merapatkan bibirnya dan mayandarkan tubuhnya ke kursi sejenak. Ternyata neneknya serius dengan pertanyaannya waktu itu. Reihan sudah menemukan seorang gadis yang dia inginkan, dia ingin sekali mengenalkannya pada Hilda, tapi Reihan belum bisa mengungkapkannya.
"Hei, kenapa kau diam saja? Jawab pertanyaan nenek!?" Desak Hilda padanya.
"Ahm,begini nek. Sebenarnya... aku sudah menemukan seorang wanita pilihanku" ucapnya dengan sedikit terbata. Dia ragu untuk menjelaskannya pada Hilda saat ini.
"Siapa dia? apa lebih cantik dan lebih cerdas dari Adelia?" Hilda menegakkan tubuhnya yang tadinya releks menjadi sedikit tegas. Seakan ingin menolak pernyataan cucunya itu.
"Aku baru saja mengenalnya nek dan aku ingin mengenalkannya pada nenek setelah aku tahu tentang dia dan keluarganya". Jelas Reihan dengan sangat tenang pada Hilda.
Firza yang ingin bergabung dan baru saja menginjakkan kakinya ditempat itu menghentikan langkahnya saat mendengar percakapan serius diantara cucu dan nenek tersebut. Bukan bermaksud menguping hanya saja dia ingin memberi ruang pada mereka untuk berbicara empat mata. Firza hanya berdiri dibalik tembok dan mendengarkan pembicaraan mereka.
"Oh ya, apa kau bisa menunjukkan sesuatu tentang dirinya kepadaku?" Hilda mencoba menyelidiki.
Reihan mengambil ponselnya dari saku celananya kemudian membuka layar ponselnya dan menunjukkan foto seorang gadis berhijab dengan pakaian yang sangat sopan kepada Hilda. "Ini nek, gadis itu cantik bukan?" Pujinya saat melihatkan foto gadis itu pada Hilda.
Hilda memperhatikan wajah gadis itu dengan intens dari ujung kepala hingga ujung kaki. Nyaris tidak ada cela padanya. Wajahnya yang ayu, senyuman manis dan kulit putih bersih memancarkan kecantikan alami darinya. Wajahnya juga seperti orang terpelajar.
Sejenak wajah tua itu melukiskan senyum memperhatikan foto gadis itu. Reihan yang memperhatikannya merasa mendapatkan lampu hijau dan penuh harap.
"Sudah berapa kau mengenalnya?"
"Baru beberapa hari nek. Sewaktu aku pergi mengurus proyek tidak sengaja bertemu dengannya."
Reihan juga menjelaskan pada Hilda, awal pertemuannya dengan gadis itu sampai dia bisa mengenal gadis itu.
"Hmmm kau benar-benar menyukainya?" Tanyanya kembali.
"Sangat. Aku sangat menyukainya nek" dia menjawab dengan penuh kepastian.
"Baiklah kalau begitu kau harus mengenalkanku padanya" tegas Hilda pada Reihan.
"Tentu, tentu saja aku akan mengenalkannya pada nenek, tapi aku minta waktu agar bisa membawanya ke rumah ini". Matanya membulat dan wajah pria itu berbinar.
"Aku beri kau waktu satu minggu untuk mengenalkannya pada nenek, kalau kau tidak bisa membawanya kesini dan aku tidak setuju, kau harus menikahi Adelia" tukas Hilda padanya.
"Baik nek. Aku janji dan aku yakin nenek tidak akan kecewa setelah bertemu dengannya". Reihan sangat yakin dia bisa menepati janjinya pada Hilda. Meskipun tantangan satu minggu itu bukanlah hal yang mudah tapi dia tetap menyanggupinya demi bisa mendapatkan wanita pilihannya dan menikahi gadis itu.
Hilda hanya menganggukkan kepala dan memperhatikan Reihan. Dia sangat tahu benar watak cucunya itu. Jika menginginkan sesuatu pasti dia akan berusaha mendapatkannya apapun caranya. Oleh sebab itu Hilda memberikan ruang untuk lelaki itu berusaha. Walaupun pada dasarnya Hilda menginginkan Adelia yang menikah dengan Reihan.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 89 Episodes
Comments