"Sial*n! Mereka kenapa sangat hebat?!"
Nampaknya tim lawan sedang tertekan dan terdesak, mereka meminta time out, mengubah semua rencana dan membuat rencana lain agar bisa membalikkan keadaan. Kapten dari tim XII-A adalah Ace kebanggan tim basket putri sekolah mereka, dan dengan kenyataan jika mereka di sudutkan oleh anak-anak baru, tentu saja menggores harga diri mereka sebagai tim basket putri andalan sekolah.
"Yang paling bikin susah itu si pirang yang bahkan tingginya nyaingin kapten." Salah satu anggota menatap pada tim lawan yang juga tengah mengatur strategi, tapi tatapan itu tertuju pada satu orang yang di maksud, Cathrine.
"Gimanapun juga, kita gak boleh jatuhin harga diri kita, kita harus bisa kalahin mereka, gimanapun caranya." Sang kapten berujar dengan penuh tekad. Anggota yang lain tentu tidak punya pilihan lain selain menyetujui hal itu.
Priittt!
Ketika peluit di tiup, kedua tim kembali ke lapangan dan melanjutkan pertandingan yang tertunda. Kali ini pertandingannya sedikit berbeda, bukan hanya para pemain yang merasakan tekanan itu, para penonton yang berada di tribun dan teman sekelas yang melihat di pinggir lapangan juga merasakan tekanan itu.
"Apakah ini hanya perasaanku saja atau memang mereka bermain lebih agresif dan brutal?" Tanya Hera entah pada siapa.
"Tidak, itu bukan perasaanmu, tapi mereka memang menjadi lebih agresif dan brutal. Mungkin ingin segera mengakhiri pertandingan ini." Luna tiba-tiba menyahut dari arah belakang Hera, gadis itu mengoper bola pada Hera yang kemudian hendak dia drible, tapi di rebut dengan kasar oleh tim lawan.
"Sial*n, jadi mereka mau main kasar? Oke, kita layani." Hera memberikan kode pada Cathrine yang barada di sebrang tempatnya, tapatnya berada di area lawan.
Dengan garakan horizontal, gadis dengan rambut sebahu itu membuat gerakan seakan
memotong lehernya sendiri dengan ibu jarinya. "K*ll them!"
Cathrine yang mengerti dengan kode itu lantas tersenyum lebar dan berlari mengejar tim lawan yang memegang bola, "Okay, let's end this game." Gumamnya dengan tatapan seolah dia berada di bawah kendali sesuatu.
Dengan gerakan cepat dan mulus, gadis dengan perawakan tinggi itu lantas merebut bola dan mengopernya dengan cepat pada Gladis yang telah menunggu. "Ah, tidak ada belas kasihan." Sembari bergumam, gadis itu kembali mencetak tiga poin.
Tidak seperti sebelumnya yang penuh dengan teriakan semangat para penonton, kali ini hampir semua orang di tribun maupuan di pinggir lapangan terdiam, mereka merasa tercekat melihat permainan yang dilakukan oleh kelas X-A. Terlalu cepat dan sangat intens, bahkan beberapa anggota tim lawan sangat kewalahan dan beberapa kali terjatuh, entah karena ankle beak yang dilakuakn lawan, atau karena mereka sudah tidak bisa menjaga keseimbangan tubuh mereka sendiri.
"Gila, ini kita udah kayak nonton pertandingan internasional."
"Gue yang gak ikut maen aja sampe kebawa suasana."
"Kayaknya tim basket putri bakalan di ganti, deh."
"Iya kayaknya, liat tuh, guru olahraga sampe senyum-senyum gitu."
Para penonton mulai berbalik arah mendukung kelas X-A yang sebelumnya mereka remehkan, karena bagaiamanapun mereka melihat, hasilnya sudah terlihat. Hal itu tentu saja membuat ketua tim lawan semakin panas dingin, dengan impulsif dia merebut paksa bola yang berada di tangan Luna dan bahkan dengan sengaja mendorong tubuh Luna yang tergolong kecil dengan tubuhnya yang lebih besar.
Karena ketidaksiapan, Luna terjatuh di dingainnya lantai lapangan dengan posisi berbaring menyamping, dorongan dari ketua tim lawannya tidak main-main, dia bahkan terlempar sekitar satu meter, membuat baik tim Luna maupun tim lawan terkejut.
Bersamaan degan itu, peluit tanda berakhirnya permainan ditiup, membuat Luna yang baru saja berusaha untuk duduk tersenyum kemenangan kearah lawannya yang menatap tak percaya. "Berakhir." Ujarnya tanpa suara, dan kembali membuat raut wajah kesakitan.
"Luna!"
Hera dan teman-temannya berlari bersamaan mendekati Luna, mereka mengerubungi gadis itu dan menanyakan keadaan gadis itu. "Aku baik-baik saja." Luna tersenyum dan menatap teman-temannya dengan mata tenang.
Tapi langsung berubah menjadi raut kesakitan dan sebuah ringisan terdengar dari bibir kecil itu. "Aakkh- Hei!" Luna menatap tajam dan kesal pada si pelaku yang baru saja memegang tangannya yang tadi menjadi tumpuan saat dia terlempar dan terjatuh.
"Oh, baik-baik saja?" Orang itu, Galdis. Dia memasang wajah seakan dia tidak bersalah, membuat Luna kesal dan menatap sengit pada si empu, tapi jatuhnya malah terlihat menggemaskan di mata gadis berkacamata itu.
"Iya, sakit. Puas?!" Luna mencebik kesal, dia kembali menghindar saat Gladis kembali ingin menyentuh bagian yang terasa sakit. "Kubilang sakit!" Tukasnya, matanya berkaca-kaca.
Gladis terdiam dan kemudian memalingkan wajahnya, telinganya memerah, dia juga menutup mulutnya yang hendak tertawa. Membuat Luna semakin kesal dan kemudian menatap pada teman-temannya yang lain, tapi mereka juga melakukan hal yang sama.
Bibir tipis gadis itu melengkung kebawah, apakah mereka mentertawakannya?! Apakah kondisinya yang seperti ini terlihat lucu dan menyenangkan? Luna tidak terima!
"Minggir!"
Entah karena apa, orang-orang yang sebelumnya mengerubungi Luna langsung menyingkir kala mendengar suara rendah dan dingin dari arah belakang mereka.
Dan saat kerumunan sedikit menjauh dan membelah, seseorang berjalan mendekat pada Luna yang masih duduk di posisinya, gadis itu mendongak menatap pada kakak ketiganya yang kini berjongkok di hadapannya.
"Ka-"
"Ceroboh!"
Belum sempat Luna berbicara, Luke memotong perkataan gadis itu dengan nada terkesan dingin dan menekan, membuat Luna terdiam dan menundukkan kepalanya.
Luke yang menyadari kesalahannya lantas menghela nafas dalam, tangannya terulur untuk mengelus puncak kepala adiknya yang sedikit lepek karena keringat, tidak jauh berbeda dengan dirinya.
"Sorry Princess, kakak tidak bermaksud seperti itu." Kali ini ucapan Luke melembut, tatapannya juga melembut, membuat orang-orang disekitar menjatuhkan rahang mereka saking shock-nya.
Luna hanya mengangguk, dia lantas mengangkat kembali kepalanya dan menatap sang kakak, tangannya terlentang kedepan, seolah meminta untuk dibantu berdiri.
Tapi Luke bukan membantunya berdiri, pria itu malah menggendong Luna ala bridal. "Pertandingannya selesai, jadi saya akan membawa Luna ke ruang kesehatan." Luke berujar pada guru olahraga yang berdiri tak jauh darinya.
"Ya, bawa dan segera obati, bapak akan menjelaskan situasi ini pada guru yang lain nanti." Guru olahraga kemudian menyelesaikan pembelajarannya dan memberikan bonus waktu istirahat pada kelas X-A putri.
*****
"Kakak."
"....."
"Kakak~"
"....."
Luna berkali-kali memanggil Luke, tapi pria itu hanya diam dan fokus mengobati lengan sebelah kiri sang adik yang lecet. Memang bukan luka besar, tapi jika dibiarkan bisa jadi infeksi.
Selesai mengobati sang adik, Luke lantas menyimpan kembali kotak P3K pada tempatnya, kemudian duduk di kursi yang berada tepat sebelah brankar tempat adiknya duduk.
"Kakak dengarkan."
Setelah mengatakan itu, Luke menatap sang adik dengan tenang, dia diam dan tak berkata apapun lagi, membuat Luna kehilangan kata dan tidak tahu harus berkata apa.
Melihat keterdiaman Luna membuat Luke lagi-lagi menghela nafas dalam, dia lantas beringsut mendekat pada sang adik, diambilnya tangan yang lebih kecil dan dicium dengan lembut.
"Ada apa, hm?" Tanyanya dengan lembut, mengusap punggung tangan Luna dan menatap Luna dengan tenang.
"Kakak, marah?" Gadis itu bertanya dengan nada kecil, dia menunduk tidak berani menatap mata yang penuh dengan kelembutan dan ketulusan itu.
Terdengar kekehan kecil dari pria yang dijuluki sebagai Ace sekolah itu, membuat Luna mengangkat kepalanya dan kembali menatap sang kakak.
"Siapa yang marah? Apakah kamu melihat wajah kakak seperti wajah yang sedang marah?"
"Tapi tadi?"
Luke menggelengkan kepalanya, "Kakak bukan marah kepadamu, kakak hanya terlalu khawatir."
Luna diam, kemudian dia mengangguk.
"Tapi kakak juga kesal, karena kakak tahu bahwa adik kakak yang cantik ini dengan sengaja melemparkan diri pada lawanmu tadi."
Kali ini Luna membelalakkan matanya, dia menatap kaget pada sang kakak yang mengetahui rencananya. "Kok kakak tahu?" Tanyanya dengan masih memasang wajah terkejut.
Luke terkekeh, dia lantas mengusap dengan pelan pipi sang adik yang terasa empuk dan halus. "Kakak selalu memperhatikanmu." Jawabnya santai.
"Apa kamu memiliki sebuah masalah sebelumnya dengan kapten basket putri? Kenapa kamu seperti sengaja memancing dia untuk melakukan hal seperti tadi? Bahkan orang yang mempercepat ritme permainan juga adalah kamu. Kenapa kamu melakukan itu?" Pertanyaan beruntun dari Luke sukses membungkam Luna.
Bagaimana bisa Luke mengetahui semua rencananya? Apakah dia mengetahuinya hanya dengan melihat gerak geriknya saja? Fikir Luan dengan bercabang.
"Jadi? Kenapa?"
Luke menuntut jawaban, dia bahkan menatap tepat di mata Luna yang sedikit terkejut, tapi kemudian langsung berubah normal kembali dan tersenyum dengan mata menyipit.
"Sebuah dendam masa lalu?"
•
•
•
Bersambung...
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 86 Episodes
Comments
Nur Hayati
seneng Bu liat interaksi Luke ke Luna... kalau punya kakak kaya gitu gimana rasanya yah 😁
2023-12-09
3
Nurmiahana Nana
hahahaha kasihan deh kalian semua yg menjadi target ya Luna 😀 jdi saksikan kekejaman Luna 👌
2023-12-07
0
Shai'er
lanjut Thor💪💪💪
makasih banyak🥰🥰🥰
sehat selalu💖💖💖
2023-11-18
0