Eno masih linglung saat ini turun dari sepedanya dan bengong melihat mobil yang baru saja menyalipnya dengan ugal-ugalan mogok.
"Apa benar kutukan gua manjur lagi?". Eno bergumam sendiri dan masih tampak ragu, melihat ke langit dan kebetulan melihat burung terbang.
"Ugal-ugalan banget loe terbang burung! Gua kutuk loe jatuh". Eno mengulangi mengutuk untuk memastikan, siapa tau ini adalah hadiah tersembunyi dari System Errornya.
Itu benar-benar jatuh tepat di atas kepala Eno tapi bukan burung yang terbang melainkan kotorannya.
"Sepertinya kutukan gua cuma kebetulan aja tadi itu". Eno tampak kecewa sambil mencium kotoran burung yang dia ambil dari rambutnya.
Di dalam mobil Mercedes hitam Leona melihat ke belakang dan benar punggung yang sangat familiar dia liat tadi memang milik pemuda yang dia kagumi.
"Nona Leona kenapa kita berhenti? Apa nona butuh sesuatu?". Sang sopir di belakang kemudi bertanya heran karena beberapa saat yang lalu majikannya suruh ngebut dan sesaat kemudian suruh dia untuk berhenti.
"Pak tunggu di mobil, saya mau keluar sebentar". Leona tidak menjawab rasa ingin tau dari sang sopir dan langsung membuka pintu untuk keluar.
Kali ini Leona bertekad untuk berbicara dan menyapa Eno dan meminta maaf soal insiden di aula tadi.
Setelah membersihkan kotoran burung dari atas rambutnya Eno kembali menaiki sepedanya, belum sempat dia mengayuh dia melihat seseorang wanita keluar dari mobil hitam yang berhenti di depan sana.
Semakin Eno melihat semakin dia terkejut karena Eno mengenal wanita itu.
Wanita teman sekelas sekaligus wakil ketua kelasnya.
Wanita yang mempermalukan dia dengan sangat menyakitkan di rapat sekolah tadi siang.
Apa kurang dia merendahkan gua di sekolah?
Apa dia mau menghina gua lagi?
Eno bertanya dalam diam melihat wanita itu yang melangkah pelan menghampirinya.
Kaki ayo mengayuh kenapa kamu diam saja, ayo cepat kita pergi dari sini. Eno mencoba menggerakkan kakinya untuk mengayuh sepeda tapi entah kenapa itu terasa sangat berat sekali.
Leona telah sampai di depan Eno dengan jarak 7 meter di antara mereka.
Leona diam dan Eno pun diam, mereka saling memandang dengan pikiran yang bertolak belakang berbeda.
Leona berfikir bagaimana cara minta maaf yang tepat sementara Eno berfikir bagaimana cara menguatkan hatinya jika nanti hinaan keluar dari mulut Leona.
Semilir udara sore hari tampak begitu sejuk menerbangkan daun-daun yang berguguran dari pohon tepi jalan.
Langit berwarna oranye menambah moment romantis yang tercipta, se akan-akan alam telah menciptakan ruang indah bagi dua insan yang sedang saling memandang itu.
Rambut panjang Leona menari-nari di terpa sang udara sore, Leona bisa merasakan hanya dengan menatap mata Eno dia sudah bisa merasakan kedamaian dan kehangatan di dalam hatinya.
Secara tidak sadar Leona tersenyum kecil, senyum yang begitu sempurna tercetak di wajah cantiknya dan itu bisa di lihat dengan jelas oleh pemuda di depannya.
Sialan! Kenapa anginnya kenceng banget sih, bisa masuk angin gua kalau kagak segera pergi dari sini, Eno sangat begitu polos.
Gawat wanita itu malah tersenyum mengerikan, apa jangan-jangan dia udah susun rencana untuk merendahkan gua lagi? Gua musti cepat menghilang dari situsnya berbahaya ini, Eno membulatkan tekad di dalam hatinya.
"Terima kasih!".
Di saat Leona ingin membuka bibirnya untuk bicara dia mendengar Eno berucap terlebih dahulu dan membuatnya bingung dengan arti kata terima kasih itu.
Wajah Eno saat ini datar tanpa ekspresi memandang Leona.
"Terima kasih untuk?". Leona memberanikan diri bertanya dengan jari-jari kedua tangannya yang saling terkait di bawah sana.
Leona tegang dan gugup saat ini tetapi dia tidak menunduk karena kedua matanya tetap terpaku menatap Eno.
"Terima kasih telah membuat gua sadar, orang seperti gua ini memang hanya terlihat seperti sampah kotor di mata kalian para orang kaya".
"Silahkan caci dan maki gua sampai mulut kalian berbusa karena sampah kasta rendah ini akan tetap diam tanpa bisa melawan".
Eno berucap dengan menatap tajam Leona, kedua kakinya bergerak mengayuh sepeda.
Leona terdiam, terpaku dan terkejut seakan-akan dunia berhenti saat ini juga.
Eno melewati Leona dengan sepedanya yang dia kayuh pelan.
Udara sejuk yang dari tadi Leona rasakan berubah menjadi udara panas yang menyakitkan membuat hatinya terasa begitu perih.
Daun-daun yang berterbangan tidak lagi indah di pandang mata, langit yang berwarna oranye itu tampak seperti mendung gelap penuh petir.
Moment romantis yang tercipta beberapa saat yang lalu bagaikan fatamorgana semu tentang kepahitan yang tertutup sebuah mimpi indah sesaat.
Leona tidak punya tenaga lagi untuk berdiri tegak, gadis cantik itu jatuh bersimpuh di jalan.
Butir demi butir air matanya mulai menetes membasahi pipinya yang mulus.
Leona mulai terisak dan butir air mata itu berubah menjadi aliran deras.
Leona menangis tersedu dengan perasaan yang hancur.
Pelan dia menepuk-nepuk dadanya tempat sang hati berada, hati yang telah terukir sebuah nama.
Nama pemuda yang telah dia sakiti.
Nama pemuda yang telah membenci dirinya.
Sang sopir yang berdiam di mobil melihat dari kaca spion nona nya yang tampak Aneh dengan cepat keluar dan berlari menghampiri sekilas dia berbalik melihat ke kejauhan, seorang pemuda yang tadi bicara dengan majikannya mengayuh sepeda dengan santainya.
"Ini harus saya laporkan kepada tuan besar". Gumam supir itu pelan.
...***...
"Assalamualaikum, buk? ayah? Tresno pulang". Eno berucap salam setelah membuka pintu rumahnya.
"Waalaikumsalam Cinta". Jawab seorang pria paruh baya dengan senyum.
Pria itu sedang menonton televisi dan menghisap rokok, dia adalah Sugeng ayah dari Eno dan tersangka utama yang memberi nama unik kepada anaknya.
"Ayah? kenapa jawabnya seperti itu lagi sih? Eno geli dengarnya". Eno yang sudah ada di ruang keluarga cemberut memandang Ayahnya.
"Lho kenapa geli nak? Tresno kan artinya sama dengan cinta, Ayah gak salah kan?". Pak Sugeng terus tersenyum menggoda anaknya.
"Ya ampun Cinta sudah pulang ternyata? Kok ibu gak dengar?". Seorang wanita setengah baya memakai daster dan celemek datang dan berjalan dari arah dapur, walau tanpa riasan di wajah tapi aura kecantikan wanita itu masih bisa terlihat.
Wanita itu adalah Herlina ibu Eno, kaki tangan dari tersangka utama yang bersekongkol untuk memberi dia nama Tresno Mangku Bumi.
"Ibu kok malah ikut-ikutan Ayah sih?". Eno murung berjalan menghampiri ibunya.
Herlina tersenyum kecil melihat anak semata wayangnya, tatapannya penuh akan kasih sayang yang begitu dalam.
"Ibu hanya bercanda sayang, gimana tadi sekolahnya?". Dengan lembut Herlina mengelus rambut anaknya yang lengket.
"Biasa saja Bu tidak ada yang spesial". Dengan manja Eno memeluk ibunya.
"Kok ayah di cuekin sekarang?". Pak Sugeng bangkit dan ikut memeluk anak dan istrinya.
"Bu yah, Eno gak bisa nafas ini". Eno terjepit di tengah ibu dan Ayahnya.
"Sayang rambut kamu kok bau banget sih?". Herlina mencium rambut anaknya.
"Iya Cinta, kamu gak keramas ya tadi pagi?". Pak Sugeng ikut mengendus.
"Oh itu tadi di jalan ada burung yang buang kotoran dan jatuh di kepala Eno". Jawab Eno pelan.
Herlina dan Sugeng saling berpandangan dan satu detik kemudian pasangan suami istri itu kompak melepaskan pelukan dan lari ke kamar mandi.
Eno tersenyum melihat tingkah 2 orang yang sangat dia kasihi.
"Walau seluruh duni membenci gua setidaknya masih ada Ibu dan Ayah, kasih dan sayang mereka adalah motivasi gua untuk terus maju dan bersyukur di tengah-tengah jalan badai dan berduri".
Eno bergumam pelan dan melangkah pergi masuk ke dalam kamarnya.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 41 Episodes
Comments
Nur Tini
good
2023-11-13
0
Hades Riyadi
Cinta dan kasih sayang orang tua kepada anaknya mang tidak akan pernah luntur sepanjang masa....🤔🙄😩😪😭💪👍👍
2023-11-10
2