Sarah dan Arya saling tatap, tidak menduga kalau kepura-puraan mereka malah berbuntut panjang. Apalagi dari tatapan Ryan Simon seakan tidak menyukai Arya. Sudah jelas, karena mereka tidak selevel dengannya. Di ruangan itu hanya Nella yang menganggap Arya memang pantas dan serasi untuk putrinya.
“Kenapa terkejut? Apa memang kalian tidak serius?” Ryan Simon melihat ada yang tidak beres dengan pasangan di hadapannya. “Umur kamu sudah tiga puluh tiga tahun Sarah, mau tunggu sampai kapan mengakhiri masa lajang kamu. Pantas saja keluarga Felix menginjak-injak harga diri kamu,” ujar Papa Sarah.
Perbincangan berikutnya terus menyudutkan Sarah dan Arya, semua menggiring wanita itu untuk segera menikah. Bahkan paman Sarah mengancam akan mempertimbangkan dukungannya dalam RUPS penunjukan direktur berikutnya.
Sarah terkekeh mendengar ancaman untuknya. Jelas-jelas jumlah saham dirinya juga milik Papanya bisa menjadi suara terbesar. Bagaimanapun juga ada beberapa pemegang saham yang akan mendukung mereka.
“Tapi kamu memang harus segera menikah, sayang,” tambah Nella membuat kepala Sarah semakin berdenyut.
“Arya, kamu siap menjadi menantu keluarga kami?”
Arya menatap Sarah yang hanya bisa memberikan tatapan sendu. Wanita itu pasrah dengan apa yang akan dikatakan Arya. Secara logika mana ada laki-laki yang ingin menikah dengan perawan tua macam dirinya. Arya masih muda, bahkan dia pernah mengatakan kalau Arya masih bocah pasti memilih gadis seumuran dengannya.
“Hm, siap Om.”
Sarah memukul paha Arya, tentu saja aktivitas itu tidak ada yang melihat karena berada di bawah meja. Seperti sebelumnya Arya kemudian mengunci tangan Sarah dengan menautkan jemarinya agar tidak memukul atau mencubit lagi.
“Arya,” bisik Sarah.
“Apa sayang, aku tahu kamu juga sudah siap banget. Ini kita sedang di sidang karena hal itu.”
Rasanya Sarah ingin menyiramkan wajah Arya dengan air minum yang ada di atas meja. Dengan santai Arya menjawab bahkan seolah mereka adalah pasangan yang memang saling mencintai. Kenyataannya bagai thomas dan jerry.
Segera meninggalkan tempat itu adalah pilihan terbaik, Sarah tidak ingin Arya mengatakan hal yang membuat hubungan mereka terlihat semakin int!m dan perintah menikah tidak bisa direvisi.
“Sekalian makan siang di sini saja,” ujar Nella ketika Sarah pamit undur diri,
“Aku sibuk Mah, ayo Arya.”
Arya yang sudah membayangkan akan menikmati makan siang mewah harus pasrah dipaksa keluar dari ruangan tersebut, tapi lebih baik karena Ryan Simon seakan mengeluarkan tanduknya saat Sarah meminta pria itu untuk membuat Jeny dan ibunya tidak macam-macam. Sudah pasti setelah ini akan ada perdebatan antara kedua orangtuanya.
“Padahal kita belum makan Bu.”
“Di luar saja, kamu ngga sadar suasana tadi tuh berbahaya. Papa dan Mama mau kita menikah,” ujar Sarah sambil membuka pintu mobil.
“Menikah tinggal nikah Bu, apa juga susahnya.”
Plak
“Aduh.” Arya mengusap bahunya yang mendapatkan pukulan dari Sarah.
“Menikah itu bukan main-main dan prinsip saya menikah hanya sekali seumur hidup.”
“Saya juga gitu Bu, gimana kalau kita nikah aja seperti permintaan orang tua Ibu,” usul Arya tanpa beban.
“Jalan atau kamu saya pecat!”
***
Makan siang di restoran mewah gagal, Arya akhirnya menikmati makan siang di restoran padang. Tetap nikmat apalagi bersama Sarah Alesha, bukan hanya rasa sambal hijau yang pedas tapi omongan Sarah pun ikut pedas. Sepertinya Arya sudah terbiasa dengan ucapan atau teriakan Sarah, malah kalau wanita itu hanya diam terasa ada yang berbeda atau bahkan … aneh.
Saat ini sudah lewat jam kerja berakhir, tapi Sarah masih asyik berkutat dengan pengajuan kerjasama yang harus dia approve. Ada beberapa proposal dan Arya duduk di sampingnya mencari berkas yang diinginkan oleh wanita itu.
Karena sedang konsentrasi, tentu saja Sarah tidak banyak bicara membuat Arya menatap wanita itu dari samping. Kadang wanita itu bergumam dan mengernyitkan dahi membuat Arya menggelengkan kepala membayangkan bibir Sarah yang komat kamit berucap tidak jelas mendarat di bibirnya.
“Kayaknya aku sudah gila,” gumam Arya.
“Kamu bilang apa? Siapa yang gila,” tanya Sarah tanpa menoleh.
“Tidak ada Bu. Mungkin ibu tergila-gila ke saya.”
Sarah pun terdiam lalu menoleh.
“Jangan suka random yang tidak jelas, aku harus konsentrasi karena salah approve bisa saja perusahaan akan rugi,” hardik Sarah.
“Justru itu bu Sarah, saya ada di sini untuk bantu ibu agar urusan ini cepat kelar dan yang penting adalah sebagai penyemangat Ibu. Ibu senang ‘kan saya ada di sini, coba waktu masih dengan Pak Edric pasti berdebat terus.”
“Kamu tuh ….”
“Ayok lanjut lagi. Ibu butuh data apalagi?”
Hampir pukul sembilan malam, Arya sudah menunjukan rasa lelahnya. Bahkan Melan sudah diminta pulang oleh Sarah sejak tadi.
“Akhirnya.” Sarah berdiri lalu meregangkan otot tubuhnya setelah sekian jam duduk tentu saja membuat beberapa bagian tubuh terasa pegal.
“Ini seriusan sudah selesai Bu?”
“Hm. Kami rapikan lagi, mana yang approve dan tidak. Juga dokumen sebagai bahan pembanding, simpan kembali ke bagian arsip.”
“Siap, sayang.”
Sarah mendelik mendengar ucapan Arya.
“Maksud saya, siap Bu Sarah.”
Sarah dan Arya sudah dalam mobil yang mulai meninggalkan perusahaan.
“Mau pulang kemana Bu?”
“Apartemen, tapi mampir dulu ya kita belum makan malam.” Arya pun patuh, ia mengarahkan mobil menuju salah satu restoran yang dilewati sesuai petunjuk Sarah. Padahal ingin sekali membuatkan makanan untuk wanita itu, yang lebih sehat daripada harus makan diluar.
Suasana Resto masih lumayan ramai, Sarah dan Arya mendapatkan meja tidak jauh dari mini stage. Sarah sudah menyebutkan pesanannya dan Arya menyamakan pesanan karena enggan memilih. Selain rasa lapar karena sudah lewat jam makan juga lelah membuat keduanya ingin segera pulang dan beristirahat.
“Saya ke belakang dulu, Bu.”
“Hm, jangan lama ya.”
“Ya ampun bu, saya Cuma ke toilet masa takut banget saya tinggal sih. Ayo, ikut ajalah.”
Sarah sudah memegang gelas dan menatap tajam Arya yang terkekeh lalu melepaskan tangan Sarah dari gelas.
“Jangan dilempar Bu, banyak saksi. Jangan kesel-kesel sama saya, takutnya nanti malah gemes,” ujar Arya langsung bergegas ke belakang.
“Hah, capek amat dah. Gimana kalau Bu Sarah sudah berkeluarga, masa jam segini masih ada di luar rumah,” keluh Arya. “Kalau Sarah jadi nyonya Arya, sudah pasti geraknya akan gue batasi.”
Arya kembali menuju meja tadi, tapi langkahnya terhenti ketika melihat Sarah berbicara dengan seorang pria paruh baya. Ia begitu mengenal sosok itu dan tidak mungkin menghampiri mereka. Belum saatnya. Arya memilih keluar dari restoran menuju mobil lalu mengirimkan pesan mengatakan ia sudah menunggu di luar.
“Langsung pulang!” titah Sarah saat sudah duduk dan menutup pintu.
Arya hanya diam, tapi penasaran apa Sarah mengenal pria tadi.
“Saya sempat lihat ada yang menghampiri Ibu, tadinya mau saya samperin takutnya lawan bisnis atau ….”
“Pak Adam, pernah jadi rekanan perusahaan dan kawan lamanya Mama.”
Deg.
Arya sedang konsentrasi pada kemudi, tapi terganggu dengan penjelasan Sarah.
“Edric yang kenal dekat dengan Pak Adam. Dia sedang cari anaknya yang kabur. Aneh ya, di mana-mana orang itu mau hidup berkecukupan ini malah kabur dan tidak mau ikut campur bahkan meneruskan bisnis orang tuanya.”
“Mungkin dia punya alasan sendiri, Bu. Mana kita tahu.”
“Mungkin dia tidak waras. Gimana kalau Pak Adam tidak bisa lagi menangani usaha propertinya. Bimantara Property, sama kayak nama kamu.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Sri Widjiastuti
Adam bapaknya Arya niii😁😁sukurrr
2025-01-19
0
Arieee
anak nya org kaya si Arya🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣🤣
2024-06-14
0
Fi Fin
ini pak Adam yg bpk nya Teja bkn ya yg di novel menikahi bujang lapuk ..trs Arya ini anak yg mana pak Teja kan anak bungsunya pak Adam dr istri keduanya
2024-04-01
0