“Bu Sarah kenapa?” tanya Melan saat Sarah melewatinya dengan wajah judes. Sebenarnya sudah biasa Sarah seperti itu, tapi kontras dengan Arya yang bergaya sok cool bahkan mulutnya komat kamit bersenandung (bukan baca mantra).
Arya mengedikkan bahunya lalu duduk di kursi yang tersedia di depan meja Melan. Menangkup wajahnya dengan tangan kanan, memperhatikan apa yang dikerjakan wanita itu. Sesekali bertanya random bahkan rayuan gombal membuat Melan terkekeh.
“Udah ah, nggak konsen nih kamu ajak bercanda terus.”
“Siapa yang ngajak bercanda.”
Obrolan Arya dan Melan terhenti karena dering telpon dan wajah Melan langsung berubah serius setelah mengakhiri panggilan.
“Kamu diminta Ibu ke dalam,” titah Melan setelah menghela pelan. Sepertinya telpon dari Sarah dan ia mendapat teguran mungkin juga makian yang berhasil membuat mood entah ke mana.
“Ibu siapa?” tanya Arya sambil membuka ponselnya.
“Ibu Sarah, masa Ibu aku.”
“Waduh, Ibu kamu nyuruh aku masuk jangan-jangan diminta taaruf. Bilang aku belum siap.”
“Ish Arya, cepat sana masuk nanti aku dimarahi Bu Sarah lagi.” Melan bahkan sampai menarik tangan Arya agar beranjak dari kursinya.
Sedangkan di dalam ruangannya, Sarah masih emosi dengan ulah dua rekan bisnis dan juga teman lamanya. Membahas masalah Felix, mengingatkan kembali sakit yang pernah ia rasakan.
“Memang kenapa kalau aku belum menikah, apa urusannya dengan mereka,” gumam Sarah lalu menarik nafas dan berusaha fokus. Jabatannya sebagai direktur tentu saja memerlukan fokus dan konsentrasi, menye-menye karena masalah percintaan hanya akan membuatnya terpuruk dan berimbas pada perusahaan.
“Ibu panggil saya?”
“Lain kali sigap, jangan harus aku hubungi baru datang.”
Arya tidak menyahut dan sudah duduk di hadapan Sarah, siap menerima perintah. Sempat menoleh ke arah sofa yang terlihat menggiurkan untuk ia tempati.
“Kamu kroscek proposal tadi, ini juknis standar penerimaan kerjasama perusahaan. Pastikan benefit yang didapat perusahaan kalau kerjasama itu kita lakukan. Buatkan memo kesimpulannya dan tandai apa yang tidak masuk akal, aneh atau tidak sesuai.”
Sarah kembali fokus dengan layar laptop sedangkan Arya garuk-garuk kepala yang tidak gatal. Ada masalah dengan instruksi Sarah, dia tidak mengerti apa yang harus dilakukan.
“Bu Sarah, saya nggak ngerti deh.”
“Sama saya juga nggak ngerti, kenapa harus kamu jadi asisten saya.” Sarah menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi, bersedekap lalu menatap Arya. “Kamu tidak bisa kerjakan apa yang saya perintahkan?"
“Bukan tidak bisa, memang saya belum paham.”
“Tapi ini tupoksi kamu sebagai aspri saya.”
“Waktu interview saya tidak ada ditanya kompetensi beginian, Pak Edric malah tanya saya bisa komputer apa nggak, bisa nyetir nggak, juga bisa masak dan sudah menikah atau belum. Malah sempat ditanya ada keluhan bau badan apa nggak.”
Sarah akhirnya mengajarkan Arya apa yang harus dilakukan dengan proposal pengajuan kerjasama sebelum dikroscek oleh dirinya. Mereka duduk di sofa bersisian, Sarah menjelaskan tanpa senyum apalagi bercanda sedangkan Arya hanya ber ah oh seakan paham dengan penjelasan tersebut.
Tanpa Sarah sadari, Arya malah menikmati wajahnya. Pandangan Arya tertuju pada wajah Sarah bukan berkas yang sesekali ditunjuk dan ditandai dengan stabilo.
“Seperti ini, mudahlah. Ini sortir pertama, jadi saya akan lanjut kroscek hanya pada bagian yang kamu tandai. Kalau kamu punya otak cerdas harusnya tidak sulit.”
“Sulitlah bu, banyak hal yang bikin kita berbeda,” sahut Arya mulai ngaco.
Sarah mengernyitkan dahinya mendengar ucapan Arya lalu membolak-balik lembaran proposal yang tadi ia jelaskan. Mencari perbedaan yang dimaksud Arya.
“Perbedaan yang mana?”
“Umur dan status sosial,” sahut Arya.
Sarah menoleh dan mendapati Arya sedang menatapnya tanpa rasa bersalah.
“Dasar bocah, aku sedang menjelaskan kerjasama kamu malah membayangkan yang tidak-tidak.” Sarah memukul lengan Arya membuat pria itu tersadar lalu menyeringai.
“Damai Bu, saya terkesima penjelasan Ibu loh.”
“Apa maksud kamu perbedaan umur dan status sosial?”
“Kapan saya bilang gitu, salah dengar kali bu.”
“Kamu ….”
“Eits, jangan pukul lagi. Saya bisa melaporkan Ibu melakukan kekerasan dalam lingkungan kerja. Ayo Ibu jelaskan lagi, insya Allah saya makin mumet.”
“Arya!!!”
***
“Apartemen,” gumam Arya ketika Sarah menyebutkan tempat yang harus mereka tuju. “Bu Sarah tinggal di apartemen?”
“Hm. Beberapa hari sekali saya pulang ke rumah.” Sarah menjawab sambil bersandar pada jok mobil dan memejamkan mata.
“Oke.”
Perlahan mobil bergerak meninggalkan perusahaan, bergabung dengan kemacetan ibu kota padahal sudah malam dan lewat jam pulang kerja.
“Mampir drive thru ayam crispy ya.”
“Hm.”
Sarah menyebutkan pesanannya ketika sampai drive thru restoran cepat saji, menawarkan Arya apa yang pria itu inginkan. Namun, Arya menolak.
“Bu, ini ‘kan junk food. Bukan makanan sehat.”
“Saya sudah lelah kalau harus mampir dan pesan di restoran. Masak sendiri saya nggak bisa.”
Arya perlahan menjalankan mobil menuju stand untuk ambil pesanan dan dia berikan pada Sarah.
“Ibu tanya saya bisa masak atau nggak karena saya harus siapkan makan juga?”
“Tergantung kebutuhan.”
“Besok deh saya memasak makan malam untuk Ibu.”
“Nanti kamu campur sianida.”
Arya sempat menoleh dan berdecak mendengar tuduhan Sarah lalu kembali fokus dengan jalanan. Baru sehari bekerja dengan wanita itu, tapi kalimat yang keluar dari bibir seksoy Sarah Alesha cukup menggigit. Untung saja hati Arya made in Tuhan, kalau made in China mungkin sudah mengajukan resign sejak tadi.
Ketika GPS mengarahkan untuk berbelok pada kawasan apartemen mewah, Arya berdecak kagum. Kalau bukan menjadi bawahan dari Sarah belum tentu dia bisa memasuki kawasan tersebut. Bahkan sebagai ojek atau taksi online pun tidak sembarangan bisa masuk.
“Ikut saya!” titah Sarah sebelum keluar dari mobil.
Sarah dan Arya berada di resepsionis. Rupanya Sarah mendaftarkan Arya sebagai orang yang boleh masuk ke unitnya dan mendapatkan hak akses.
“Ini card untuk akses lift, nanti saya share nomor kamar dan acces code. Besok pagi kamu jemput saya, jangan harap saya sudah menunggu tapi jemput ke atas. Kadang saya sulit bangun pagi.”
Arya ingin tertawa, tapi dia tahan. Ternyata wanita perfeksionis di hadapannya ada kekurangannya, yaitu kebluk. Sarah juga memberikan dua lembar uang rupiah pada Arya untuk naik taksi.
Esok hari.
Ponsel Arya yang berada di bawah bantal terus bergetar dan berdering. Dengan malas dan mata masih terpejam, ia meraba dan mendapatkan ponselnya.
“Halo.” Arya menyapa masih dengan setengah sadar.
“Arya, kamu di mana? Bu Sarah sudah nunggu di lobby.”
Kalimat itu sukses membuat Arya terbelala, lalu menjauhkan ponsel dari telinga lalu menatap jam yang tertera di layar ponsel.
“Tujuh dua puluh. Gue kesiangan.” Arya menepuk dahinya lalu melompat dari ranjang dan menuju toilet. “Mampus lo Ar, bisa-bisa dipecat sama perawan tua.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Sri Widjiastuti
somplaknya Arya... 😁😁😄
2025-01-18
0
RossyNara
baru kerja satu hari kamu udah telat Ar.
2024-09-22
0
Ita Listiana
😂😂😂
2024-09-10
0