“Arya, aku akan pulang ke rumah,” ujar Sarah ketika membaca pesan dari Mama Nella.
Tentu saja Sarah paham ini ada hubungannya dengan pembahasan yang sempat disampaikan Edric. Jika yang meminta Sarah pulang adalah sang Papa, mungkin dia bisa ingkar atau acuh bahkan mengabaikan.
“Rumah Bu Sarah di mana?” tanya Arya masih fokus dengan kemudi.
“Nanti aku share loc, tapi untuk malam ini kamu tidak perlu antar aku ke rumah. Biar aku pulang sendiri.”
“Motor saya di basement apartemen Ibu.”
“Ya sudah, sekarang ke rumahmu dulu. Besok ….”
“Wah bilang aja Ibu mau tahu tempat tinggal saya,” sahut Arya dengan percaya diri. “Janganlah Bu, sayang mobilnya nanti kena kurap lewat kampung tempat saya tinggal. Banyak jalan rusak dan becek.”
“Alasan saja kamu, mana ada di Jakarta jalan becek. Kalau genangan air masih mungkin. Terserah kamu saja.”
Arya menghentikan mobil di halte yang menurutnya sudah dekat dengan tempat tinggal.
“Kamu yakin di sini sudah dekat?” Sarah sudah memutar dan berdiri di pintu kanan
“Iya, ada di perkampungan belakang sana,” ujar Arya menunjuk area perkantoran. “Ibu perlu saya kawal dengan taksi nggak?”
“Tidak usah, aku tahu daerah ini.”
“Hati-hati Bu.”
“Hm.” Sarah pun masuk kembali dan menutup pintu. Arya masih menatap kendaraan itu perlahan menjauh dan bergabung dengan kendaraan lain.
Tidak sampai satu jam, Sarah sudah tiba di kediaman orangtuanya. Rumah mewah dengan pagar tinggi agar aktivitas di dalamnya tidak terlihat dan sengaja membatasi dengan sekeliling dan mungkin saja tidak saling mengenal dengan pemilik rumah di kiri, kanan dan depan rumahnya.
“Malam Mbak Sarah,” sapa salah satu petugas keamanan menghampiri ketika Sarah keluar dari mobil.
“Malam Pak, parkirkan ya,” titah Sarah sambil memberikan kunci lalu menuju ke dalam.
Kehadirannya memang ditunggu, Mama dan Papanya baru selesai makan malam. Nella tentu saja antusias menyambut kedatangan putrinya. Entah sudah berapa hari dia tidak bertemu Sarah karena sibuk dengan urusannya sendiri, tentu saja dengan teman-teman sosialita.
“Kamu kurusan ya, pasti perusahaan bikin hidup kamu pusing. Sudahlah, segera menikah dan nikmati hidup,” seru Nella.
“Bukannya tambah berat Mah, aku jadi istri bahkan jadi ibu kalau aku punya anak. Bagian mana menikmati hidup?”
“Ck, gampanglah itu. Masalah rumah ada asisten rumah tangga juga baby sitter. Kamu hanya perlu menjamin kepuasan suami kamu dan memastikan anak-anak kamu ….”
“Jangan dengar kata Mamamu, kamu tahu betul bagaimana dia menjadi seorang ibu untuk kamu Sarah,” seru Ryan Simon.
“Kalau kamu pria setia pada satu wanita, tidak akan aku macam-macam.”
Sarah menghela nafasnya, karena pasangan dengan label orangtua itu kini berdebat. Selalu begitu. Bagaimana bisa dia jatuh cinta pada pria yang dipanggil Papa dan bagaimana bisa dia menjadikan rumah tempat untuknya pulang. Bahkan sang Mama pun tidak memberikan nasehat dan contoh kodrat seorang wanita yang baik.
“Bisa kalian lanjutkan berdebat nanti saja, aku lelah dan … lapar.”
“Duduklah!”
Makin bertambah ketidaksukaan Sarah pada papanya, jelas-jelas dia bilang lapar tapi pria itu tidak sigap memastikan perut putrinya segera terisi. Untuk apa kemewahan yang mereka cari kalau hal dasar dan sepele macam ini diabaikan.
Tiba-tiba Sarah teringat Arya, meskipun dengan ejekan sering mengingatkannya untuk makan. Seharusnya dia mampir untuk sekedar makan bersama pria itu.
“Siapa pria itu?”
“Pria yang mana?”
“Kamu tahu maksud Papa.”
“Tampan kok Sar, Mama setuju kamu dengan dia.”
Sarah lagi-lagi memijat pelan dahinya, karena Ryan Simon dan Nella kembali berdebat. Sudah pasti yang dibahas adalah Arya.
“Nama belakangnya Bimantara, apa dia ….”
“Bukan, Arya Bimantara adalah asisten pribadiku pengganti Edric.”
“Kamu melepas Felix yang jelas-jelas jutawan dan bisa menjamin masa depanmu lalu menerima asisten yang masa depan pekerjaannya ada di tangan kamu?”
“Aku tidak melepas Felix, tapi membuangnya dan dia pantas dapatkan itu. Sudah bertahun-tahun berlalu dan Papa masih membela Felix,” ungkap Sarah dengan nada tidak biasa, sebenarnya dia tahu tidak boleh kasar pada orangtuanya. Namun, emosi sudah tidak bisa dibendung lagi.
“Buktinya setelah bertahun-tahun berlalu kamu masih sendiri, artinya kamu tidak bisa melupakan Felix,” teriak PApa Sarah.
“Ryan,” tegur Nella.
“Aku masih melajang karena tidak percaya dengan pria,” sahut Sarah pelan. “Bagaimana bisa aku membuka hati untuk menerima pria, jika pria yang aku anggap pahlawan tega menyakiti istrinya dengan menikah lagi bahkan memiliki wanita simpanan dan pria yang akan aku nikahi malah satu ranjang dengan sepupuku.” Sarah berdiri setelah mengeluarkan unek-uneknya.
“Bahkan Papa tidak ada sedikitpun membelaku ketika aku berteriak menyaksikan kebrengsekan Felix. Aku pikir Papa akan marah bahkan mengakhiri kerjasama dua perusahaan ini, ternyata aku salah.”
“Kamu tahu apa Sarah. Papa tidak mungkin mengorbankan apa yang sudah kita punya. Kamu dan Felix bisa saja kembali bersama, kamu terlalu berlebihan.”
Ryan Simon masih mengutarakan kalimat yang menyudutkan Sarah, bahkan Nella yang membela Sarah pun ikut kena hardik.
“Cukup Pah!” teriak Sarah. “Cukup. Jangan buat rumah ini semakin tidak nyaman untuk aku datangi.”
“Lalu kamu mau apa? Pergi dari kemewahan dan fasilitas ini? Jangan b0doh Sarah.”
“Tapi hanya aku dan Edric yang bisa kalian andalkan. Karena anak papa dari perempuan di luar sana dan simpanan papa hanya bisa menghamburkan uang, tidak bisa mencari uang. Jadi biarkan aku berteman atau mencintai pria manapun selama dimataku pria itu baik.”
“Sarah, sayang,” panggil Nella. “Kamu puas sekarang. Putrimu kamu musuhi, tapi perempuan tidak jelas kamu dekati dan kamu sayangi. Aku rasa otakmu sudah tidak waras,” ungkap Nella lalu meninggalkan Ryan Simon.
Sarah sudah berada di bawah guyuran shower. Perdebatan tadi sudah biasa terjadi, mungkin itulah yang membuat sikap Sarah kadang angkuh, cuek dan tegas. Rasanya sulit untuk bersikap lembut karena hati yang sudah terlanjur sakit. Jangankan ingin menangis, yang ada dia semakin benci pada Felix, sang Papa dan mungkin kehidupan.
Hanya berbalut bathrobe, Sarah berbaring di atas ranjang. Mengirim lokasi di mana dia berada pada Arya dan memastikan agar tidak terlambat untuk menejmputnya. Ada notifikasi masuk, ternyata pesan balasan dari Arya.
[Bu Sarah belum tidur? Apa mau saya temani]
“Dasar mesum,” gumam Sarah dan kembali ada pesan dari pria itu.
[Jangan mesum dulu bu, maksudnya saya temani dari sini. Wah, ibu pasti membayangkan yang tidak-tidak ya]
Sarah mengumpat membaca pesan Arya, bagaimana orang tidak salah duga kalau kalimatnya cukup ambigu.
[Istirahat Bu. Jangan kangen saya, besok juga ketemu lagi]
“Dasar Arya gila!!”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 49 Episodes
Comments
Fenty Dhani
suka banget sama Arya...penghibur hatinya Sarah🤣🤣🤣
2024-02-20
0
Fifid Dwi Ariyani
trusceria
2024-02-05
0
Lilis Wn
Arya tuh emang bener ,org yg akan sayang dan menyayangi kamu dgn tulus sar ❤️❤️
2024-01-13
2