Dendamnya Sang Pewaris
"Dasar pencuri! Rasakan ini! Rasakan!"
"Berani lagi kau mencuri, kami tak akan segan melaporkanmu ke polisi!"
Bocah lelaki itu meringkuk menahan amukan dari seorang wanita dan pria paruh baya yang memukulinya menggunakan gagang sapu. Rasa sakit di sekujur tubuhnya ia hiraukan dan tetap memeluk sepotong roti dalam genggam tangan. Dan saat sepasang pasutri itu puas memberi hukuman pada bocah berusia sekitar 15 tahun bertubuh kurus, keduanya meninggalkannya yang merintih dengan luka lebam di beberapa bagian tubuhnya.
Melihat dua pasutri itu telah pergi, bocah itu berusaha bangun dan berdiri. Senyumnya pun merekah menatap sepotong roti di tangan yang masih utuh. Meski sekujur tubuhnya terasa ngilu dan perih, setidaknya dua orang itu tak mengambil roti yang ia curi. Dengan langkah tertatih, bocah itu pun berjalan menuju gang sempit di antara bangunan besar menuju tempat tinggalnya.
Hampir satu jam berjalan, akhirnya ia sampai di sebuah rumah kecil yang lebih pantas disebut gubuk. Bahkan gubuk itu pun terlihat tak layak huni karena hanya berdinding karung bekas juga plastik dan beratapkan daun kelapa kering.
Bocah itu menghentikan langkah beberapa meter dari depan rumah, mengusap air matanya, senyumnya pun mengembang. Mau seperti apapun rasa pahit yang ia rasakan, ia akan selalu tersenyum saat pulang. la tak ingin sang adik yang menunggunya khawatir dan bersedih kala melihatnya menangis.
"Aku pulang...." Bocah itu memasuki gubuk tersebut dan segera disambut senyuman oleh adik semata wayangnya.
"Kakak sudah kembali?" sambut gadis berusia 13 tahun yang terbaring di atas kardus lusuh. Tubuhnya kurus dengan kedua kaki yang terlihat membiru.
Bocah lelaki tersebut menghampiri sang adik, duduk di tanah di sampingnya dan memberikan sepotong roti yang berhasil ia dapat. "Makanlah," ucapnya tanpa melunturkan senyuman di wajah.
Gadis itu mengabaikan pemberian kakaknya dan menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca." Kakak mencuri lagi?" tanyanya dengan suara kecil di mana tangannya terangkat mengusap luka lebam di wajah sang kakak.
Yoga, nama bocah laki-laki itu menggenggam tangan sang adik yang mengusap luka di wajahnya dan menurunkannya perlahan. "Tidak, Yume. Luka ini karena kakak tadi terjatuh," kilahnya. Meski adiknya tahu, tapi ia tak akan mengatakan yang sebenarnya.
Seketika raut wajah Yume menjadi sendu menatap sepotong roti di tangan kakaknya. Meski ia tahu, tapi mendengar kakaknya berkata demikian ia hanya akan diam pura-pura percaya. Perlahan tangan lemahnya mengambil roti dari tangan sang kakak, membuka bungkus roti itu dan memotong roti itu menjadi dua bagian. Namun sebelum memberikannya pada sang kakak, kakaknya itu lebih dulu menyuruhnya menghabiskannya.
"Kakak sudah makan, Yume. Roti ini untukmu, habiskan, ya," ucap Yoga dengan tangan mengusap pucuk kepala sang adik. Namun tiba-tiba gemerucuk perutnya terdengar membuat Yume tersenyum kecil.
Yoga memegangi perutnya dan mengalihkan pandangan. Ditekannya kuat perutnya agar suara itu tak lagi Yume dengar. Padahal ia sudah mengikat perutnya kencang menggunakan tali rafia, tapi itu tak mampu meredam cacing dalam perutnya yang bernyanyi seriosa.
Yume memberikan setengah potong roti dari tangannya. "Kita makan bersama, Kak. Kalau kakak tidak mau, Yume tidak mau makan," ucapnya yang pura-pura merajuk.
Yoga menatap setengah potong roti itu dalam diam. la memang lapar tapi jika Yume membagi roti itu dengannya, Yume pasti masih kelaparan. Namun pada akhirnya ia terpaksa menerima roti itu kemudian memakannya bersama.
Yoga berusaha menahan air matanya kala melihat Yume menjilati jarinya dari jejak krim coklat roti itu. Sekarang ia menyesal telah memakan roti yang Yume bagi, harusnya roti itu sepenuhnya untuk Yume. Yoga membalikkan badan dengan mengusap air mata tak ingin Yume melihatnya menangis. Namun tiba-tiba ia merasakan pelukan dari tangan kecil Yume yang melingkari perutnya. Yume memeluknya dari belakang.
"Terima kasih, Kakak," ucap Yume dengan suara kecilnya.
Air mata Yoga tak dapat ia bendung hingga jatuh membasahi tangan Yume yang melingkari perutnya. Sampai kapan penderitaan ini akan berakhir? Perlahan tangannya menggenggam tangan Yume yang bagai tulang berbalut kulit. Andai ia bisa ia ingin bebas dari penderitaan ini. Bahkan jika penderitaan ini bisa ditukar dengan nyawanya demi Yume merasakan bahagia dan hidup layak, ia bersedia.
"Kakak jangan menangis. Tidak apa-apa, asal dengan kakak, Yume bahagia," ucap Yume dengan tetap mengukirkan senyum kecilnya, la tak ingin kakaknya bersedih jika melihatnya juga bersedih.
Yoga mendongak menahan air mata yang terus berusaha lolos dari ujung matanya. Kemudian melepas pelukan Yume dan membalikkan badan menatap Yume. "Kalau begitu istirahatlah, kakak akan mencari makanan untuk makan malam,” ucapnya seraya hendak bangkit berdiri. Namun sebelum itu terjadi tangan lemah Yume lebih dulu menahannya.
"Kakak di rumah saja. Sepertinya akan turun hujan," kata Yume dengan mencengkram lemah baju lusuh kakaknya. Ia dapat melihat langit mulai mendung dari celah atap daun kelapa di atas mereka.
"Tapi kau masih lapar, kan? Kakak janji hanya sebentar," bujuk Yoga namun Yume tetap menggeleng dan tak melepas cengkram tangannya membuatnya tak punya pilihan lain. Sorot matanya pun kian sendu. la duduk meluruskan kaki dan memeluk Yume dari samping kemudian menyandarkan kepala Yume di bahu. Keduanya menatap langit yang mulai hitam dengan rintik hujan yang perlahan menetes.
"Asal ada kakak di samping Yume, Yume tidak takut hujan dan petir," ucap Yume tiba-tiba seraya menatap kakaknya dari posisi.
Yoga kian menguatkan dekap tangannya di bahu Yume. "Kalau begitu kakak akan selalu di samping Yume. Apapun yang terjadi asal kita bersama, kita pasti bisa menaklukkan dunia kejam ini."
Senyum tipis Yume merekah dengan kepalanya yang mengangguk lemah.
Yoga terdiam tanpa menurunkan kepala menatap langit lewat celah atap gubuk kecilnya. Tak berhenti ia berdoa semoga hujan tidak turun agar mereka tidak menggigil kedinginan. Perlahan Yoga memejamkan mata merasakan tetes demi tetes air hujan yang jatuh di atas wajahnya.
Sudah dua tahun Yoga menjalani kehidupan menyedihkan ini dengan sang adik dan sama sekali tak ada perubahan yang lebih baik. Justru semua terasa semakin menyakitkan terlebih dengan keadaan Yume yang kian memburuk.
Padahal dulu ia tinggal di rumah mewah dengan banyak pelayan yang menyiapkan kebutuhannya setiap harinya. la juga bisa makan apapun yang ia inginkan, membeli apapun yang ia mau dengan harta kedua orang tuanya.
Tapi sejak kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan dua tahun lalu, semuanya berubah. Ia terusir dari rumah karena rumah mereka disita bank. Sementara tak ada yang sudi menampung mereka dengan berbagai alasan. Pamannya dan bibiya, justru mengusir mereka walau mereka berniat menumpang hanya semalam. Akhirnya ia dan Yume terluntang-lantung di jalan. Saat keluar dari rumah mereka hanya membawa uang tabungan seadanya hingga pada akhirnya habis untuk membiayai hidup.
Penderitaan mereka semakin bertambah saat Yume mengalami kecelakaan. Sebuah mobil menabraknya saat ia dan Yume mengamen membuat Yume tak bisa lagi berjalan. Dan dengan sialannya pengemudi itu kabur tanpa bertanggung jawab.
Yang lebih parah lagi, sama sekali tak ada yang mau menolong. Yoga tak mengerti, apakah rasa kemanusaiaan sudah mati? Ataukah karena mereka yang miskin dan tak memiliki apapun menjadi salah satu alasan? Dulu saat ia masih hidup dalam gelimang harta, semua orang menyanjung tak terkecuali paman dan omnya serta bibi-bibinya yang saat ini menelantarkannya, tapi saat ia tak punya apapun lagi, tak punya siapapun lagi, semua menghilang bak ditelan bumi.
Yoga melirik Yume yang perlahan memejamkan mata dengan dengkuran halus yang terdengar. Dalam hatinya Yoga bersumpah akan membalas orang-orang yang telah menyakitinya dan Yume. Dan tujuannya yang lain adalah, memberi Yume kebahagiaan, membuatnya kembali merasakan kehidupan yang layak kelak.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 74 Episodes
Comments
todoroki shoto
/Cry//Cry//Cry/
2024-07-20
0
Cahaya Sidrap
up
2024-07-06
0
Eemlaspanohan Ohan
sedih banget ku. bacanya /Cry/
2024-07-05
1