"Dasar pencuri! Rasakan ini! Rasakan!"
"Berani lagi kau mencuri, kami tak akan segan melaporkanmu ke polisi!"
Bocah lelaki itu meringkuk menahan amukan dari seorang wanita dan pria paruh baya yang memukulinya menggunakan gagang sapu. Rasa sakit di sekujur tubuhnya ia hiraukan dan tetap memeluk sepotong roti dalam genggam tangan. Dan saat sepasang pasutri itu puas memberi hukuman pada bocah berusia sekitar 15 tahun bertubuh kurus, keduanya meninggalkannya yang merintih dengan luka lebam di beberapa bagian tubuhnya.
Melihat dua pasutri itu telah pergi, bocah itu berusaha bangun dan berdiri. Senyumnya pun merekah menatap sepotong roti di tangan yang masih utuh. Meski sekujur tubuhnya terasa ngilu dan perih, setidaknya dua orang itu tak mengambil roti yang ia curi. Dengan langkah tertatih, bocah itu pun berjalan menuju gang sempit di antara bangunan besar menuju tempat tinggalnya.
Hampir satu jam berjalan, akhirnya ia sampai di sebuah rumah kecil yang lebih pantas disebut gubuk. Bahkan gubuk itu pun terlihat tak layak huni karena hanya berdinding karung bekas juga plastik dan beratapkan daun kelapa kering.
Bocah itu menghentikan langkah beberapa meter dari depan rumah, mengusap air matanya, senyumnya pun mengembang. Mau seperti apapun rasa pahit yang ia rasakan, ia akan selalu tersenyum saat pulang. la tak ingin sang adik yang menunggunya khawatir dan bersedih kala melihatnya menangis.
"Aku pulang...." Bocah itu memasuki gubuk tersebut dan segera disambut senyuman oleh adik semata wayangnya.
"Kakak sudah kembali?" sambut gadis berusia 13 tahun yang terbaring di atas kardus lusuh. Tubuhnya kurus dengan kedua kaki yang terlihat membiru.
Bocah lelaki tersebut menghampiri sang adik, duduk di tanah di sampingnya dan memberikan sepotong roti yang berhasil ia dapat. "Makanlah," ucapnya tanpa melunturkan senyuman di wajah.
Gadis itu mengabaikan pemberian kakaknya dan menatap kakaknya dengan mata berkaca-kaca." Kakak mencuri lagi?" tanyanya dengan suara kecil di mana tangannya terangkat mengusap luka lebam di wajah sang kakak.
Yoga, nama bocah laki-laki itu menggenggam tangan sang adik yang mengusap luka di wajahnya dan menurunkannya perlahan. "Tidak, Yume. Luka ini karena kakak tadi terjatuh," kilahnya. Meski adiknya tahu, tapi ia tak akan mengatakan yang sebenarnya.
Seketika raut wajah Yume menjadi sendu menatap sepotong roti di tangan kakaknya. Meski ia tahu, tapi mendengar kakaknya berkata demikian ia hanya akan diam pura-pura percaya. Perlahan tangan lemahnya mengambil roti dari tangan sang kakak, membuka bungkus roti itu dan memotong roti itu menjadi dua bagian. Namun sebelum memberikannya pada sang kakak, kakaknya itu lebih dulu menyuruhnya menghabiskannya.
"Kakak sudah makan, Yume. Roti ini untukmu, habiskan, ya," ucap Yoga dengan tangan mengusap pucuk kepala sang adik. Namun tiba-tiba gemerucuk perutnya terdengar membuat Yume tersenyum kecil.
Yoga memegangi perutnya dan mengalihkan pandangan. Ditekannya kuat perutnya agar suara itu tak lagi Yume dengar. Padahal ia sudah mengikat perutnya kencang menggunakan tali rafia, tapi itu tak mampu meredam cacing dalam perutnya yang bernyanyi seriosa.
Yume memberikan setengah potong roti dari tangannya. "Kita makan bersama, Kak. Kalau kakak tidak mau, Yume tidak mau makan," ucapnya yang pura-pura merajuk.
Yoga menatap setengah potong roti itu dalam diam. la memang lapar tapi jika Yume membagi roti itu dengannya, Yume pasti masih kelaparan. Namun pada akhirnya ia terpaksa menerima roti itu kemudian memakannya bersama.
Yoga berusaha menahan air matanya kala melihat Yume menjilati jarinya dari jejak krim coklat roti itu. Sekarang ia menyesal telah memakan roti yang Yume bagi, harusnya roti itu sepenuhnya untuk Yume. Yoga membalikkan badan dengan mengusap air mata tak ingin Yume melihatnya menangis. Namun tiba-tiba ia merasakan pelukan dari tangan kecil Yume yang melingkari perutnya. Yume memeluknya dari belakang.
"Terima kasih, Kakak," ucap Yume dengan suara kecilnya.
Air mata Yoga tak dapat ia bendung hingga jatuh membasahi tangan Yume yang melingkari perutnya. Sampai kapan penderitaan ini akan berakhir? Perlahan tangannya menggenggam tangan Yume yang bagai tulang berbalut kulit. Andai ia bisa ia ingin bebas dari penderitaan ini. Bahkan jika penderitaan ini bisa ditukar dengan nyawanya demi Yume merasakan bahagia dan hidup layak, ia bersedia.
"Kakak jangan menangis. Tidak apa-apa, asal dengan kakak, Yume bahagia," ucap Yume dengan tetap mengukirkan senyum kecilnya, la tak ingin kakaknya bersedih jika melihatnya juga bersedih.
Yoga mendongak menahan air mata yang terus berusaha lolos dari ujung matanya. Kemudian melepas pelukan Yume dan membalikkan badan menatap Yume. "Kalau begitu istirahatlah, kakak akan mencari makanan untuk makan malam,” ucapnya seraya hendak bangkit berdiri. Namun sebelum itu terjadi tangan lemah Yume lebih dulu menahannya.
"Kakak di rumah saja. Sepertinya akan turun hujan," kata Yume dengan mencengkram lemah baju lusuh kakaknya. Ia dapat melihat langit mulai mendung dari celah atap daun kelapa di atas mereka.
"Tapi kau masih lapar, kan? Kakak janji hanya sebentar," bujuk Yoga namun Yume tetap menggeleng dan tak melepas cengkram tangannya membuatnya tak punya pilihan lain. Sorot matanya pun kian sendu. la duduk meluruskan kaki dan memeluk Yume dari samping kemudian menyandarkan kepala Yume di bahu. Keduanya menatap langit yang mulai hitam dengan rintik hujan yang perlahan menetes.
"Asal ada kakak di samping Yume, Yume tidak takut hujan dan petir," ucap Yume tiba-tiba seraya menatap kakaknya dari posisi.
Yoga kian menguatkan dekap tangannya di bahu Yume. "Kalau begitu kakak akan selalu di samping Yume. Apapun yang terjadi asal kita bersama, kita pasti bisa menaklukkan dunia kejam ini."
Senyum tipis Yume merekah dengan kepalanya yang mengangguk lemah.
Yoga terdiam tanpa menurunkan kepala menatap langit lewat celah atap gubuk kecilnya. Tak berhenti ia berdoa semoga hujan tidak turun agar mereka tidak menggigil kedinginan. Perlahan Yoga memejamkan mata merasakan tetes demi tetes air hujan yang jatuh di atas wajahnya.
Sudah dua tahun Yoga menjalani kehidupan menyedihkan ini dengan sang adik dan sama sekali tak ada perubahan yang lebih baik. Justru semua terasa semakin menyakitkan terlebih dengan keadaan Yume yang kian memburuk.
Padahal dulu ia tinggal di rumah mewah dengan banyak pelayan yang menyiapkan kebutuhannya setiap harinya. la juga bisa makan apapun yang ia inginkan, membeli apapun yang ia mau dengan harta kedua orang tuanya.
Tapi sejak kedua orang tuanya meninggal karena kecelakaan dua tahun lalu, semuanya berubah. Ia terusir dari rumah karena rumah mereka disita bank. Sementara tak ada yang sudi menampung mereka dengan berbagai alasan. Pamannya dan bibiya, justru mengusir mereka walau mereka berniat menumpang hanya semalam. Akhirnya ia dan Yume terluntang-lantung di jalan. Saat keluar dari rumah mereka hanya membawa uang tabungan seadanya hingga pada akhirnya habis untuk membiayai hidup.
Penderitaan mereka semakin bertambah saat Yume mengalami kecelakaan. Sebuah mobil menabraknya saat ia dan Yume mengamen membuat Yume tak bisa lagi berjalan. Dan dengan sialannya pengemudi itu kabur tanpa bertanggung jawab.
Yang lebih parah lagi, sama sekali tak ada yang mau menolong. Yoga tak mengerti, apakah rasa kemanusaiaan sudah mati? Ataukah karena mereka yang miskin dan tak memiliki apapun menjadi salah satu alasan? Dulu saat ia masih hidup dalam gelimang harta, semua orang menyanjung tak terkecuali paman dan omnya serta bibi-bibinya yang saat ini menelantarkannya, tapi saat ia tak punya apapun lagi, tak punya siapapun lagi, semua menghilang bak ditelan bumi.
Yoga melirik Yume yang perlahan memejamkan mata dengan dengkuran halus yang terdengar. Dalam hatinya Yoga bersumpah akan membalas orang-orang yang telah menyakitinya dan Yume. Dan tujuannya yang lain adalah, memberi Yume kebahagiaan, membuatnya kembali merasakan kehidupan yang layak kelak.
"Terima kasih." Yoga berterima kasih pada wanita paruh baya yang memberinya upah setelah membawakan belanjaannya ke becak motor yang telah menunggu. Saat ini Yoga tengah berada di pasar dan mencoba peruntungannya dengan menjadi kuli panggul.
Membawakan belanjaan ibu-ibu ke motor mereka. Meski tahu yang menggunakan jasanya hanya karena iba, ia tidak peduli yang terpenting ia bisa mendapat uang guna membeli obat untuk Yume. Yume mengalami demam tinggi setelah semalam hujan mengguyur. Bahkan sebenarnya ia pun saat ini dalam kondisi yang kurang sehat.
"Nak, tunggu!" panggil wanita paruh baya yang sebelumnya menggunakan jasa panggul Yoga.
Yoga yang hendak pergi kembali berbalik. "Iya, Bu?"
"Sepertinya kau masih muda, kau tidak sekolah?" tanya wanita itu seraya mengamati Yoga dengan saksama.
Yoga menggeleng. "Tidak,"
"Orang tuamu?"
"Mereka sudah meninggal."
Seketika raut iba tercetak di wajah wanita tersebut. Wanita itu mengeluarkan beberapa lembar uang pecahan sepuluh ribu dan memberikannya pada Yoga. "Ini, ambillah," titahnya.
Yoga tampak ragu. "tapi, Bu."
"Tidak apa-apa. Ibu ikhlas," kata wanita itu dengan senyum tulus yang merekah. "Rumah ibu tidak jauh dari sini, kapan-kapan datanglah ke rumah," tawarnya setelah dengan terpaksa Yoga menerima uang itu dari tangannya. Yoga tentu tak akan menyiakan kesempatan, dengan uang itu ia bisa membeli selimut bekas agar Yume tidak kedinginan juga obat.
"Terima kasih. Baik, Bu," jawab Yoga dengan menundukkan kepala.
Setelahnya wanita itu pun pergi sementara Yoga segera pergi ke apotek membeli obat untuk Yume juga membeli selimut bekas.
Sesampainya di rumah, tak seperti biasa, wajah Yoga menunjukkan kegembiraan. Ia telah membawa selimut dan obat serta makanan di tangan. "Yume pasti senang," batinnya tanpa melunturkan raut kebahagiaan di wajah.
"Kakak pulang...."
"Kakak sudah pulang?" sambut Yume yang sesekali terbatuk.
Yoga segera menghampiri sang adik dan menunjukkan apa yang ia bawa. "Kakak membelikanmu obat. Kakak juga membelikanmu makanan. Kakak juga membelikanmu selimut," ucapnya dengan antusias.
Yume begitu terkejut melihat kakaknya membawa banyak barang. "Kakak, dari mana kakak mendapatkan semua ini? Kaak mencuri lagi?" tanya Yume di mana raut wajahnya tampak sendu. Jika bisa, ia tak ingin kakaknya mencuri lagi karena tak ingin kakaknya kembali dipukuli.
"Tidak, Yume. Tadi kakak jadi tukang panggul membantu ibu-ibu di pasar membawa belanjaan. Jadi kakak dapat uang dari mereka sebagai bayaran ," jawab Yoga seraya mengeluarkan nasi bungkus dari kantong plastik dan membukanya untuk Yume.
"Pasar? Bukankah sangat jauh dari sini, Kak?" Karena setahu Yume pasar terdekat dari sana berjarak 5 km.
"Bukankah kau tidak suka kakak mencuri?"”
"Tapi... Yume khawatir terjadi sesuatu dengan kakak," cicit Yume menatap nasi bungkus dengan lauk ayam dan tempe di depannya.
"Kau tenang saja, Yume, kakak baik-baik saja.Nah, sekarang ayo makan dan minum obat," bujuk Yoga seraya menyendok nasi dan ayam dan menyuapkannya pada Yume.
"Kakak mana?" tanya Yume karena hanya melihat satu nasi bungkus.
"Kakak tadi sudah. Jangan pikirkan kakak," jawab Yoga tanpa melunturkan senyum tipisnya.
"Kakak bohong. Kalau kakak tidak makan, Yume tidak mau makan." Sama seperti biasa, Yume akan menggunakan ancaman yang sama jika kakaknya berbohong sudah makan.
"Tapi kakak benar-benar sudah makan, kau tidak mendengar perut kakak berbunyi, kan?" ujar Yoga yang sebenarnya berbohong.
Uang sisa obat dan selimut bekas hanya cukup untuk membeli satu bungkus nasi. la hanya makan tomat jelek yang ia minta dari penjual di pasar untuk mengganjal perutnya. "Ayo makan lah," bujuknya.
Yume membuang muka dan hanya diam. la benar-benar tak akan makan jika tidak dengan kakaknya.
Melihat itu dengan terpaksa Yoga menyuapkan nasi itu ke dalam mulutnya sendiri. "Lihat, kakak makan, jadi kau juga harus makan." la kembali mengambil sesendok nasi dan ayam lalu menyuapkannya pada yume.
Yume yang melihatnya akhirnya mengukirkan senyuman dan bersedia menerima suapan sang kakak. Senyumnya pun mengembang membuat hati Yoga menghangat. Dan hari itu menjadi hari membahagiakan bagi keduanya setelah sekian lama mengingat mereka bahkan lupa kapan terakhir kali bisa makan nasi dan ayam.
Keesokan harinya Yoga kembali ke pasar dan menjajakan diri untuk membantu mengangkat barang. Kadang ada yang memberinya upah kadang ia hanya mendapat kata terima kasih. Namun ia tak menyerah, ia tetap menunggu dengan sabar hingga mendapat pelanggan atau setidaknya orang yang iba melihatnya. Sampai ia kembali dipertemukan dengan wanita yang kemarin memberinya uang lebih.
"Nak, tolong bawakan belanjaan ibu, ya," pinta wanita berusia sekitar 40 tahunan tersebut.
Dengan sigap Yoga segera membawa belanjaan wanita itu ke becak motor yang telah menunggu di mana pengemudi becak motor itu tampak tak suka melihat Yoga. Bukan tanpa alasan, jika pria paruh baya itu yang membawakan belanjaan, ia bisa mendapat uang lebih.
"Nak, kau mau ke rumah ibu? Ibu ada pakaian bekas mungkin kau mau memakainya," kata wanita itu. la iba melihat Yoga yang tak pernah mengganti bajunya yang sudah koyak.
Yoga tampak ragu namun pada akhirnya bersedia karena berpikir mungkin ada baju juga untuk adiknya. Akhirnya ia ikut bersama wanita itu menaiki becak motor ke rumahnya. Wanita itu benar, rumahnya tak jauh dari pasar hanya sekitar 1 km.
Sesampainya di rumah wanita itu, ia segera mempersilahkan Yoga masuk ke dalam rumah. Sebenarnya Yoga tak enak hati melihat bagaimana penampilannya yang lusuh dan kotor namun wanita itu tetap menyuruhnya masuk ke dalam rumah.
Sesampainya di dalam rumah, Yoga mengedarkan pandangan ke penjuru rumah yang baru pertama ia masuki. Meski tak sebesar rumahnya dulu, tapi rumah itu cukup besar untuk seseorang yang tinggal sendiri.
Ya, wanita itu mengatakan dia tinggal sendiri karena suaminya merantau sementara ia tak memiliki anak. Mungkin itu alasannya membawanya ke sana, batin Yoga. Yoga pun sempat berharap mungkin wanita itu mau mengadopsinya juga Yume. Namun ia segera mengenyahkan pikiran itu tak ingin kecewa jika itu tak terjadi.
Wanita itu keluar dari sebuah kamar dan membawakan Yoga handuk. "Mandilah dulu, Nak.Ibu akan menyiapkan bajunya untukmu," perintahnya.
"Tapi, Bu...”
"Tidak apa-apa. Anggap saja rumah sendiri. Ibu tidak punya anak, jadi ibu senang kau ada di sini."
Dengan ragu Yoga menerima handuk tersebut dan pergi ke kamar mandi sesuai arahan wanita itu.
Baru saja Yoga menanggalkan pakaiannya, tiba-tiba saja pintu kamar mandi terbuka menampilkan wanita itu yang tersenyum padanya. Yoga begitu terkejut dan berusaha menutupi tubuhnya. "Ma- maaf, Bu. Aku belum selesai," ucapnya seraya membalikkan badan memunggungi wanita itu.
Wanita itu mengabaikan ucapan Yoga dan tetap masuk ke dalam kamar mandi. "Ya Tuhan, Nak. Kenapa dengan tubuhmu?" Wanita itu justru menatap sekujur tubuh Yoga yang penuh jejak luka dan lebam kebiruan. Tangannya bahkan menyentuh jejak luka di punggung Yoga.
Demi apapun, Yoga sangat malu, namun pikiran polosnya membuatnya membiarkan wanita itu menyentuh lukanya.
"Ibu akan membantumu membersihkan tubuhmu," ucap wanita itu yang membuat Yoga tak tahu jika seulas senyum amat sangat tipis terukir di bibir wanita itu.
Wajah Yoga memerah sempurna. Saat ini wanita itu tengah menyisir rambutnya setelah sebelumnya membantunya membersihkan diri. la kini telah rapi dengan pakaian baru yang wanita itu berikan. Tubuhnya pun terasa lebih ringan karena bersih dari daki dan kotoran.
"Nah, lihat, kau terlihat sangat tampan," puji wanita itu menatap pantulan wajah Yoga di cermin meja rias kamarnya.
Yoga menatap pantulan dirinya di cermin. Wanita itu benar, ia terlihat tampan seperti dulu saat ia masih punya segalanya meski sekarang tubuhnya sangat kurus. Bahkan Yoga sampai menyentuh wajahnya seolah tak percaya ia bisa kembali melihat dirinya seperti ini. Meski kini terdapat jejak luka di tubuhnya dengan warna kulit tampak gelap.
"Nah, sekarang saatnya makan. Ayo," ajak wanita itu yang menuntun Yoga menuju ruang makan. Di ruang makan sudah tersaji banyak makanan yang sudah lama tak Yoga nikmati.
"Bolehkah aku membawa pulang untuk adikku ?" kata Yoga tanpa sadar melihat banyaknya makanan di atas meja. Ia tidak tahu kapan wanita itu menyiapkan banyak makanan ini melihat wanita tadi membantunya membersihkan diri hingga ganti baju seperti semua sudah disiapkan sebelum ia datang ke rumah itu.
"Eh? Kau punya adik? Laki-laki atau perempuan? Tentu saja kau boleh membawakannya ," jawab wanita itu seraya menarik kursi dan mempersilahkan Yoga duduk.
"Pertemuan," jawab Yoga yang tampak malu. Padahal ia sudah diperlakukan dengan sangat baik tapi ia masih meminta lebih. Meminta makanan untuk ia bawa pulang untuk Yume.
"Kau boleh membawakannya sebanyak apapun. Sekarang makanlah dulu," kata wanita itu tanpa melunturkan senyuman di wajah.
Yoga menatap semua makanan itu hingga liurnya nyaris menetes. la pun mulai menikmati makanan yang tampak lezat itu mencicipinya satu persatu. Mungkinkah ini surga? Yoga seperti kehilangan kesadaran dan makan dengan rakus. Tentu saja sangat wajar karena ia memang sudah lama tak menikmati makanan lezat. Bisa makan nasi saja sudah bersyukur apalagi sekarang ia disuguhkan dengan daging dan ayam.
Wanita itu tersenyum melihat bagaimana Yoga makan.
"Ibu, tidak ikut makan?" tanya Yoga dengan mulut penuh makanan.
"Tidak, ibu udah kenyang melihatmu makan dengan lahap. Ayo habiskan," jawab wanita itu membuat Yoga menundukan kepala karena malu.
Beberapa saat kemudian terdengar sendawa lolos dari mulut Yoga dan hal itu membuat wanita itu tertawa kecil. "Sekarang minumlah," ucapnya seraya bangkit dari duduknya dan menuangkan segelas air putih dari teko.
Dengan segera Yoga meminumnya hingga tandas dan kini kenyanglah sudah perutnya. Kemudian ia menatap beberapa piring makanan yang masih tersisa.
"Kau sengaja menyisakannya untuk adikmu?" tanya wanita itu dan dijawab anggukan oleh Yoga. " Wah, kau kakak yang baik ya," pujinya kemudian kembali membuka suara. "Oh, ya, siapa namamu? Sudah beberapa kali bertemu tapi ibu belum tahu namamu."
"Yoga, Bu," jawab Yoga.
"Yoga? Baiklah, Yoga. Ibu akan membungkus makaan itu untuk adikmu, tapi ibu ada sedikit masalah, kau mau mebantu ibu?”
Yoga menatap wanita itu bertanya-tanya namun akhirnya mengangguk. Apapun itu sebisa mungkin akan ia lakukan sebagai ucapan terima kasihnya.
Wanita itu tersenyum tipis kemudian menggiring Yoga ke kamarnya. Sesampainya di kamar Yoga begitu terkejut karena wanita itu segera menanggalkan pakaiannya. Dan yang membuatnya lebih terkejut adalah, rasa sesak di bawah sana yang seolah terjadi tiba-tiba.
Wanita itu mendekati Yoga yang masih berdiri di depan pintu. "Kau mau membantu ibu, kan? Tolong, puaskan ibu. Suami ibu tak pernah pulang dan ibu sangat kesepian," ucapnya disertai ******* dan dengan sengaja meniup telinga Yoga.
Tak hanya itu tangannya pun membelai wajah Yoga dan kian merambat ke bawah pada sesuatu yang telah mengeras. la sengaja memasukkan obat ke dalam makanan dan minuman Yoga membuat Yoga tak bisa lagi menghindar. Karena tujuannya membawa Yoga ke rumah tentu saja kepuasan.
"Apa maksud ibu?" suara Yoga terdengar bergetar. Bukan hanya karena takut, tapi juga menahan erangan yang seolah melesak mendobrak keluar dari mulutnya merasakan rasa tak nyaman di bawah sana terlebih dengan pijatan yang wanita itu berikan.
"Ayolah, Yoga. Kau tahu maksud ibu," kata wanita itu dengan terus menggoda Yoga bahkan dengan sengaja menggesekkan tubuhnya.
Yoga semakin tak bisa menahan diri namun ia sadar ini salah. Tangannya terkepal kuat mencoba menahannya bahkan giginya terdengar bergemeletuk kala ia menggertakkan gigi menahan diri.
"Kau tenang saja setelah ini aku akan memberimu uang. Berapapun yang kau minta," bujuk wanita itu yang mulai menurunkan celana Yoga.
Yoga seakan kehilangan kesadaran terlebih saat mendengar kata uang. Dengan uang itu ia bisa membahagiakan Yume, membelikan Yume makanan enak dan baju yang layak.
"Jangan!" teriak Yoga dalam hatinya. Sebagian kesadarannya menyuruhnya segera pergi, berteriak bahwa apa yang dilakukannya adalah kesalahan besar. Sekali ia terjun ke lembah hitam, ia tak akan bisa lepas.
Namun iming-iming dan rasa terima kasih seolah menggelayut manja terlebih dengan tubuhnya yang tak dapat dikendalikan.
Wanita itu mengambil jarak dari Yoga dengan berjalan mundur ke arah ranjang. "Ayo, Yoga, kemari ." Dipanggilnya Yoga dengan suara menggoda berharap Yoga segera menyerangnya. Namun di luar dugaan, Yoga justru segera membuka pintu dan berlari ke luar.
"Maaaf!" teriak Yoga seraya berlari keluar dari sana. Melihat itu wanita itu pun murka hingga berteriak.
"Tolong! Tolong! ada pencuri!" teriak wanita itu dengan berlari ke luar rumah setelah membalut tubuhnya menggunakan handuk. la berteriak kencang hingga mengundang banyak warga yang datang.
"Ada apa? Ada apa? Apa yang terjadi?" Beberapa orang pria yang mendengar teriakannya segera datang bahkan beberapa sepeda motor juga sengaja berhenti dan bertanya apa yang terjadi.
"Ada pencuri! Anak laki-laki itu lari ke arah sana! Dia juga berusaha memperkosaku," kata wanita itu dengan berpura-pura menangis lalu pingsan.
"Apa? Pasti anak yang tadi berlari dari sini!" sahut salah seorang yang sebelumnya melihat Yoga keluar dari rumah wanita itu.
"Ayo kita kejar dan bawa ke kantor polisi!" ajak beberapa pria itu yang segera mengejar Yoga sementara tetangga lain yang baru datang untuk melihat apa yang terjadi segera menolong wanita tersebut membawanya masuk ke dalam rumah.
Sementara saat ini Yoga berlari tak tentu arah. Samar-samar ia mendengar teriakan warga yang meneriakinya pencuri. Ia menoleh dan benar saja ada banyak orang dewasa yang mengejarnya.
Yoga berhenti sejenak saat nafasnya seakan mau copot. Jantungnya berdetak amat kencang tak terkendali antara lelah berlari dan takut di saat bersamaan. Namun melihat orang-orang itu kian mendekat, ia kembali berlari sekuat tenanga di tengah siksaan di bawah sana yang benar-benar menyiksa.
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!