Bab 18

Di tempat lain terlihat Yoga yang berdiri di depan gundukan tanah sesuai yang anak buah Baskoro katakan. Pria itu pada akhirnya memberitahu Yoga letak maka Yume dipindahkan namun Yoga yang telah dikendalikan amarah dan emosi tak dapat menahan diri.

Yoga memejamkan mata dengan setetes air mata jatuh membasahi pipi. Perlahan ia merosot dengan kedua lutut mencium tanah. Dan saat matanya terbuka, ia mendongak dengan lelehan air mata kian mengalir deras. Bukan sekedar karena telah berhasil menemukan makam Yume, tapi karena menyesal telah menghabisi nyawa pria semalam.

Satu tangan Yoga terangkat dan menutupi sebelah matanya dengan senyuman mengembang." Akhirnya kakak menemukanmu, Yume," ucapnya. Namun tangisannya tetap bertahan. Pikiran dan hatinya seolah dibagi menjadi dua antara bahagia dan menyesal. Hingga suatu kebetulan, hujan mengguyur perlahan hingga menjadi sangat deras dan menyamarkan isak tangis serta air matanya.

Beberapa hari berlalu sejak hari itu saat ini terlihat Yoga yang duduk di sebuah kafe. Tangannya meraih secangkir kopi pahit di atas meja dan menyesapnya hingga lelehan cairan berwarna hitam itu mengaliri tenggorokan. Kepulan uap hangat nan samar pun terlihat mengepul dari mulut kala mengembuskan nafas pelan.

"Yoga?"

Yoga melirik seseorang yang memanggil namanya dan senyum tipisnya pun tercipta. Mangsanya akhirnya tiba dan masuk jebakan. Wanita itu menarik kursi di depan Yoga saat Yoga meletakkan kembali cangkir kopinya ke atas meja.

"Anda masih mengingatku?" ucap Yoga dengan senyum manis menghiasi wajah.

Arini tertawa kecill. "Bagaimana bisa aku melupakan seseorang yang telah menolongku?" balasnya.

"Bagaimana kaki anda?" tanya Yoga membuka pembicaraan.

"Sudah tidak apa-apa. Berkat dirimu.”

"Anda sendiri?" tanya Yoga berbasa-basi walau inilah yang diharapkan.

"Ya. Aku dari rumah saudariku dan memutuskan ke sini sebelum pulang," jawab Arini.

Sebelah alis Yoga terlihat meninggi. "Saudari anda?"

"Keponakanku meninggal beberapa hari yang lalu. Kecelakaan," jawab Arini yang sepertinya belum menyadari mereka bisa berbicara sedekat ini untuk ukuran orang asing.

Yoga kembali bertanya, "Anak-anak?"

"Apa? Tidak. Dia seusia Mega, anak perempuanku," jawab Arini segera tak ingin menutupi siapa dirinya sebenarnya.

Yoga menatap Arini dengan pandangan sulit diartikan membuat Arini mengernyitkan dahi.

"Kenapa menatapku seperti itu?" tanya Arini.

Yoga tersenyum disertai gelengan dan desisan ringan. "Berapa usia putri anda? Ah, tidak. Berapa usia anda?"

Arini hanya diam dan menatap Yoga dengan pandangan tak terbaca seolah hanya dengan tatapannya itu bisa menyiratkan dua kata tanya. "Apa maksudmu?"

"Kupikir anda masih muda. Mungkin hanya beberapa tahun di atasku," jelas Yoga.

Wajah Arini bersemu merah. "Jangan bergurau. Kau bahkan mungkin seusia putra pertamaku," ucapnya diikuti tawa renyah terdengar.

Yoga terdiam kemudian menatap Arini penuh makna "Tapi di mataku, anda masih sangat muda. Setidaknya kupikir anak anda mungkin baru sekolah dasar."

Wajah Arini kian merona mendapat pujian demikian. Yoga berhasil membawanya terbang hingga melewati atmosfer. Memang banyak yang memuji wajahnya yang terlihat lebih muda dari usia, tapi mendengar Yoga yang mengatakannya semakin membuatnya di atas awan. Usahanya dengan menghabiskan banyak uang untuk perawatan sepertinya tak sia-sia.

Arini mengepalkan tangan di depan mulut dan berdehem. "Rasanya aneh sekali mendengar seseorang seusia anakku memujiku seperti itu."

Yoga tertawa kecil membuat Arini menatapnya tiada henti. Yoga terlalu manis saat menyunggingkan senyuman membuatnya sayang jika disia-siakan. Tapi ia tak akan tertipu dengan mudah. Yoga hanyalah lelaki muda yang pasti hanya menginginkan uangnya. Sama seperti mainan teman-teman sosialitanya.

"Jika boleh tahu. Apa pekerjaanmu?" tanya Arini tiba-tiba.

Seringai tipis Yoga tercipta. "Anda yakin ingin tahu?"

"Kenapa tidak?"

"Sebaiknya anda tidak perlu tahu."

"Apa? Kenapa?"

"Karena anda akan berpikir aku mendekati anda hanya untuk menggoda agar mendapat uang."

Mendengar apa yang Yoga katakan kian membuat Arini penasaran. Walau ia sudah mulai bisa menebak.

"Gigolo. Mau pakai jasaku?"

Mata Arini sempat membulat beberapa saat. Dugaannya benar. Senyum mengejeknya pun tercipta dengan tatapan remeh menatap Yoga. "Jadi sejak awal, aku adalah mangsamu? Incaranmu?" tanyanya sarat nada menuduh.

Yoga mengedikkan bahu. "Mungkin."

"Bahkan dengan seseorang yang menabrak waktu itu? Juga bagian dari rencanamu?”

"Ah, dia? Sepertinya. Bagaimana? Mau memakai jasaku?" tawar Yoga kembali karena sepertinya Arini tengah mengulur waktu untuk berpikir.

"Jangan bercanda. Aku tak akan mengkhianati suamiku."

"Apa aku bilang akan merebut anda darinya? Aku hanya menawarkan diri. Keputusan ada di tangan anda sepenuhnya." Yoga setengah mengangkat bokongnya dan mencondongkan tubuhnya ke arah Arini. "Jangan bersikap seakan anda sangat suci. Haruskah aku menyebutkan berapa banyak gigolo yang pernah anda sewa?"

Arini mendelik menatap Yoga yang wajahnya begitu dekat. "Apa? Kau mengancamku?!"

"Tidak. Aku hanya memberi penawaran," jawab Yoga seraya kembali duduk dengan tenang.

Arini terdengar mendengus. "Siapa yang mengatakannya padamu?"

"Tentu saja salah satu dari temanku," jawab Yoga seraya kembali meraih kopi hitamnya dan meneguknya.

---

Prang!

Lemparan gelas dari tangan Baskoro yang menghantam lemari kaca di ruangannya menciptakan serpihan kecil di yang berserakan. Nafasnya tersengal dengan urat-urat di pelipis yang terlihat samar. Padahal sudah beberapa hari berlalu setelah ia mendapat kabar kematian anak buahnya.

Namun, sampai detik ini sama sekali belum ada kabar siapa yang telah membunuh anak buahnya itu. Bahkan mayat anak buahnya itupun tak bisa ditemukan di mana pun. Tak ada berita atau laporan penemuan mayat, sementara di tempat terakhir kali anak buahnya singgah, tak ditemukan jejak apapun.

Tiba-tiba Baskoro teringat Yoga menduga bisa jadi Yoga berada di balik ini semua. Tapi sampai detik ini pun, ia tak bisa menemukan bukti untuk membenarkan dugaannya. Lalu siapa? Mungkinkah rekan bisnisnya?

"Argh!" Baskoro berteriak dengan kepalan tangan memukul meja di depannya. Sampai saat dering ponselnya berbunyi, ia pun melihat siapa yang mengirimkan pesan. Dan saat melihat nomor tak dikenal yang tertera, kecemasan pun datang, Dan benar saja, pesan itu berisi foto screenshot artikel berita mengenai video asusila Mega. Tepat setelah itu sebuah pesan suara masuk.

["Selamat. Sebelum polisi memeriksa putrimu, kau lebih dulu menyuruhnya kabur. Tapi... terima kasih. Karena itu telah membenarkan bahwa wanita ****** itu memang lah putrimu."]

Baskoro segera menelpon nomor tersebut tepat setelah voice note pria itu berhenti.

"Halo! Siapa kau sebenarnya! Dan apa maumu! Berani-beraninya kau mengancamku?! Aku akan membunuhmu!"

["Sebelum itu terjadi, kau, dan seluruh keluargamu akan lebih dulu mati."]

Yoga menutup panggilan tepat setelah mengatakan kalimat itu pada Baskoro. Menatap layar ponselnya dalam diam, dilemparnya ponsel itu di atas gundukan tanah. Sebelumnya ia sengaja mengangkat panggilan memancing Baskoro agar menemukan lokasinya di sana. Dan saat Baskoro tiba, dirinya tentu sudah akan menghilang, la melakukannya hanya karena satu alasan, yakni gundukan tanah di hadapannya dengan batu nisan di atasnya.

Terpopuler

Comments

Imam Sutoto

Imam Sutoto

jooss lanjut top markotop

2024-04-06

0

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!