Bab 9

"Cepat buka anak sialan! Buka pintunya!" teriak Baskoro hingga tersengal. Saat ini ia tengah berdiri di depan kamar Mega dan tak berhenti berteriak menggedor pintu bercat putih di hadapan.

Setelah apa yang terjadi, pesta segera diakhiri dan Mega segera berlari menuju kamarnya menghindari amukan sang ayah juga menghindari makian dan cacian dari semua orang. Tak pernah terbayan seumur hidupnya, ia akan mengalami hal memalukan seperti ini. Dan dipastikan setelah ini hidupnya akan hancur.

"Aaagh!"

Suara benda pecah terdengar bersamaan dengan teriakan kemarahan serta keputus asaan yang lolos dari mulut Mega. Ia menyapu meja rias membuat berbagai make up harga mahal miliknya berserakan hingga pecah.

Ia menangis, meraung, berteriak hingga suaranya serak, sayangnya apa yang dilakukannya pun percuma karena semua telah terjadi.

Suara kaca pecah terdengar kala Mega melempar botol parfumnya pada cermin melampiaskan kemarahan. Semua ini salah Tian yang tiba-tiba datang dan membuatnya terjebak dalam permainan. 

Selain itu, siapa orang yang telah merekamnya? Juga siapa yang dengan berani menunjukkan video itu di depan semua orang? Namun pikiran yang seharusnya ada itu terabaikan karena perasaan yang Mega rasakan. Perasaan marah, kesal, kecewa, malu dan berbagai perasaan yang tentu siapapun tahu jika berada di posisinya.

Perlahan Mega merosot terduduk dengan punggung bersandar tepi ranjang. Kedua tangannya menjambak rambutnya seakan nyaris lepas dari kulit kepala.

la ingin memutar waktu agar kejadian memalukan ini tak terjadi, namun tentu hal itu sangat mustahil. Kini ia harus menerima konsekuensi, menerima bayaran atas kenikmatan sesaat yang Tian berikan namun menciptakan neraka dunia berkepanjangan.

"Aaagh!" jeritan Mega kembali terdengar memenuhi kamar dengan tangan memukul lantai meluapkan kemarahan.

Sementara di luar, terlihat istri Baskoro yang berusaha menangkan sang suami.

"Ayah, sudah, tenangkan dirimu dulu!" bujuknya. Meski juga sangat terkejut, namun di saat seperti ini bukan waktunya untuk menyalahkan Mega. la tak ingin terjadi sesuatu pada putri satu-satunya.

"Lihat, putri ayah yang selalu ayah bangga-banggakan justru melempar kotoran ke muka ayah." Sebuah suara terdengar mendekat menghampiri Baskoro yang masih berusaha membuka pintu kamar Mega yang terkunci dari dalam.

Baskoro yang mendengar ucapan Doni, anak keduanya, terlihat semakin naik pitam. "Diam kau! Dan cepat buka pintu ini!"

Bukannya menuruti perintah sang ayah, Doni justru duduk ke sofa. Menyilangkan kakinya bertumpu lutut, tangannya pun bersedekap. Kemudian ditatapnya sang ayah dengan sorot  matanya yang sama sekali tak menunjukkan kepedulian. "Untuk apa aku melakukannya?"

"Doni! Jika kau tak bisa menenangkan ayahmu! Sebaiknya diam! Jangan membuat suasana semakin keruh!" bentak Arini, sang ibu yang menatap Doni dengan mata melotot.

Doni terdengar mendengus. Dan saat ia hendak kembali membuka suara, suara lain yang terdengar dingin lebih dulu terdengar.

"Biarkan saja. Jika tidak, mungkin besok kita hanya mendapatinya menjadi mayat."

"Apa maksudmu, Za!" bentak Arini pada anak sulungnya bernama Reza.

Reza berdiri menatap kedua orang tuanya dengan satu tangan masuk saku celana. "Jika Mega keluar sekarang, apa yang akan ayah lakukan? Jika saat ini ayah memarahinya, bisa saja dia berbuat nekat," ucapnya.

Baskoro menghampiri Reza dan menunjuk tepat di depan wajahnya. "Jadi kau ingin aku diam saja setelah apa yang dilakukannya?! Semua ini salahmu! Sebagai kakak kau tak bisa melindungi adikmu!" teriaknya hingga urat di pelipisnya terlihat.

Reza menatap ayahnya dalam diam dengan sorot matanya yang tak terbaca. Bukan ia menerima makian sang ayah, tapi ia sadar bahkan membalas ucapan ayahnya hingga mulutnya berbusa sekalipun, itu percuma.

Tiba-tiba Doni bangkit dari duduknya dan pergi meninggalkan orang tua juga kakaknya. Jika sudah ada kakaknya di sana, keberadaannya sama sekali tak dibutuhkan bahkan tak dianggap.

Sejak ia kecil, ia selalu dibedakan. Kedua orang tuanya selalu membanggakan kakaknya yang memang jauh di atasnya. Bukan sekedar dari kecerdasan tapi dari semua bidang.

Sementara Mega menjadi anak emas karena dia adalah anak perempuan satu-satunya. Tapi hari ini, Mega si anak emas telah menjadi anak sialan yang mencoreng nama baik keluarganya.

"Setidaknya aku sudah memperingatkan ayah," ucap Reza yang kemudian berbalik dan melangkah pergi dari sana. Ia tahu apa yang Mega lakukan telah mencoreng nama baik keluarganya, mencoreng nama baik ayahnya tepat di depan semua orang.

Tapi dirinya sadar bahwa yang Mega butuhkan sekarang bukanlah makian atau hakiman, melainkan rangkulan. Namun tentu hal itu sangat mustahil terlebih dengan sifat ayahnya.

Baskoro berteriak melihat Reza dan Doni justru pergi seolah tak peduli. Kemudian ia kembali menggedor pintu kamar Mega dan terus berteriak menyuruhnya membuka pintu untuknya.

Namun sadar apa yang dilakukannya sia-sia, ia segera memanggil anak buahnya menyuruh mereka mendobrak pintunya. Dan usahanya pun membuahkan hasil. Dua orang security yang diperintahkan berhasil mendobrak pintu kamar Mega.

"Di mana kau anak sialan!" teriak Baskoro seraya memasuki kamar. Tepat setelah itu suara teriakan terdengar yang tak lain dari Arini kala melihat tubuh putri satu-satunya bersandar tepi ranjang dengan tangan terkulai dan mengeluarkan darah dari luka sayatan di pergelangan tangan.

"Mega!" jerit Arini seraya berlari menyusul sang putri. Tangisannya pun kian pecah melihat putrinya terkulai tak sadarkan diri.

Baskoro yang melihat itu pun begitu panik. Kemarahan yang sebelumnya terpancar dari wajahnya kini digantikan raut wajah tak terbaca. Antara kecewa, marah dan khawatir, menjadi satu dalam benak.

"Cepat panggil ambulance! Cepat panggil ambulance dan bawa anakku ke rumah sakit!" teriak Arini hingga suaranya serak. Dipeluknya tubuh dingin Mega sampai tiba-tiba dirinya pun jatuh pingsan tak sanggup menerima kenyataan.

Di tempat lain, terlihat Yoga yang berjalan memasuki rumahnya. la baru sampai, sampai tiba-tiba dering ponselnya menghentikan langkahnya menuju kamar. "Hn?"

["Non Mega berniat bunuh diri."]

Alis Yoga terlihat menyatu. "Sudah mati?" tanyanya. Padahal ia masih ingin menyiksanya lebih lama. Sangat tak menyenangkan jika Mega mati dengan cepat.

["Saya belum tahu pasti. Mereka baru saja membawanya ke rumah sakit.]

"Baiklah. Jika terjadi sesuatu, katakan saja padaku." Setelah mengatakan itu, Yoga mematikan sambungan telepon dan melanjutkan langkahnya menuju kamar.

Sesampainya di kamar, Yoga mulai membuka jas diikuti pakaiannya satu-persatu kemudian melangkah menuju kamar mandi. Tak berselang lama suara gemericik air pun terdengar.

Yoga berdiri di bawah shower dengan air dingin yang mengguyur tubuhnya. Memejamkan mata kala ia menengadah menerima tetesan air dingin di wajahnya, ia teringat keberhasilannya yang membuat kurva lengkung tercipta di bibir. Bahkan rencananya baru saja dimulai, tapi Mega sudah mau mati? Tidak semudah itu.

Terpopuler

Comments

Imam Sutoto

Imam Sutoto

good job Thor lanjut

2024-04-05

1

Aditya HP/bunda lia

Aditya HP/bunda lia

iyalah jangan dibuat mati dulu terlalu enak kamu harus bikin si mega diperkaos banyak laki2 sampe mati sama seperti yang menimpa adikmu Yoga

2024-02-17

1

Hekmah Santi

Hekmah Santi

Up

2023-12-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!