Bab 5

"Maaf Tuan, aku sudah mengusirnya tapi dia tetap." Ucapan security itu terhenti saat paman Yoga mengangkat tangan memberikan isyarat untuk diam.

Yoga memasukkan tangannya melewati celah pagar gerbang berusaha meraih tangan pamannya. Namun pamannya segera menarik diri mundur ke belakang.

Yoga cukup terkejut namun ia tak berhenti mengiba berharap pamannya menolong Yume. Melihat secercah cahaya karena bertemu pamannya membuatnya seolah lupa bahwa Yume telah tiada.

"Ish, singkirkan tangan menjijikanmu itu," ucap paman Yoga yang seketika membuat Yoga melebarkan mata. "Memangnya apa yang terjadi dengan adikmu itu? Ini, kuberi kau uang dan segera pergi dari sini."

Paman Yoga mengambil uang dari saku celananya dan melempar selembar uang seratus ribu itu pada Yoga. Kemudian pria berusia sekitar 40-an itu berbalik dan melangkah pergi kembali menuju rumah.

Yoga menatap selembar uang itu dengan tatapan kosong.

"Kau sudah dapat uang, kan, sekarang cepat pergi," usir security itu dan kembali ke pos jaga di sisi gerbang.

Yoga masih terdiam menatap selembar uang itu dengan berbagai pikiran berkecamuk.

Sampai tiba-tiba suara klakson membuatnya terjingkat kaget.

"Hei! Kau ingin mati?" teriak wanita dari dalam mobil yang sengaja menyembulkan kepalanya ke luar untuk memarahi Yoga. "Cepat menyingkir!"

Yoga menoleh dan mendapati bibinya lah yang berteriak padanya.

"Hei! Apa kau tuli?! Cepat menyingkir!" teriak wanita dengan wajah menornya itu sekali lagi dan kembali membunyikan klakson.

Yoga menyingkir dari tengah gerbang bersamaan security membuka pintu gerbang. "Kau tak melihat gelandangan itu? Cepat sir dia!" perintah wanita itu pada security saat mobilnya telah melewati gerbang.

"Kau dengar sendiri kan? Cepat pergi dari sini nanti aku kena marah," kata security tersebut seraya menutup kembali pintu gerbang.

Yoga masih berdiri dalam diam seolah tengah mencerna semuanya dan mengarah pandangan pada mobil bibinya yang berhenti. Kemudian ia melihat bibinya keluar dari mobil dan berjalan ke arahnya. Secercah harapan pun muncul di hati Yoga, namun seketika dipatahkan saat itu juga saat bibinya memberinya selembar uang sepuluh ribu. 

"Sekarang pergilah, Jangan lupa doakan aku agar tetap awet muda, uang itu cukup untukmu makan nasi bungkus kan," ujarnya dengan sombong, la mengira Yoga pengemis dan meminta Yoga mendoakannya setelah memberinya uang."Dan siapa yang kau gendong itu? Kekasihmu? Hahaha, dasar, kalian sama-sama bau," ucapnya kembali kemudian berbalik.

"Bibi, ini aku, Yoga," ucap Yoga dengan suara lemah. Untuk kali ini saja, ia harap bibinya memberinya belas kasihan.

Wanita yang merupakan kakak dari ibu Yoga, seketika menghentikan langkah dan kembali berbalik menatap Yoga. "Yoga? Yoga anaknya Winda ?" tanyanya.

Yoga mengangguk dan menempelkan tubuhnya pada gerbang seraya mengulurkan tangan meminta bantuan bibinya. "Iya, Bi. Tolong aku, Yume-" Belum sempat Yoga menyelesaikan ucapannya, wanita bernama Marta itu mengambil uang dari dalam tasnya melemparnya pada Yoga.

"Kurasa itu cukup. Atau, apa masih kurang? Ini." Kembali mengambil lima lembar uang pecahan seratus ribu dan kembali melemparnya pada Yoga.

Yoga tak tahan lagi, ia marah, ia kecewa melihat kelakuan keluarga yang seharusnya merawatnya namun justru menganiayanya dengan hinaan membuatnya murka.

"Kenapa kalian memperlakukanku seperti ini?! Apa kalian lupa saat ayah dan ibuku membantu kalian saat kalian sulit?!" teriak Yoga dengan berusaha merah bibinya.

Bibinya bersedekap menatap Yoga penuh kesombngan bahkan tertawa merendakan. "Hahaha. Bantan yang mana? Aku tak pernah mengingatnya. Hah... tahu begini kau mati saja sekalian bersama kedua orang tuamu. Oops!" Dengan sengaja Marta menutup mulut seolah keceplosan telah mengatakan sebuah rahasia.

"Apa? Apa maksud bibi?!"

Marta menggeleng ringan. "Yoga, Yoga, kau benar-benar bodoh, Apa kau percaya saat orang-orang datang dan meminta rumah ini?" Menunjuk rumah besar di belakangnya.

"Itu semua hanya akal-akalan pamanmu. Dia sengaja agar kau terusir dan dia bisa menempati rumah ini. Harusnya kau bersyukur pamanmu tak membunuhmu. Yah, tapi kasihan kau juga sih, yang sebelumnya anak sultan, sekarang jadi gembel di jalanan.”

Mata Yoga melebar sempurna, Jadi selama ini???

"Ish, jangan menatapku seperti itu. Sekarang pergilah sebelum aku memanggil polisi untuk menertibkanmu." Setelah mengatakan itu ia berbalik. Namun saat mendapat langkah pertama, ia setengah berbalik dan menatap Yoga. "Ah, dan satu lagi, suruh Yume mandi, dia benar-benar bau."

Yoga meradang mengetahui fakta menyakitkan ini terlebih saat bibinya menghina Yume. "Sialan! Jadi selama ini kalian yang menjadi penyebab nerakaku?! Kemarilah dan aku akan membunuhmu! Aku akan membunuhmu!" teriaknya hingga suaranya serak dan kaki menendang gerbang. 

Namun tentu yang dilakukannya sia-sia. Bibinya tetapi mengabaikannya, meninggalkannya di depan gerbang dengan terus berteriak.

Yoga jatuh terduduk tak sanggup lagi menopang tubuh. Bukan sekedar karena lelah yang mendera, tapi juga tekanan batin yang ia dapat setelah mengetahui fakta mengerikan mengenai kedua orang tuanya.

Perlahan hujan kembali turun, mengguyur tubuh Yoga yang saat ini bersimpuh. Ia mendekap Yume yang sebelumnya berada di gendongan punggungnya dan menangis hingga terisak. Rasanya ia tak sanggup menerima kenyataan ini, tak sanggup memikulnya sendiri terlebih dengan kehilangan adiknya.

"Maafkan, kakak, maafkan kakak," lirihnya mendekap tubuh Yume. Hingga akhirnya ia hanya bisa berteriak meluapkan emosi jiwa membiarkan air hujan menerpa wajahnya dan membawa tetesan air matanya bersamanya.

Tiba-tiba derasnya hujan yang sebelumnya mengguyur terhenti saat sebuah payung memayungi tubuh Yoga. Yoga yang merasakannya mendongak dan mendapati seorang pria berdiri di depannya.

Perlahan pria itu berjongkok, menatap Yoga dengan pandangan tak terbaca kemudian pada Yume. "Ikutlah denganku. Aku akan membantumu.”

Bibir Yoga bergetar kala ia berusaha menahan tangisnya. la tak mengenal orang itu, tapi hanya beliau satu-satunya harapannya saat ini. "Tolong aku... tolong Yume-ku...."

Pria itu menoleh menatap ke dalam gerbang pada rumah Yoga dan kembali menatap Yoga seraya bergumam, "Saatnya pembalasan dendam."

---

Langit terlihat sendu dengan awan hitam yang seolah tak sanggup lagi menahan air hujan. Seakan-akan menjadi saksi bisu bahwa juga tak sanggup menahan kesedihan yang Yoga rasakan.

Yoga memeluk nisan kayu bertuliskan nama sang adik, Yume Aoi dengan air mata yang terus menetes. Dengan bantuan pria misterius yang menghampirinya, Yume telah dimakamkan dengan layak di samping makam kedua orang tuanya. Sementara pria yang menolong Yoga berdiri di belakangnya, menatap Yoga dengan pandangan tak terbaca.

Pria berbaju serba hitam itu menepuk bahu Yoga membuat Yoga setengah menoleh menatapnya dengan mata sembab dan menahan sesenggukan." Sekarang bukan saatnya menangisi apa yang telah terjadi. Sekarang adalah saatnya membalas dendam orang tua dan adikmu."

Yoga mengusap air matanya kasar, bangkit berdiri dan menatap nisan Yume dengan tangan terkepal kuat di sisi tubuhnya. Sorot matanya menunjukkan tekad kuat dengan gelora kebencian berkobar pada orang-orang yang telah membuatnya berdiri di sana sekarang. Ia bersumpah walau harus membayar dengan hidupnya, akan ia lakukan demi balas dendam.

Terpopuler

Comments

Edy Sulaiman

Edy Sulaiman

mc nya sgt mengenaskan, coba terima tawaran tante sundel tadi...hhhh nikmat gk susah..hhh

2024-05-03

0

Imam Sutoto

Imam Sutoto

good luck thor lanjut

2024-04-05

1

مي زين الش

مي زين الش

ceritanya bikin mewek thor. jd keingat film ari anggara. bagus banget ceritanya. semangat ya kakak author👍👍❤❤

2024-03-02

1

lihat semua

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!