Kamar Huang Jian Ying tampak sepi senyap seperti biasanya, tidak ada hal menarik dan mewah disana, sang nona selalu tampil dengan sederhana. Berbanding terbalik dengan Huang Ling Xi, dia suka mengoleksi giok dan menata kamarnya dengan sangat cantik. Ling Xi suka bunga, dia sangat senang memandang taman di depan kamarnya. Tapi pagi ini, dia memutuskan untuk pergi menemui sang kakak. Tujuannya adalah untuk memberinya hadiah karena telah memenangkan pertarungan sebagai pendamping putra mahkota, tak hanya dengan Ling Xi tapi juga dengan seluruh nona-nona dari keluarga terpandang di Negeri Jing.
Saat sampai disana, Xin Yang, pelayan setia Huang Jian Ying menyambut. “Salam nona kedua, ada hal apa yang membuat anda datang ke kediaman nona besar?”
“Aku ingin bertemu dengan kakak, apa dia ada di dalam?”
“Ada.” jawab si pelayan, “Tapi untuk apa anda datang menemuinya?”
Huang Ling Xi merotasikan bola matanya, “Kau tidak perlu tahu, ini bukan urusanmu!”
“Tapi, tapi, tuan jenderal melarang siapapun yang tidak berkepentingan untuk menemui nona besar.” Xin Yang menahan langkah Huang Ling Xi, mengingat perangai sang nona yang sangat tempramental dan tindakannya yang selalu di luar nalar. Si pelayan jadi takut kalau Huang Ling Xi akan melampiaskan kekalahannya pada Jian Ying.
Xin Yang diam untuk beberapa saat, “Nona, ini masih pagi. Nona besar sedang bersiap untuk dijemput oleh kekaisaran, bukahkan tidak hormat kalau anda mengganggunya?”
“Kau berani memerintahku?”
“Nona--- tapi”
“Minggir! Kau menghalangi jalanku!”
Bukannya segera menepikan diri, si pelayan justru merentangkan kedua tangannya. “Tidak, nona, saya tidak akan membiarkan anda melukai nona besar.”
“Cih, memangnya kau pernah melihat aku melukainya?” sarkas Huang Ling Xi, dia masih tenang dan anggun menghadapi tikus kecil itu. “Aku ingin memberinya hadiah, itu saja. Kalau kau tidak percaya maka lihatlah sendiri, Xu Li, tunjukkan hadiahnya!”
Xu Li yang sejak tadi berada di belakang Huang Ling Xi langsung menunjukkan sebuah kota berwarna putih yang diberi ukiran cantik, dia membuka kota itu untuk memperlihatkan isi di dalamnya. Setelah melihat sendiri, Xin Yang segera menepi untuk memberi jalan.
Huang Ling Xi membuka pintu kamar sang kakak, setelah meletakkan hadiahnya di atas meja, dia meminta Xu Li untuk pergi. Sayangnya begitu sampai disana, dia tidak mendapati Huang Jian Ying disana.
Kemana perginya sang kakak?
“Kakak, ini aku, aku datang untuk menemuimu.”
“Kakak?”
“Kakak?”
“Siapa itu?” suara lembut mengalun dari arah yang berlawanan, derap langkah terdengar semakin jelas. Sambil bersedekap, Ling Xi menatap sang kakak yang baru datang entah dari mana, tapi di tangannya ada sehelai kain yang sepertinya baru disulam. “Ling Xi?”
Huang Ling Xi memutar bola matanya, “Benar ini aku, memangnya siapa lagi yang memanggilmu kakak selain aku.” sarkasnya.
“Maaf, aku tidak mendengarmu, aku sedang menyulam di belakang.” jawab Huang Jian Yin lembut, “Ada apa kau datang menemuiku?”
“Aku ingin memberimu hadiah.” jawab Ling Xi ketus.
Kedua mata sang kakak berbinar, dia meletakkan kain sulamnya dan berjalan menghampiri meja. Tempat dimana sebuah kotak asing diletakkan disana, dia duduk berhadapan dengan Ling Xi. “Apa ini?”
“Itu adalah hadiah untukmu.”
“Adik, kau seharusnya tidak perlu repot begini. Bukankah kau tidak suka dengan kekalahanmu ini? Kenapa kau repot sekali memberiku hadiah?”
Huang Ling Xi mengendikkan bahunya acuh, “Sebagai adik yang baik, sudah sepantasnya aku turut berbahagia dengan keberhasilanmu. Kau telah membawa nama baik bagi keluarga, maka aku pun akan merasa bangga. Aku memang tidak begitu menyenangi kekalahanku, tapi bagaimana pun kau tetap kakakku.”
Huang Jian Ying tersentuh, perasaannya yang begitu lembut bagai teraliri sejuk hingga membuat matanya bertelaga. Sudah sejak lama dia ditinggalkan oleh ibundanya, bahkan dia tidak pernah tahu bagaimana rupa sang ibu, tidak ada potret lukisan sebab sang ibu berasal dari kalangan biasa. Berbeda dengan Liu Ning Yu yang berasal dari keluarga bangsawan.
Tangan lentiknya bergerak lembut untuk membuka isi kota itu, satu set cangkir porselen untuk minum teh beserta tehnya. Huang Jian Ying mengangkat satu cangkir yang sangat cantik, “Adik, ini pasti berharga tinggi. Aku tidak bisa menerima benda mahal ini, kenapa kau begitu bermurah hati?”
“Ini tidak mahal, ini untukmu, aku akan sedih jika kau tidak menerimanya.” jawab Huang Ling Xi, tidak ada senyuman atau wajah sendu, dia hanya berucap dengan ekspresi wajah yang datar. “Kau senang minum teh, kakak, aku ingin kau mengenangku dengan cangkir itu. Cangkir itu terukir bunga mawar yang indah, sebagai lambang dari cinta dan ambisi, mawar sangat indah dan harum mewangi. Tapi, dia juga bisa melukai.”
“Benar adik, mawar ini memang sangat indah.” Huang Jian Ying membenarkan kelopak mawar yang menjadi ukiran pada cangkir porselen mahal itu.
“Uhhuk … uhhukk!”
“Hei, kau tak apa?” Huang Ling Xi terkejut saat sang kakak tiba-tiba batuk, kali ini cukup hebat hingga dia harus menuangkan air untuknya.
Bukan lagi rahasia jika Huang Jian Ying memiliki fisik yang lemah, dia sering sakit dan pingsan tanpa sebab yang jelas. Begitu batuknya reda, sang kakak menerima air dari si adik. Kelembutan hati dan ketulusan yang selalu ia hargai, sekalipun Ling Xi selalu menutupinya dengan ego. “Apa kau masih meminum teh itu?” tanya Ling Xi.
“Teh?”
“Bukankah itu teh pemberian ibu?” Ling Xi menunjuk sebuah teh herbal yang diletakkan di nakas tempat biasa Huang Jian Ying menyimpan cangkir teh.
Sang kakak menganggukkan kepala dengan polos, “Iya, itu pemberian ibu, bagaimana aku tidak meminumnya. Rasanya sangat cocok denganku, maka aku rajin meminumnya setiap hari. Karena ibu akan bersedih kalau aku tidak meminumnya.”
Mendengar jawaban sang kakak, sorot mata sang nona kedua meredup. Dia tahu tentang teh itu dan kisah dibaliknya, mungkin dia lebih tahu dari Huang Jian Ying. Liu Ning Yu memberikannya setiap minggu, teh itu ada kandungan racun di dalamnya, meskipun dalam jumlah yang sedikit, tapi jika dikonsumsi dalam waktu yang lama dan terus menerus maka itu bisa merusak kesehatan. Persis seperti yang dialami Huang Jian Ying. Secara tidak langsung, sang ibu penyebab nona besar menjadi sakit-sakitan.
“Uhhuk … uhhukk!”
“Apa kau baik-baik saja?” tanya Ling Xi ketus, “Jangan terus batuk seperti itu!” kesalnya.
Jian Ying tersenyum tipis, “Aku tak apa, ini sudah biasa karena fisikku memang lemah sejak lama. Minum teh akan meredakan sakitku, dan sekarang aku bingung harus meminum teh yang mana, dari ibu atau darimu.”
Sang nona kedua bangkit, dia berjalan pergi begitu saja tanpa berpamitan pada sang kakak. Sebuah hal yang biasa dilakukannya, datang dan pergi sesuka hatinya. Tapi sebelum benar-benar menghilang dari balik pintu, dia berhenti. “Sebaiknya kau tidak perlu meminum teh lagi.”
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 195 Episodes
Comments
Salsabilla Kim
semangat thor 💪
2024-05-04
0