11. Keresahan Orang Tua

Pertemuan malam itu telah selesai. Kini giliran persiapan pernikahan dimulai. Pada awalnya Bambang Adi Atmaja sempat menolak pernikahan tersebut. Namun, demi janjinya pada sang putri tercinta dan tidak ingin Niken menunda pernikahannya, akhirnya dia pasrah dan membebaskan Niken memilih suaminya, yaitu Ardi.

Hari berikutnya. Niken begitu bersemangat untuk mengajak Ardi ke butik yang menyediakan perlengkapan pernikahan, terutama gaun pengantin.

Niken memilih butik tersebut dikarenakan, ibunya dulu membeli gaun pengantin di sana, bukan hanya ibunya, tetapi nenek dan keluarga Atmaja lainnya sering membeli gaun pernikahan di sana. Jadi, bisa dikatakan butik tersebut sangat bersejarah bagi keluarga Atmaja dan Niken ingin membuat sejarah itu tetap ada.

Niken dan Ardi mulai melakukan pengukuran, mulai dari tinggi badan, lingkar pinggang, dada dan lain-lainnya. Semuanya harus sempurna. Ah, tidak mungkin 99% karena kesempurnaan hanya milik Allah, Sang Maha Cipta.

Setelah hampir satu jam, akhirnya pengukuran pun selesai sekaligus menentukan tema gaun pengantin yang akan Niken kenakan nanti dan tentunya jas pengantin yang akan Ardi kenakan di hari bersejarah bagi mereka nanti.

Ardi yang tidak tahu menahu soal gaun pengantin, memilih diam dan duduk di sofa, seraya membaca majalah yang memang tersedia di sana.

***

Akhirnya proses persiapan gaun pengantin selesai juga. Niken mengajak Ardi untuk mencari gedung yang nantinya akan digunakan sebagai resepsi mereka.

"Menurutmu enaknya kita menikah di gedung yang ada di Jakarta atau Bandung?" tanyanya meminta pendapat.

Ardi tidak tahu menahu soal gedung yang biasa dijadikan untuk resepsi pernikahan. Namun, ada hal yang Ardi ingin wujudkan.

"Bagaimana kalau kita menyewa gedung yang letaknya di dekat Gedung Sate? Sejujurnya, aku ingin membuat resepsi pernikahan di sana. Namun, sayang. Aku tidak memiliki banyak uang untuk menyewanya," lirih Ardi sembari membuang napas berat.

Mimpinya cukup sederhana yaitu mengadakan resepsi pernikahan dengan wanita yang dia cintai. Namun, harapan itu seolah sirna dari kehidupannya saat Melati pergi dari rumah dan hanya meninggalkan sepucuk surat.

Niken menatapnya dalam diam. Biarpun dia tidak pernah mengalami ditinggal kekasih di hari pernikahan, tetapi dia bisa merasakan betapa malunya Ardi saat itu. Sudah pasti orang-orang di desanya mengucilkan Ardi karena gagal menikah dengan kekasihnya, ditambah Melati pergi tanpa memberi tahu dan hanya meninggalkan sepucuk surat saja.

Niken menggeleng, merasa iba pada calon suaminya tersebut. "Sudah jangan bersedih kaya gitu. Kamu kelihatan jelek kalau lagi nangis," celetuk Niken.

Bukan cara sikapnya saja yang berubah, tetapi caranya berbicara pun agaknya sedikit berubah. Dia tidak lagi memakai bahasa formal yang biasa diucapkannya.

Ardi sedikit tersentak kaget tatkala Niken menyentuh bahunya, memberikan sentuhan hangat yang membuat bebannya sedikit terangkat.

Entah mengapa, melihat Niken menimbulkan perasaan aneh yang sulit diartikan olehnya. Apa lagi saat menatap Niken, seolah bayang-bayang Melati hilang dari ingatannya. Apakah Niken benar-benar sudah menghapus nama Melati dari hatinya?

"Ah, tidak mungkin dia menghapus nama Melati dari hatiku? Tidak akan mungkin. Melati akan tetap menjadi Bidadari yang mengisi hatiku," batinnya, menepis anggapan yang dibuatnya sendiri.

Niken kembali fokus pada jalanan. Ardi tidak bisa menyetir, sehingga Niken menyetirnya. Biasanya Jake yang akan mengemudi, tetapi hari ini dia hanya ingin berduaan dengan Ardi.

Sesungguhnya ini permintaan Mita, tapi entah mengapa Niken mau melakukannya dengan ikhlas?

***

Di saat Ardi tengah menikmati kebahagiaan bersama keluarga barunya. Jauh di sana, Ati Suami, tengah duduk merenung, memeluk erat foto Ardi.

Sejak hari itu, Ati begitu kesepian karena kepergian putranya. Dia terus menyebut nama Ardi, bahkan dia sampai tidak makan dua hari karena merindukan putra satu-satunya tersebut.

Bagaimana kehidupan Ardi? Apa yang sedang dia lakukan sekarang? Ia makan apa? Tidur di mana ia? Ati terus memikirkan hal tersebut karena selama ini Ardi tidak pernah jauh dari keluarga.

Biarpun Ardi kerap kali bekerja di desa lain, tetapi setiap malam dia akan kembali ke rumah, menghabiskan waktu bersama keluarga kecilnya.

Erman Hermanto, yang biasa dipanggil Kang Asep itu, tidak bisa berbuat apa-apa. Dia bingin menghibur istrinya, tetapi yang dibutuhkan Ati saat ini adalah Ardi dan bukan hiburan.

"Makan dulu ya. Sudah dua hari dua malam kamu tidak makan. Nanti kalau kamu sakit bagaimana? Ardi pasti akan marah melihat kamu seperti ini. Makan, Ya!"

Kang Asep mengarahkan sesendok nasi yang sudah terisi dengan lauk pauk, mencoba untuk memasukkan nasi tersebut ke mulut istrinya. Ati melirik suaminya dan dengan segera dia menepis tangan Kang Asep, sehingga makanannya jatuh berserakan.

"Sudah aku katakan bukan. Aku tidak akan makan sebelum Ardi pulang. Aku makan enak di sini, sedangkan Ardi ... Entah apa yang dia makan? Mungkin dia juga belum makan sampai sekarang!" bentaknya, disertai mata yang melotot.

Asep hampir tersulut emosi karena Ati terus saja menepis tangannya, sehingga makanan pun terbuang sia-sia. Namun, Kang Asep segera memahami alasan dari mogok makan yang dijalani istirnya tersebut, semata-mata hanya untuk merasakan bagaimana kondisi Ardi sekarang.

Memang benar, sejak hari itu Ardi tidak pernah kembali ke rumah. Baik dia maupun Ati sama-sama tidak mengetahui tentang keberadaannya. Masihkah ia hidup atau ia sudah mati karena saat itu ia mengalami luka, akibat dipukuli oleh warga?

Asep melihat piring yang berisikan nasi dan lauk pauknya itu. Seketika dia merasa bersalah karena selama dua hari terakhir ini, dirinya masih bisa makan dengan baik, walaupun sedikit sulit mencernanya karena teringat terus akan putra tersayangnya, yang entah di mana rimbanya sekarang?

"Kalau begitu, aku juga tidak akan makan. Bapak macam apa aku, yang makan dengan enak sedangkan putranya di luaran sana, entah sudah makan atau belum?"

Kang Asep meletakkan piringannya. Melihat istirnya yang begitu kacau, membuatnya ikut kalut juga. Terutama membayangkan bagaimana nasib Ardi di luaran sana?

Ati pun melirik suaminya yang duduk di lantai, sedangkan dirinya berada di sofa. Buru-buru dia turun dari sofa, lalu duduk bersebelahan dengan suaminya.

"Aku sangat merindukan Ardi. Bagaimana nasibnya sekarang?" Ati menyandarkan kepalanya pada bahu suaminya.

Kang Asep mengusap lembut bahu istirnya, lalu mengecup keningnya, "Kita serahkan semuanya pada Allah. Hanya pada-Nya kita meminta pertolongan. Teruslah berdoa untuk keselamatan Ardi. Semoga anak kita itu dilindungi dari segala marabahaya."

"Amin." Ati pun mengaminkan doa suaminya. Doa yang sama terus dia panjatkan pada Sang Maha Kuasa, agar putra satu-satunya itu terus diberi perlindungan.

Kang Asep maupun Ati, sama-sama saling menguatkan. Saat kejadian beberapa hari lalu, bukannya mereka tidak ingin menolong Ardi, tetapi mereka tidak memiliki kuasa untuk melepaskan Ardi.

Para warna merasa geram karena ulahnya yang tidak bermoral itu, sehingga mereka pun tersulut emosi dan memukuli Ardi secara membabi buta.

Para warga di sana hanya tidak ingin anak-anak gadis mereka menjadi korban kebejatan Ardi. Sudah cukup Sukiya yang menjadi korbannya, dan merasa mereka tidak ingin kejadian serupa menimpa anggota keluarga mereka. Pada akhirnya, Ardi pun dibuang dari desa. Dia tidak diperbolehkan untuk memasuki desa kembali sampai kapan pun juga.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!