7. Penampilannya Berubah

Niken mengajak Ardi untuk memilih berbagai jenis pakai, mulai dari gaya santai, formal dan maskulin. Niken memiliki selera tinggi dalam hal gaya, sehingga dia memilih pakaian yang memang cocok untuk Ardi. Tidak terlalu mewah, tetapi tidak juga terlalu kampungan. Ini adalah style-nya.

"Ini ... Ini juga ... Jangan lupakan ini ... Ah, dan ini juga. Kamu harus memakai ini saat bertemu Ayah nanti." Niken membuat Ardi kewalahan dengan semua pakaian yang telah dia pilihkan.

Ardi sampai sulit berjalan karena baju yang Niken berikan hampir menutupi pandangnya. Ardi ingin protes, tetapi mulutnya sulit mengeluarkan kata-kata akibat baju yang menumpuk di kedua tangannya.

bagaimana Ardi tidak keteteran membawa semua barang-barang yang hampir menggunung itu, kalau Niken saja masih asyik mencari-cari baju yang sesuai dengan gayanya.

"Dia memiliki tubuh besar, tegak dan sedikit berotot. Akan tetapi, dia memiliki paha yang besar dan juga perut yang buncit."

Niken berceloteh sendiri, seraya melihat-lihat koleksi pakaian yang ada di toko tersebut. Hampir 10% baju telah Niken pilih untuk Ardi dan rasanya masih sangat kurang.

Demi menunjang penampilan Ardi sebagai Tuan Atmaja nanti, Niken benar-benar memilih pakaian yang sesuai dengan kondisi dan situasi yang ada.

BRUK ..

Dikarenakan beban yang terlalu berat, Ardi pun sudah tidak kuat membawa semua pakaian tersebut, sehingga baju-bajunya pun jatuh beserta dirinya.

"Ardi!" Niken respect, dia menaruh kembali baju yang tadi sempat diambilnya dan segera membantu Ardi, "Apa kamu terluka?" Bukan menanyakan kabar, tetapi Niken langsung memeriksa kondisi Ardi, mungkin saja ada yang lecet atau patah tulang karena kemungkinan untuk cidera jelas ada.

Ardi mengerjapkan matanya, "Aku baik-baik saja. Mengapa kamu begitu khawatir? Jangan-jangan kamu sudah suka sama aku, Ya?" tebaknya penuh percaya diri.

Bukannya bersikap serius, Ardi malah bercanda. Dia selalu memiliki cara untuk membuat Niken tersipu malu.

Telunjuknya menunjuk wajah Niken yang tersipu malu. Buru-buru Niken menepis tangan Ardi. "Apaan si kamu? Aku benar-benar cemas karena takut kamu kenapa-napa. Kalau kamu sakit 'kan aku juga yang repot. Bisa-bisa, Ayah tidak akan percaya lagi denganku. Dia pasti berpikir, ucapanku hanya omong kosong belaka. Jadi, kamu jangan sok kepedean deh. Aku engga mungkin suka sama kamu. Sekarang ataupun nanti," celetuknya buru-buru berdiri, seraya merapikan baju.

Ardi menangkap sesuatu yang tidak beres dari sikap Niken seolah sedang menyibukkan dirinya. "Ini semua gara-gara kamu. Mengapa juga kita harus membeli baju sebanyak ini. Memangnya kamu membeli baju untuk satu kelurahan? Tidak bukan?" hardiknya marah-marah, tatkala melihat tumpukan baju yang sudah seperti gunung itu.

"Hei!" Niken pun naik pitam, telunjuknya mengacungkan mengarah tepat pada wajah Ardi. "Ini semua aku lakukan untuk menunjang semua penampilanmu tahu. Seharusnya kamu berterima kasih dan bukannya protes seperti ini."

Berdebatan kembali terjadi. Dua-duanya sama-sama keras kepala, tidak ada yang mau mengalah, terutama Niken yang tidak mau hidupnya diatur-atur dan diikut campuri.

Ketika emosi telah mencapai 99% saat itu juga Ardi tertawa lepas. Suaranya yang begitu berat khas pria Hollywood, ternyata mampu memancingnya perhatian orang-orang di sana.

Mereka yang sedang memilih pakaian pun menjadi diam, seketika pandangan mereka tertuju pada Ardi.

Biarpun dia berasal dari desa, tetapi Ardi memiliki postur wajah seperti model-model Hollywood. Meski masih tersisa luka lebam di wajahnya. Namun, tidak mengurangi sedikitpun karismanya di depan para wanita. Itu pun jika dilihatnya dari ujung sedotan.

"Kenapa kamu melihatku seperti itu? Apa kamu juga naksir sama seperti mereka?" celetuknya semakin kepedean.

Kenarsisannya semakin tinggi. Niken sampai membuka mulutnya lebar-lebar, tetapi tidak ada satu pun kata yang mampu dia rangkai. Dia seolah ingin mengeluarkan isi perutnya kembali, tetapi tertahan karena harus menjaga sikap di sana.

Biarpun sudah bersikap layaknya orang biasa, tetapi Ardi tetap merasa tidak tenang. Dia mengumbar senyuman. Namun, dalam hatinya dipenuhi rasa takut, terutama saat orang-orang terus menatapnya. Kalau boleh jujur, tatapan mereka membuatnya tidak nyaman.

Dikarenakan telah terjadi keributan di sana, salah seorang pelayan beserta seorang pria datang mendekati Niken dan Ardi. Diduga pria tersebut adalah Manager atau pemilik butik itu.

"Astaga, mengapa pakaiannya tercecer di lantai?" tanya pria berpakaian rapi, yang sedikit menaikkan nada suaranya.

Bukan hanya ia saja yang terkejut, tetapi pelayan yang datang bersalahnya tidak kalah terkejutnya. Melihat baju yang tercecer, buru-buru Niken mendatangi pria tersebut.

"Maaf Tuan. Ini semua karena kecerobohan saya. Akan saya ganti semua kerugiannya."

Tanpa bertele-tele, Niken segera mengeluarkan sebuah kartu, yang disinyalir adalah Black Card, terlihat dari warnanya.

Mata pria beserta pelayan itu langsung melotot sempurna, tatkala Niken mengeluarkan kartunya tersebut. Tubuh Manager itu seketika bergetar saat memegang Black Card milik Niken, yang bertuliskan nama aslinya. Niken Angelista Atmaja.

"Maafkan saya Nona karena tidak langsung mengenali Anda."

Manager itu buru-buru bersujud, bahkan kepalanya tidak sanggup untuk terangkat. Ia telah lancang memarahi Niken.

Ardi mengerutkan keningnya, "Seharusnya Niken dan aku yang minta maaf karena kami yang salah. Lalu, kenapa jadi pria itu yang minta maaf?" pikirnya heran.

Melihat sang Manager bertekuk lutut di depan Niken, buru-buru pelayan yang datang bersamanya ikut berlutut.

Ardi semakin keheranan dan bertanya-tanya, "Lah ... Lah. Kenapa dia ikut-ikutan duduk juga. Ada apa ini?"

Dia semakin kebingungan, sedangkan Niken menikmati ini semua. Gadis ayu dengan keturunan Indo-Belanda itu menyeringai. Faktanya, kekuasaan yang dia miliki mampu membuat orang-orang bertekuk lutut di depannya.

"Bangun kalian semua!" perintahnya tanpa menurunkan sedikitpun sikap elegannya. Biarpun terlihat sombong, sesungguhnya bukan itu yang terjadi.

Niken tidak pernah menganggap dirinya lebih tinggi dari mereka. Bagaimana juga kekuasaan ini hanya sementara dan Niken tidak ingin terbuai apa lagi sampai terlena dibuatnya.

Dia tidak pernah menginginkan hal ini terjadi. Namun, mereka-merekanya saja yang terlalu meninggikan dirinya.

"Bangun kalian!" pintanya satu kali lagi.

Manager dan pelayan itu buru-buru berdiri, tetapi kepala mereka tetap tertunduk karena tidak berani menatap Niken.

Gadis ayu tiga puluh tahun itu menghela napas panjang. Hal yang paling menyebalkan dalam hidupnya adalah, saat orang lain tidak mau menatap dirinya. Seseram itukah dia, sehingga tidak ada yang mau memandangnya?

Jika sudah seperti ini, Niken tidak mau memusingkannya. "Cepat kalian bereskan kekacauan ini dan pilihkan baju yang sesuai dengan dia!" tunjuknya mengarah pada Ardi yang berdiri di belakang.

"Dia adalah calon suamiku, jadi tolong layani dia dengan sebaik mungkin. Mengerti?" perintahnya secara jelas.

Mengetahui pemuda di belakangnya adalah calon suami, membuat Manager dan pelayan itu membulatkan mata. Mereka sangat terkejut mendengar pengakuan itu. Namun, mereka tidak berani berkomentar apa-apa.

Tanpa menunggu perintah lagi, Manager itu segera memanggil para pelayan yang berada di sana. Ia juga hendak meminta pengunjung lainnya untuk segera meninggalkan toko karena tempat ini akan dikhususkan melayani Niken.

Namun, tindakannya segera ditentang oleh Niken. Biarpun keberadaan saat diprioritaskan, tetapi pelanggan yang lain pun harus dilayani dengan baik pula. Menurut Niken, tidak ada manusia yang derajatnya tinggi, semuanya sama di mata Sang Pencipta. Jangan sampai ada ketidakadilan di sini hanya karena satu orang yang merasa derajatnya lebih tinggi.

Manager itu tidak membantahnya. Ia segera merapikan pakaian yang tercecer tadi dengan dibantu dua pelayan lainnya.

Ardi masih bingung dengan apa yang terjadi sekarang? Mendadak semua orang seperti bekerja di bawah tekanan, lebih tepatnya bayang-bayang ketakutan.

Niken pun mendatangi Ardi dan berkata, "Kau tidak pernah bingung karena kau akan melihat kejadian yang seperti ini setiap harinya nanti."

"Setiap hari?" pekiknya beserta mata yang sedikit melebar.

Niken mengangguk santai tanpa sedikitpun beban, "Iya. Kamu akan paham nanti. Sekarang sebaiknya kau mencoba baju yang sudah aku pilihkan tadi."

Ardi mengangguk ragu-ragu. Entah harus bagaimana dia bersikap sekarang? Nyatanya kehidupan di kota jauh berbeda dengan kehidupannya di desa. Saat di desa tidak ada orang dewasa yang menundukkan kepalanya di depan anak muda. Berbeda dengan di kota, orang-orang dewasa menundukkan kepala pada Niken yang bahkan usianya jauh di bawah mereka. Jelas ini menyalahi aturan yang berlaku.

Seharusnya, orang yang lebih mudalah, yang menundukkan kepala dan bukan sebaliknya, orang dewasa yang meminta maaf atas kesalahan yang tidak pernah mereka lakukan.

"Apakah dunia sudah terbalik?" celetuk Ardi di depan Niken dan yang lainnya.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!