3. AWAL PERTEMUAN

Niken pun masih menunggu Jake. Jari-jarinya tengah asyik menggerakkan layar ponsel, scroll beberapa media sosial membaca beberapa postingan yang sedang trending. Lalu, memeriksa proposal yang dikirimkan sekretaris ayahnya melalu email.

Pandangannya begitu fokus pada layar ponselnya sehingga Niken tidak menyadari kedatangan Jake. Akhirnya Jake mengetuk jendela mobil agar Niken mau membuka jendelanya.

"Nona ... Nona!" Dia memanggil Niken yang sibuk dengan urusannya.

Niken akhirnya membuka sebagian jendela mobilnya, "Ada apa?" tanyanya belum menyadari sesuatu yang dibawa oleh Jake.

"Nona, aku sudah membawa pemuda yang tadi dipukuli warga," ungkapnya dengan penuh percaya diri, yang disertai senyuman penuh kemenangan karena telah berhasil membawakan buruan yang diinginkan majikannya itu.

Niken melongo ke luar. Pandangannya langsung jatuh pada pemuda yang tidak sadarkan diri di sana. Niken sedikit melirik pada Jake, 'Dia pingsan?' kira-kira itulah pertanyaan yang ingin Niken tanyakan. Namun, dia hanya memberikan isyarat lirikan mata pada Jake.

Segera supir yang merangkap menjadi Bodyguard-nya itu mengangguk cepat, "Aku membawanya memang dengan keadaan pingsan, Nona. Setelah para warga telah puas memukulinya, barulah aku membawanya kemari," akunya demikian.

Niken penasaran dibuatnya. Dia keluar dari mobilnya, berdiri dengan tangan yang melipat di dada. "Segera bangunkan dia!" perintahnya begitu jelas.

"Bangunkan dia, dengan apa Nona?" tanya Jake dengan segala kepolosannya.

Niken menepuk keningnya, lalu memukul kepala Jake, "Dasar bodoh!" umpatnya kesal. "Cari air, lalu siram dia dengan air. Mengerti!"

Gertakan yang sekaligus perintah tersebut, langsung dilakukan Jake tanpa harus membalasnya dengan kata-kata.

Jake segera mencari sumber air terdekat yang ada di sana. Lokasi mereka berada sekarang, di tengah-tengah perkebunan maka seharusnya mudah bagi Jake untuk menemukan sumber air. Namun, yang jadi pertanyaannya, bagaimana membawa air dari kebun ke sana?

Niken pun menunggu, sembari terus memperhatikan pemuda tersebut dari kejauhan. Tidak berselang lama, Jake pun datang dengan satu ember yang terisi penuh air.

"Nona, ini airnya." Jake memperlihatkan ember yang dibawanya.

Niken tersenyum simpul, "Cepat siramkan ke pemuda itu!" perintahnya jelas.

Segera Jake mendatangi pemuda itu. Lalu, mengambil ancang-ancang terlebih dulu sebelum akhirnya.

"Bangun kau!"

BRUSH ...

Jake menuangkan seember air pada pemuda yang tidak sadarkan diri itu. Seketika pria yang diketahui bernama Ardi pun tersadar saat air mulai masuk ke hidungnya.

"Apa-apaan ini," bentak Ardi seraya mengusap wajahnya yang basah.

Niken menyeringai dengan tangan yang melipat di dada. "Sepertinya, dia belum sadar. Siram lagi, Jake!" perintahnya yang langsung mendapat anggukan dari Jake.

Ketika Jake hendak mengambil air kembali karena air yang dibawanya telah habis, saat itu juga Ardi angkat suara. "Hei, Tuan, Nyonya! Hentikan. Aku sudah sadar," ungkapnya dengan terburu-buru agar pria yang hendak mengambil air itu tidak lagi menyiramnya.

Satu ember saja sudah mampu membuat pakaian, hidung serta telinganya kemasukan air. Bagaimana jika ditambah satu ember lagi? Jangan-jangan ia akan mati kehabisan napas. Pikir Ardi.

Niken pun mengangkat sebelah tangannya tanpa mengatakan apa-apa. Jake mengangguk dan dia mundur beberapa langkah, sedangkan Niken maju untuk mendekati Ardi.

"Mengapa kalian hanya menyiramku saja, kenapa tidak membunuhku sekalian?" gerutu Ardi kesal karena pakaiannya basah dan hidungnya pula kemasukan air.

"Oh, begitu." Niken mengangguk dengan mulut yang membentuk huruf O besar, "Jake! Bunuh dia!" perintahnya tegas dan tanpa keraguan.

Jake pun maju ke depan, sedangkan Ardi yang mendengarnya langsung gusar. "Eh, jangan. Bukan itu maksudku. Aku tidak ingin mati." Buru-buru dia berkata, seraya mengibaskan tangannya tanda penolakan.

Niken pun tersenyum sinis ke arah pemuda yang penampilannya sungguh kacau, "Jika dilihat-lihat lagi, kau cukup tampan," ungkap Niken sambil mengelus dagu. Tatapannya begitu tajam, sebagai tanda keseriusannya.

Dari ucapannya, Niken seperti sedang memilah-milah. Lalu memandang Ardi dari atas sampai bawah. Biarpun wajah Ardi babak belur, tetapi Niken bisa melihat kalau pemuda di depannya memiliki wajah yang cukup rupawan. Hanya saja, perlu sedikit polesan agar tampak kinclong. Setidaknya itu yang Niken pikirkan sekarang.

Ardi pun menutupi tubuhnya dengan kedua tangan. Dia merasa wanita yang berdiri di depannya, sedang berpikir kotor, terlebih lagi pakaiannya basah sehingga lekukan tubuhnya pasti terlihat lebih jelas.

Niken mengernyitkan sebelah alisnya, memandang aneh pemuda yang dipenuhi luka bekas pukulan itu. Jake pun mendekatkan diri pada Niken.

"Nona!" bisiknya, di telinga Niken. "Apa?" Niken pun merasa penasaran. Dia mendekatkan wajahnya pada Jake.

Ardi memicingkan matanya, mendadak perasannya menjadi waspada. Sedikitnya dia penasaran dengan yang mereka akan bicarakan.

Selanjutnya Jake mulai melanjutkan ceritanya. "Nona ... Dia dipukuli karena kepergok tidur di rumah janda kembang," bisik Jake yang bisa didengar jelas Niken.

"Apa?" Niken begitu terkejut dengan informasi yang baru didapatnya. Ardi pura-pura tidak mendengar, walau sebenarnya dia tahu hal yang membuat mereka terkejut.

"Jadi ... Kau ..." Niken menahan diri untuk tidak tertawa. "Kau ... Hahaha ..." Akhirnya dia tertawa juga karena tidak bisa menahannya lagi.

Ardi menunduk, menyembunyikan rasa malunya karena dia yakin wanita dan pria itu mengetahui masalah yang tengah dihadapinya.

Niken tak melanjutkan kalimatnya, tubuhnya dibawa mendekat, kepalanya juga condong ke depan. "Apa kau dipukuli karena terciduk tidur di rumah seorang janda?" bisiknya bernada serius.

Pipi Ardi memerah bukan karena malu, tetapi dia begitu marah dan kesal. Aliran darahnya mendidih tatkala mengingat pengkhianatan wanita yang dicintainya.

Merajut cinta selama tiga tahun, nyatanya hanya dijadikan sebagai lelucon dan main-main saja bagi Melati. Putri kepala desa yang begitu terkenal di sana. Kecantikan Melati yang paripurna, menjadikan ia sebagai kembang desa di sana. Ardi sebelumnya berniat akan menikahinya, satu langkah lagi menuju akad. Di sanalah Ardi mengetahui kalau sebenarnya Melati tidak benar-benar mencintainya.

Hanya sepucuk surat yang Melati tinggalkan di kamarnya. Ardi meredam kala membaca isi surat tersebut. Selesai membacanya, dia langsung meremas surat tersebut dan menginjak-injaknya.

"Oh, jadi kau ditinggalkan calon istrinyamu. Is, is, is. Sungguh malangnya nasibmu," ungkap Niken bernada ejekan. "Pertama kau ditinggalkan kekasihmu, siapa namanya tadi?" lanjut menebak-nebak, sembari memandang langit. Pikirannya dibawa untuk mengingat nama wanita yang pergi di hari pernikahannya itu.

"Melati," lirih Ardi sambil membuang pandangannya.

"Ah, ya benar, Melati. Kenapa akhir-akhir ini aku sering sekali lupa? Usiaku masih tiga puluh tahun, cantik dan pintar, tapi kenapa aku sering sekali lupa?" celotehnya dengan lirikan mata tertuju pada Ardi.

Rentetan kejadian yang dialami membuat Ardi sungguh tidak tertarik dengan lelucon yang coba dibuat oleh Niken.

Jangankan menanggapi, Ardi bahkan tidak memiliki tenaga untuk mendengarnya. Niken pun diam setelah melihat reaksi Ardi yang seolah tidak peduli dengan ejekannya.

Niken mengelah napas panjang, menata hati serta pikirannya lebih dulu. Berusaha meyakinkan diri bahwa keputusan ini tidak akan salah. Setidaknya harus dicoba. Tidak akan diketahui hasilnya, kalau tidak dilakukan.

Setelah melakukan pertimbangan matang, Niken mendekat pada Ardi. Dia duduk berjongkok agar posisinya sejajar dengan pemuda yang baru saja mengalami musibah tersebut.

Ardi membuang napasnya. Kehadiran wanita yang entah siapa namanya itu membuat kepalanya semakin pusing.

Niken siap menyampaikan maksudnya, "Kau pasti ingin membalas pengkhinatan Melati bukan, serta membalas perlakuan mereka terhadap dirimu 'kan?"

Niken menjeda kalimatnya lebih dulu. Ardi tidak langsung menjawab, tetapi kepalanya sedikit mengangguk yang dapat diartikan sebagai tanda setuju.

"Kalau begitu, jadilah suamiku dengan begitu kau bisa membalaskan semua perbuatan mereka atas dirimu!" ajaknya lugas, dengan melipat kedua tangan di dada, dan wajah yang agak sedikit membusung.

Ardi melotot, matanya seperti ingin melompat keluar saat wanita yang sekitar satu jam lalu ditemuinya itu meminta dia menjadi suaminya.

Niken yang semula sudah berdiri, kini berjongkok kembali. "Menikahlah denganku, maka kau bisa membalas perbutan mereka!"

"Menikah denganmu? Apa kau sudah tidak waras?" umpat Ardi tanpa menahan keterkejutannya.

Episodes

Download

Suka karya ini? Unduh App, riwayat baca tak akan hilang
Download

Bonus

Pengguna baru dapat mengunduh App untuk membuka 10 bab secara gratis

Ambil
NovelToon
Novel sejumlah besar sedang menunggu Anda baca! Juga ada komik, buku audio, dan konten lain untuk dipilih~
Semua konten GRATIS! Klik di bawah untuk download!