Niken pergi dari rumah dengan perasaan kesal. Dia masih menggerutu bahkan di dalam mobil, "Memang Ayah kira mencari suami itu mudah seperti membeli ikan di pasar? Kita bisa memilih langsung di tempatnya, tentu saja tidak. Mencari suami itu, seperti mencari jarum di tumpukan jerami. Nah, itu yang benar."
Sepanjang perjalanan, Niken terus berceloteh tanpa henti. Dia masih kesal dengan ayahnya yang selalu memaksanya untuk menikah.
"Kenapa si, wanita tuh harus menikah muda? Bukankah lebih enak kalau menikah di usia empat puluhan tahun, di saat semua yang diinginkan telah tercapai?" ungkapnya tanpa sedikitpun menurunkan intonasi suaranya.
"Aku lihat orang-orang di Korea, terutama para wanitanya. Ada yang sudah usia empat puluh tahun, tapi mereka belum menikah. Lah, aku ... Baru juga tiga puluh tahun, tapi setiap hari selalu ditanya kapan nikah? Sebal banget. Aku kesal sama Ayah," celotehnya yang seakan-akan tidak mau berhenti.
Terlihat jelas wajahnya begitu kesal, dengan mata yang memandang ke sembarang arah. Lalu, kedua tangan yang melipat di dada dan napas yang memburu, akibat emosi yang tidak kunjung mereda.
"Jake! Antarkan aku ke Bandung. Hari ini ada pertemuan dengan investor di sana!" perintahnya pada supir pribadi sekaligus merangkap sebagai Bodyguard.
"Baik Nona," balas Jake tanpa penolakan.
Namanya adalah, Muhammad Jayusman. Dari kecil selalu dipanggil dengan nama Ajay. Namun, saat bekerja sebagai Bodyguard Niken, namanya pun berubah menjadi Jake.
Menurut Niken, nama Ajay terlalu kampungan dan tidak cocok untuk sosok pria sepertinya yang bertubuh kekar dan wajahnya juga masuk kriteria standar pria pada umumnya. Maka dari itu, Niken memberinya nama Jake agar terdengar lebih keren.
"Jake. Apa kau sudah memiliki kekasih?" tanyanya penasaran sekaligus menghilangkan rasa bosannya dikarenakan perjalanan ini cukup memakan waktu lama.
Jake pun bergumam seraya mencari kalimat yang sesuai untuk menjawab pertanyaan tersebut, "Belum, Nona. Saya belum memiliki kekasih. Memangnya kenapa, Nona? Apa Nona ingin mengenalkan saya dengan wanita cantik seperti Nona?" tanyanya bernada candaan.
Niken hampir saja mengumpat, tetapi dia mampu menahan dirinya sebab tidak ingin berdebat kembali. Jake pun harap-harap cemas dibuatnya karena takut yang diucapkannya telah menyingung perasaan Niken, yang saat ini sebenarnya sedang tidak baik-baik saja.
"Kau tenang saja, aku sama sekali tidak tersinggung dengan ucapanmu yang membosankan itu," tuturnya santai.
Seolah bisa membaca pikirannya, Niken pun tampak santai seraya menikmati pemandangan jalan yang hanya menyuguhkan gedung-gedung pencakar langit saja.
Jake pun tak menanggapi lebih lanjut karena tidak ingin menyinggung lebih jauh perasaan Niken. Secara diam-diam Jake pun melihat dari balik kaca kecil yang menampilkan langsung sosok gadis ayu di sana.
Niken tampak murung dan sepertinya tidak bersemangat. Jake baru kali ini melihat bosnya itu bersedih seperti sekarang. Sebelum-sebelumnya, dia tahu bahwa Niken kerap kali berdebat dengan ayahnya. Namun, tidak berakhir seperti yang terlihat saat ini.
Fokus Jake terbagi dua dan seolah mengetahui apa yang sedang dilakukan Bodyguard-nya, Niken pun segera menegurnya.
"Apa yang kau lihat? Perhatikan jalan!" bentaknya, yang langsung mengalihkan pandangan pada Jake.
Sementara itu, pemuda yang baru genap dua puluh lima tahun tersebut buru-buru memfokuskan perhatiannya pada jalan di depan. Dia dengan segera bersiul-siul dan mengambil sikap seolah tidak terjadi apa-apa.
Niken menggelengkan kepalanya, "Dia selalu saja kepo dengan urusan orang lain," gumamnya tanpa diketahui oleh Jake.
Niken Kembali memfokuskan pandangannya pada jalanan yang terpantau cukup lancar. Memang seharusnya lancar karena dia melalui tol Cikampek.
Setelah menempuh tiga jam lamanya, akhirnya mobil yang Niken kendarai telah memasuki kawasan Bandung.
"Welcome To Bandung. Apakah aku akan mendapatkan jodoh di kota ini? Entahlah?" gumamnya bernada lirih.
Jake tidak lagi berbicara asal ceplos seperti tadi, takut-takut akan menyinggung Niken kembali. "Kita sudah sampai Bandung, lalu apakah Nona ingin langsung ke kantor?" tanyanya perlahan-lahan guna menjaga perasaan Niken.
"Aku ingin melihat-lihat dulu. Lagi pula pertemuannya besok, jadi hari ini aku memiliki waktu untuk berjalan-jalan menikmati kota Bandung ini," balasnya dengan mata yang berkaca-kaca.
Seolah mengulang memori lama, Niken seperti dibawa masuk pada kenangan-kenangan saat dirinya tinggal di Bandung dulu. Masa-masa kecilnya dia habiskan di kota ini.
"Apakah warung Nasi Kang Asep masih buka? Hem, aku ingin sekali makan di sana," racaunya seraya menjilat bibir bawahnya yang mengeluarkan air liur.
"Membayangkannya saja sudah membuatku tergoda," racaunya yang sudah tidak sabar. "Jake kita pergi ke jalan yang di dekat Gedung Sate. Sekarang!" perintahnya.
Dengan segera Jake pun mengangguk dan mengikuti perintah Niken. Sesungguhnya, Niken lupa-lupa ingat dengan warung lesehan yang dulu sering dia datangi bersama ibu serta ayahnya.
Dulu sekali, kira-kira lima belas tahun yang lalu. Entah, tempat itu masih ada atau tidak? Niken pun lupa dengan nama jalannya, yang dia ingat warung Lesehan Milik Mang Asep terletak di dekat Gedung Sate.
Setelah sampai di area Gedung Sate, Niken tidak lupa mengabadikan momen dengan mengambil foto Gedung Sate dengan kamera ponselnya.
Setelah berkeliling dan tidak menemukan apa yang dicarinya, Niken pun memutuskan untuk pergi ke tempat di mana semua kenangannya tumbuh.
Jake pun mengikuti arahan dari Niken. Dia melakukan mobilnya menuju tempat yang Niken ingin datangi sekarang.
"Apakah tempat itu akan masih sama?" gumamnya dengan harapan yang bercampur haru sekaligus senang.
Ada perasaan antusias saat ingin mendatangi tempat itu kembali. Setelah lima belas tahun berlalu, baru kali ini dia mendatangi rumah lama yang dulu dia tinggali bersama ibu serta ayahnya.
***
Setelah menempuh perjalanan hampir tiga puluh menit, akhirnya Niken sampai di salah satu kampung yang ada di sana. Saat memasuki batas Desa, seketika memori lama langsung menghias di pikirannya.
"Lima belas tahun telah berlalu, tetapi ini semua masih tetap sama."
Matanya berkaca-kaca saat melihat batas desa, yang masih berdiri kokoh tanpa adanya perubahan. Setelah lima belas tahun, ternyata Desa ini sama sekali tidak berubah. Niken masih sangat ingat bagaimana dirinya melewati batas Desa. Setiap kali pergi sekolah, dirinya pasti melewati batas desa, sehingga tempat ini sangat membekas dalam ingatannya.
"Ayo, kita masuk ke sana!" perintahnya pada Jake, yang juga terdiam melihat Desa yang baru pertama kali dia datangi.
"Sungguh indah, ya Nona, Desanya. Apa dulu Nona tinggal di sini?" tanya Jake penasaran.
Niken mengangguk pelan, seraya menahan kristal bening yang mencoba menerobos keluar. "Aku lahir dan dibesarkan di desa ini. Sungguh, warga-warga di sini sangat menjaga keaslian desa, sehingga tempat ini masih tetap sama seperti lima belas tahun yang lalu," beber Niken, seraya memandang anak-anak kecil yang sedang bermain di sana, yang langsung mengingatnya akan masa kecilnya.
"Ayo, kita pergi ke sana!" pinta Niken.
Jake langsung mengangguk, dia juga segera menyalakan mesin mobil dan menekan pedal gasnya. Mobil pun segera melaju, memasuki perkampungan yang jauh disebut modern.
Kiri kanannya terhampar luas persawahan dan rumah-rumah warganya pun tidak ada yang tingkat, masih berbentuk bangunan lama. Hanya cat temboknya saja yang berubah. Namun, keseluruhannya masih sama seperti ingatan Niken lima belas tahun yang lalu.
***
Mobilnya melaju dengan kecepatan rendah, Jake sengaja melakukan ini agar Niken dapat bernostalgia dengan ingatan-ingatan masa lalunya.
Niken semakin masuk ke desa tersebut. Orang-orang di sana tersenyum pada Niken dan gadis ayu itu membalasnya dengan hangat. Niken sama sekali tidak mengenal orang-orang di desa ini, tetapi dia tetap merasa seperti pupang ke rumah.
Mobil Niken pun melaju pelan menuju perkebunan singkong dan sayur mayur lainnya. Ketika matanya tengah dimanjakan dengan pemandangan asli di sana, tiba-tiba ada hal yang mengusik dirinya.
Dari kejauhan Niken bisa melihat orang-orang berkerumun dengan seorang pemuda yang ditarik paksa dan wajahnya juga babak belur.
"Berhenti!" pinta Niken.
Mobil pun langsung berhenti dengan pemandangan kiri dan kanan perkebunan singkong.
"Ada apa Nona?" tanya Jake penasaran.
"Lihat, orang-orang yang di sana!" tunjuknya.
Jake langsung menjatuhkan pandangannya ke arah yang Niken tunjuk, "Memang ada apa dengan mereka?"
"Coba kau perhatikan pria yang wajahnya sudah babak belur itu."
Jake pun memicingkan matanya, ada sesuatu yang tertangkap oleh netranya, "Hem ... Sepertinya dia sedang disiksa oleh para warga, tetapi apa alasannya?" Dia mengelus-elus dagunya dan terus memerhatikan jalannya kejadian di sana.
"Coba kau cari tahu apa yang terjadi di sana," titahnya seraya menaik turunkan alisnya.
"Aku, Nona? Saran saja kenapa kita pergi saja? Jadi, kita tidak perlu ikut campur masalah orang-orang di sini, Nona. Ya, Nona," usulnya dengan menunjukkan deretan giginya yang putih.
Niken menggeleng dengan tangan yang melipat di dada, "Cepat, cari tahu apa yang terjadi di sana! Apa kau mau kupecat, ah?"
Mendengar kata 'Pecat' membuat bulu kuduk Jake berdiri semua. Hal ini nyatanya lebih menyeramkan daripada melihat hantu.
"Ya ... Nona. Aku akan pergi untuk mencari tahu apa yang terjadi di sana."
Tanpa berlama-lama lagi, dia segera keluar dari mobil. Lalu, berjalan cepat menuju kerumunan di sana. Seseksi dia melihat ke belakang. Sesungguhnya dia ragu untuk ikut campur dalam urusan orang lain. Namun, dia takut kalau harus dipecat dari pekerjaan ini.
Niken yang berada di mobil pun tertawa puas, sekaligus merasa penasaran dengan yang terjadi di sana.
****
Tiga puluh menit berikutnya. Niken sudah keluar dari mobilnya. Kini dia berdiri berhadapan langsung dengan pemuda yang tiga puluh menit lalu dikeroyok warga.
"Menikahlah denganku, maka kau akan mampu membalas perbuatan mereka," ungkap Niken tanpa keraguan.
"Ah, menikah?" balas pemuda itu dengan mata melotot.
***Download NovelToon untuk nikmati pengalaman membaca lebih baik!***
Updated 56 Episodes
Comments